Intensitas Liburan dan Tantangan Produktivitas Tenaga Kerja
Kinerja tiap individu di Indonesia masih tergolong rendah sehingga pemerintah harus terus mendorong kualitas SDM dengan meningkatkan mutu pendidikan setiap warga negara.
Libur panjang dan cuti bersama erat kaitannya dengan masifnya pergerakan ekonomi melalui kegiatan wisata. Namun, di lain sisi, frekuensi libur bersama yang relatif sering dapat berimbas pada menurunnya produktivitas hasil usaha.
Pada akhir Juni lalu, dalam rangka hari raya Idul Adha, pemerintah menambah hari cuti bersama selama dua hari. Hari liburnya jatuh pada Kamis, 28 Juni, lalu ditambah dengan dua hari cuti bersama, yakni Rabu dan Jumat. Praktis, pekerja, khususnya pekerja formal yang bekerja di lembaga pemerintahan, hanya bekerja selama dua hari pada pekan itu, yakni Senin dan Selasa.
Bagi seorang pekerja, hari libur menjadi hal yang selalu dinantikan. Kesempatan tersebut biasanya digunakan untuk beristirahat dari rutinitas kerja maupun berwisata bersama keluarga. Bersamaan dengan masa liburan sekolah, pemerintah menambahkan cuti bersama agar masyarakat memiliki waktu berkualitas bersama keluarganya.
Dari sisi ekonomi, family time yang direalisasikan melalui aktivitas belanja atau berwisata itu akan menggerakkan perekonomian secara lebih masif. Berdasarkan laporan Kementerian Pariwisata, tujuan itu pun cukup berhasil diwujudkan. Dalam siaran pers Kemenparekraf bertajuk The Weekly Brief with Sandi Uno 3 Juli 2023 lalu, Menteri Parekraf menyebukan bahwa libur panjang cuti bersama berhasil meningkatkan pemesanan transportasi dan akomodasi hingga tiga kali lipat. Pemesanan tersebut mayoritas dilakukan melalui agen perjalanan online.
Jumlah penumpang sektor penerbangan diprediksi meningkat hingga mencapai 1,25 juta penumpang. Pergerakan kendaraan pribadi menuju destinasi wisata favorit pun terpantau meningkat pada H-2 hingga H-1 Idul Adha. Rangkaian aktivitas wisata itu pun pada gilirannya turut meningkatkan penjualan produk kuliner hingga cinderamata. Usaha kafe atau restoran serta pusat belanja dan oleh-oleh pun kebanjiran wisatawan. Dapat dikatakan sektor pariwisata meraup banyak keuntungan dari kebijakan cuti bersama tersebut.
Baca juga: Kerja Empat Hari Seminggu Kurangi Stres Karyawan dan Pertahankan Produktivitas
Protes pengusaha
Kendati demikian, kebijakan cuti bersama tersebut ternyata tidak selalu mendapatkan respons bernada antusiasme. Beberapa hari setelah pemerintah mengumumkan kebijakan cuti bersama, sejumlah pengusaha melayangkan protes keras. Pasalnya, kebijakan cuti bersama yang mendadak dapat mengganggu kinerja dunia usaha ataupun industri. Apalagi bagi usaha berorientasi ekspor, proses produksi dapat terganggu sehingga target pengiriman barang turut terimbas.
Selama ini, kebijakan cuti bersama memang lebih banyak menyasar aparatur sipil negara atau ASN. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk karyawan swasta juga mengajukan cuti pada periode yang sama dengan sistem memotong hak cuti tahunan pekerja terkait. Tidak sedikit dunia usaha yang harus menambah biaya operasional untuk biaya overtime dalam rangka mengejar pergeseran waktu karena masa liburan.
Pada sisi lain, banyaknya hari libur dinilai akan mempengaruhi tingkat produktivitas pekerja Indonesia. Hal ini cukup menjadi sorotan lantaran produktivitas tenaga kerja hingga saat ini masih relatif rendah. Merujuk data Asian Productivity Organization (APO) yang dirilis tahun 2022 lalu menunjukkan bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya sebesar 24,4 ribu dollar AS di tahun 2020.
Dasar pengukuran di seluruh dunia mengacu pada besaran produktivitas Amerika Serikat yang sebesar 137,5 ribu dollar AS per pekerja dalam setahun. Jika dibandingkan dengan standar tersebut, produktivitas tenaga kerja Indonesia baru mencapai 18 persen dari AS. Di tingkat negara ASEAN pun, angka produktivitas pekerja Indonesia juga masih tergolong rendah. Thailand, misalnya, tingkat produktivitasnya sedikit lebih unggul dari Indonesia, yakni 30,7 ribu dollar AS per pekerja per tahun atau sekitar 22 persen dari AS.
Untuk negeri jiran Malaysia, tingkat produktivitasnya jauh lebih tinggi mencapai , yakni 54,4 ribu dollar AS per pekerja per tahun. Proporsinya mencapai 40 persen dari standar dunia yang mengacu pada tingkat produktivitas AS. Singapura, menjadi satu-satunya negara ASEAN yang mampu melampaui standar AS dengan tingkat produktivitas tenaga kerja mencapai 150,3 ribu dollar AS per tahun.
