Kerusuhan Perancis, Antara Imigran dan Sentimen Antaretnis
Perancis membara dalam sepekan terakhir akibat kerusuhan massa. Sentimen antaretnis yang mendalam dituding sebagai penyebab terjadinya kekacauan besar ini.
Oleh
Yulius Brahmantya Priambada
·4 menit baca
AP/MICHEL EULER
Polisi memeriksa sejumlah bus yang dibakar massa saat terjadi aksi kerusuhan di depot bus Aubervilliers, pinggiran kota Paris, Perancis, Jumat (30/6/2023). Pengunjuk rasa menuntut keadilan atas terbunuhnya remaja Nahel oleh polisi.
Sejak 27 Juni 2023, Perancis ditelan dalam amukan massa. Sedikitnya 45.000 polisi dikerahkan untuk dapat mengendalikan kerusuhan yang semakin meluas. Mengutip New York Times, massa dilaporkan telah merusak sekitar 500 bangunan, 2.000 mobil, serta melakukan penjarahan di sejumlah pusat perbelanjaan di kota-kota, Minggu (2/7/2023).
Kerusuhan yang terjadi sekarang tak dapat dilepaskan dari tewasnya seorang remaja keturunan Aljazair-Maroko bernama M Nahel (17). Pada Selasa (27/6/2023) pagi, ia ditembak oleh polisi di dalam mobilnya sewaktu hendak kabur dari razia lalu lintas di Nanterre, daerah pinggiran Paris. Tembakan dari jarak dekat tersebut mengenai dadanya dan menyebabkan Nahel tewas di tempat.
Video kejadian tersebut segera tersebar luas di berbagai kanal media sosial. Warga yang tersulut amarahnya segera melakukan aksi protes di puluhan kota lain. Aksi tersebut berkembang menjadi kerusuhan yang mulai memanas pada Rabu (28/6/2023) malam dan memuncak pada Jumat (30/6/2023) malam. Sampai Sabtu (1/7/2023) malam, dilaporkan sekitar 300 aparat kepolisian terluka dan ribuan orang telah ditahan akibat bentrokan yang terjadi.
Kerusuhan ini adalah salah satu kerusuhan terbesar yang dihadapi oleh Perancis dalam beberapa dekade belakangan. Terakhir, Perancis menghadapi kerusuhan dengan skala sedemikian besar pada 2005. Waktu itu, protes massa menyebabkan 10.000 mobil dibakar dan 6.000 orang ditangkap (Kompas.id, 29/6/2023). Dua kerusuhan ini dipicu oleh penyebab yang sama, yakni kematian remaja kulit berwarna akibat tindakan polisi.
Sentimen antaretnis memang telah mengakar kuat dalam kondisi sosial masyarakat Perancis. Hal ini tak dapat dilepaskan dari sejarah imigran di tengah masyarakat Perancis. Berbeda dengan negara-negara Eropa lain, Perancis dikenal memiliki sikap terbuka terhadap para imigran sejak awal abad ke-20. Hal ini menyebabkan derasnya aliran pendatang ke Perancis.
Ensiklopedia Britannica menyebutkan, antara tahun 1919-1939, terdapat 3 juta imigran di Perancis atau sekitar 6 persen dari total populasi. Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasar data dari Kantor Pusat Statistik Perancis (INSEE), pada 2021 diperkirakan jumlah imigran di Perancis mencapai sekitar 6,9 juta jiwa atau 10,3 persen dari total populasi. Dari jumlah itu, 36 persen di antaranya telah mendapatkan kewarganegaraan Perancis.
Mulanya, kebanyakan imigran berasal dari negara tetangga, seperti Italia, Spanyol, atau Portugal. Pada 1962, jumlah imigran asal Eropa mengambil porsi sebesar 78,7 persen dari total imigran. Namun, imigran asal Afrika Utara dan Afrika Barat kemudian mulai mengambil porsi yang signifikan. Di tahun yang sama, imigran asal Afrika tercatat hanya sebesar 14,9 persen dari total imigran. Jumlah ini lantas bertambah tiga kali lipat pada 2021, menjadi 47,5 persen dari total imigran. Sementara, jumlah imigran asal Eropa menyusut menjadi sekitar 33,1 persen.
Meningkatnya jumlah imigran asal Afrika memiliki kaitan erat dengan sejarah kolonialisme Perancis. Pada masa kejayaannya di awal abad ke-20, Perancis merupakan sebuah imperium adidaya nomor dua dunia setelah Inggris Raya. Luas wilayahnya kala itu mencakup 11 juta kilometer persegi daratan dengan lebih dari 100 juta penduduk.
Dari semua wilayahnya, pengaruh kekuasaan Perancis paling terasa di benua Afrika. Perancis setidaknya menguasai kira-kira sepertiga dari luas wilayah benua tersebut, mulai dari bagian utara, barat, dan tengah. Dengan demikian, tidak heran bahwa proporsi terbesar pendatang dari Afrika berasal dari negara-negara bekas koloni Perancis.
Tiga negara Afrika penyumbang terbesar imigran Perancis berasal dari bekas jajahan Perancis di kawasan Maghreb, yakni Aljazair, Maroko, dan Tunisia. Di tahun 2021, imigran kelahiran Aljazair mengambil porsi sebesar 12,7 persen, Maroko sebanyak 12 persen, dan Tunisia sebesar 4,5 persen. Ini berarti ketiga negara tersebut menyumbang 61,7 persen dari jumlah imigran asal Afrika di Perancis.