Baca juga: Produktivitas SDM Indonesia Masih Tertinggal
Bila dibandingkan dengan rata-rata produktivitas enam besar negara ASEAN, capaian Indonesia berada di tataran bawah. Adapun rata-rata “ASEAN6” yang terdiri atas Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand itu mencapai 29,4 ribu dollar AS per pekerja per tahun. Indonesia hanya lebih unggul dari Filipina. Secara keseluruhan negara-negara ASEAN, posisi produktivitas Indonesia sedikit lebih unggul dari negara-negara di luar ASEAN6 seperti Laos, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Ke empat negara ini tingkat produktivitas tenaga kerjanya tidak mampu menyentuh angka 20 ribu dollar AS.
Angka produktivitas tersebut merupakan perhitungan dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dibagi dengan total pekerja di masing-masing negara. Hasilnya pun akan sangat dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja setiap negara. Bagi Indonesia, kendati tergolong sebagai negara besar dengan tingkat PDB yang tinggi, tetapi dengan jumlah tenaga kerja yang besar membuat produktivitas tenaga kerja Indonesia cenderung lebih rendah. Idealnya, dengan jumlah tenaga kerja yang besar, nilai ekonomi yang dihasilkan pun lebih besar dan terus meningkat.
Upah dan pendidikan
Berbagai pihak menilai, relatif rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia erat kaitannya dengan jam kerja di Indonesia. Dibandingkan negara lainnya, jam kerja di Indonesia relatif lebih singkat, yakni 40 jam per seminggu. Jam kerja di Indonesia ini sedikit lebih pendek dari Singapura yang mencapai 44 jam seminggu. Jauh lebih singkat lagi dari jam kerja di Malaysia dan Thailand yang tingkat produktivitas lebih tinggi dari Indonesia, yakni 48 jam dalam sepekan.
Lama jam kerja itu lantas menjadi sorotan yang menarik lantaran tingkat upah di Indonesia tergolong relatif lebih tinggi. Merujuk data Asian Development Bank (ADB), tingkat upah Indonesia mencapai 299,9 dollar AS per bulan. Dibandingkan dengan Thailand, tingkat upah Indonesia lebih tinggi. Rata-rata upah Negeri Gajah Putih itu hanya sekitar 277 dollar AS per bulan.
Meskipun demikian, hal tersebut masih menimbulkan pro dan kontra. Sejumlah pihak menilai jam kerja tidak berpengaruh pada tinggi rendahnya produktivitas tenaga kerja. Terdapat juga anggapan bahwa semakin lama jam kerja, justru tidak akan efektif karena menimbulkan efek burnout. Fakta upah yang lebih tinggi itu pun tidak lalu mendorong penurunan tingkat upah di Indonesia agar sesuai dengan produktivitasnya. Upah yang layak menjadi hak setiap pekerja, tetapi perlu diimbangi dengan hasil kerja yang sesuai.
Baca juga: Ketidakpastian Ekonomi Bisa Berdampak ke Performa Pekerja
Salah satu hal yang sangat penting untuk mendorong produktivitas adalah tingkat pendidikan para pekerja. Semakin tinggi tingkat edukasi maka tingkat produktivitasnya cenderung bertambah. Hal demikian juga berlaku di Indonesia. Merujuk publikasi Kementerian Ketenagakerjaan Februari 2023, empat dari 10 pekerja Indonesia berlatar pendidikan sekolah dasar dan tidak sekolah. Separuh sisanya merupakan lulusan SMP dan SMA sederajat. Sisanya, hanya sekitar 10 persen yang merupakan lulusan perguruan tinggi. Jadi, terlihat bahwa sebagian besar tenaga kerja di Indonesia tingkat pendidikannya tergolong masih rendah.
Minimnya tingkat kesadaran meraih pendidikan tinggi itu juga terlihat dari singkatnya lama sekolah di Indonesia. Tahun 2022, rata-rata lama sekolah Indonesia baru mencapai 8,69 tahun. Padahal, di tahun 2019 rata-rata lama sekolah di Malaysia sudah mencapai 10,2 tahun, Filipina 9,3 tahun, dan Singapura 11,5 tahun.
Kondisi tersebut turut mempengaruhi peringkat indeks penilaian sumber daya manusia Indonesia. Salah satunya adalah Global Talent Competitiveness Index atau GTCI yang merupakan indeks pengukuran peringkat daya saing negara berdasarkan kemampuan SDM . Pada tahun 2022, laporan GTCI menempatkan Indonesia para peringkat ke-82 dari 133 negara yang diteliti. Posisi ini anjlok dua peringkat dari laporan tahun sebelumnya tahun 2021.
Secara penilaian kawasan ASEAN pada tahun 2022, Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga, Malaysia, yang menduduki posisi ke-45. Indonesia juga kalah dari Filipina (80), Thailand (75), Vietnam (74), dan tertinggal sangat jauh dari Singapura (2).
Pemeringkatan SDM tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih relatif tertinggal dari negara-negara di sekitarnya. Kendati nilai ekonominya tergolong besar secara agregat, tetapi penilaian atau kinerja per individunya masih sangat minim. Pemerintah harus terus berupaya mendorong peningkatan jenjang pendidikan bagi segenap anak bangsa agar kualitas SDM dapat terus bertambah di masa mendatang. Dalam konteks ekonomi, faktor tenaga kerja, industri, investasi, dan teknologi merupakan satu-kesatuan yang tak terpisah dalam upaya mendorong kemajuan bangsa. Namun, untuk mengolaborasikan segala faktor produksi tersebut menjadi lebih maksimal dan efisien membutuhkan keterampilan SDM yang andal dan didukung pendidikan yang berkualitas. (LITBANG KOMPAS)