Dari ketiga negara tersebut, Aljazair memang memiliki hubungan khusus dengan Perancis. Sejak dikuasai pada 1830, Perancis telah mengklaim Aljazair sebagai wilayah langsung dari negaranya. Hal ini berbeda dengan Maroko dan Tunisia. Kedua negara ini hanya ditetapkan sebatas sebagai protektorat. Alhasil, sejak 1944, setiap penduduk Aljazair mendapat kewarganegaraan Perancis. Mereka pun dapat dengan bebas keluar masuk ke daratan Perancis sampai kemerdekaan Aljazair pada 1962.
Selain karena faktor sejarah kolonialisme, kedatangan imigran asal Afrika juga bersangkutan dengan pertumbuhan ekonomi Perancis pasca-Perang Dunia II. Kebutuhan akan pekerja kasar dalam jumlah besar membuat Perancis membuka kebijakan yang menarik minat para imigran untuk datang.
Sayangnya, tidak mudah bagi para imigran di Perancis untuk meningkatkan kesejahteraan. Berdasar laporanlembaga Centre d’analyse Strategique (CAS) tahun 2012, dari kurun waktu 1990-2010 tingkat pengangguran imigran selalu lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk non-migran. Imigran juga disebutkan lebih rawan terikat pada kontrak kerja yang tidak jelas dibandingkan penduduk asli Perancis.
AP/AURELIEN MORISSARD
Mobil-mobil terbakar pada hari ketiga aksi unjuk rasa yang disertai kerusuhan massal di pinggiran Paris, Perancis (30/6/2023). Penembakan remaja Nahel oleh polisi memicu bentrokan antara polisi dan warga.
Diskriminasi
Selain itu, para migran harus menghadapi segregasi serta diskriminasi etnis. Jacques Barou, antropolog dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Perancis (CNRS), menyebutkan bahwa para imigran, umumnya dari negara-negara Maghreb, tinggal di lingkungan tersegregasi yang buruk, rawan kriminalitas dan kekerasan, serta kurang akses terhadap fasilitas umum.
Tak hanya itu, para keturunan dari imigran negara Maghreb juga cenderung gagal menyelesaikan sekolah. Lapangan kerja pun dikatakan enggan menerima mereka. Alhasil, para generasi muda dari imigran ini kerap terlibat dalam berbagai tindak kriminalitas.
Sebagaimana dilaporkan BBC, Nahel adalah salah satu contoh remaja keturunan imigran yang tercatat jarang hadir di perkuliahan dan pernah berurusan dengan polisi. Tekanan sosial yang dihadapi generasi muda imigran ini akhirnya ditengarai menjadi penyebab dari sejumlah kerusuhan besar, seperti di Lyon pada awal 1980-an, kerusuhan Oktober-November pada 2005, dan kini pada Juni 2023.
AFP/BERTRAND GUAY
Unjuk rasa di kota Nanterre, Perancis, Kamis (29/6/2023), menuntut keadilan bagi kematian remaja Nahel yang ditembak polisi. Ibu Nahel, yaitu Mounia (duduk di atas truk), ikut dalam barisan unjuk rasa.
Pada kerusuhan Oktober-November 2005, dipicu kematian dua remaja pria yang tewas akibat tersengat aliran listrik saat menghindar dari kejaran aparat polisi Perancis. Dua remaja pria yang tewas di Clichy- sous-Bois di pinggiran kota Paris itu seorang merupakan keturunan Mali dan seorang lainnya keturunan Tunisia.
Kerusuhan di Perancis menunjukkan, segregasi sosial, baik itu berdasarkan etnis, agama, maupun aspek primordial lainnya, dapat menjadi bahan bakar terjadinya perpecahan. Hal ini tentu adalah ironi di tengah prinsip kesetaraan (egalite), persaudaraan (fraternite), dan kemerdekaan (liberte) yang menjadi semboyan nasional bangsa Perancis.
Segregasi terbukti dapat menjadi mula dari perlakuan diskriminatif, yang pada akhirnya akan mendorong timbulnya sentimen antara satu kelompok dengan lainnya. Sikap-sikap semacam ini jelas dapat mengancam keutuhan suatu negara dengan penduduk yang beraneka ragam.
Perlakuan seperti itu harus diwaspadai negara-negara multietnis, tak terkecuali Indonesia. Tindakan-tindakan seperti pelabelan stereotipe pada suku tertentu, pembedaan perlakuan berdasar agama, serta pengelompokan pemukiman berdasarkan asal daerah dapat menjadi api dalam sekam. Tidak tampak secara kasatmata, tetapi dapat menyebabkan kebakaran hebat sewaktu-waktu.
Upaya menjaga persatuan bangsa menjadi dasar kehidupan bernegara yang tak dapat ditawar. Bukan hanya dengan slogan, melainkan dengan kebijakan dan aksi nyata untuk menciptakan kesetaraan, baik itu kesamaan hak politik, sosial, maupun kesejahteraan ekonomi bagi segenap warga negaranya.(LITBANG KOMPAS)