Merealisasikan Target Bauran Energi Baru Terbarukan
Target bauran EBT sebesar 23 persen akan sulit terwujud apabila pemerintah tidak serius mewujudkannya karena masih kurang 11 persen lagi dalam tempo dua tahun ke depan.
Pemerintah Indonesia menargetkan bauran energi baru terbarukan atau EBT mencapai 23 persen pada 2025. Namun, hingga saat ini bauran EBT nasional baru 12,3 persen. Belum maksimalnya realisasi target bauran EBT ini dapat menghambat tahapan reduksi emisi karbon Indonesia di masa mendatang.
Peningkatan bauran energi dari sektor energi baru terbarukan atau EBT merupakan salah satu upaya untuk mereduksi emisi karbon yang telah disepakati Indonesia bersama negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Kesepakatan Paris 2015, Indonesia dan negara-negara lain menyepakati untuk mencegah pemanasan suhu global agar tidak lebih dari 1,5 derajat celsius dari masa pra-Revolusi Industri. Indonesia juga berkomitmen untuk bersama-sama mewujudkan visi dunia mencapai karbon netral atau net zero emission (NZE) tahun 2050.
Komitmen itu selanjutnya dituangkan ke dalam dokumen kontribusi nasional (NDC) yang merupakan inti dari penerapan Kesepakatan Paris yang disepakati dalam konferensi COP 21 tahun 2015. Untuk saat ini, target NDC yang diskenariokan merupakan target jangka menengah hingga tahun 2030. Pemerintah menargetkan pada tahun 2030, target reduksi emisi karbon di Indonesia akan susut 32 persen dari kondisi tahun 2010 yang menjadi tahun dasar penghitungannya.
Target penyusutan sebesar 32 persen itu diasumsikan apabila upaya reduksi emisi karbon dilakukan oleh pemerintah sendiri tanpa bantuan pihak asing. Apabila mendapat bantuan pihak asing, target reduksi emisi karbon menjadi 41 persen.
Baca juga: Optimalisasi EBT Menjadi Prioritas Indonesia Menuju Karbon Netral 2060
Target NDC 2030 itu merupakan proyeksi yang cukup ambisius dari pemerintah dalam mengakselerasi reduksi emisi karbon dioksida di Indonesia. Pasalnya, target NDC sebelumnya ketika belum direvisi pada November 2022 mencapai 29 persen. Artinya, ada peningkatan target dari skenario sebelumnya.
Revisi target NDC itu merupakan langkah progresif demi menjaga keberlangsungan masa depan dunia. Setidaknya menjaga lingkungan dan alam Indonesia tetap lestari dan berkontribusi nyata dalam meredam suhu panas global.
Perkembangan EBT
Dalam skenario NDC 2030, ada lima sektor yang akan berkontribusi terhadap emisi karbon di Indonesia. Kelima sektor itu terdiri dari sektor energi, pertanian, kehutanan, industri, dan pengolahan sampah atau limbah. Dari kelima sektor itu, energi merupakan bidang yang diperkirakan akan menghasilkan emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK) yang terbesar pada tahun 2030.
Apabila sektor energi dibiarkan berproses sebagaimana lazimnya sekarang (business as usual), diproyeksikan sektor ini akan memberikan buangan emisi GRK hingga 1.669 juta ton CO2. Angka ini merupakan yang terbesar di antara kelima sektor itu dan bahkan terpaut lebih dari dua kali lipat dari sektor kehutanan yang menduduki peringkat kedua dalam menyumbang emisi karbon pada 2030.
Oleh sebab itu, untuk mereduksi emisi karbon secara signifikan di Indonesia, perlu melakukan sejumlah program kebijakan, terutama terkait sektor energi. Upaya pemerintah melakukan transisi energi dari fosil menuju EBT adalah terobosan yang harus dilakukan sesegera mungkin, tetapi tanpa harus menimbulkan beban berat bagi perekonomian. Maklum, tingginya korelasi antara konsumsi energi dan kemajuan ekonomi membuat kedua hal ini tak dapat dipisahkan dalam konteks pembangunan nasional.
Harapannya, transisi energi yang tengah dilakukan pemerintah tidak berdampak negatif bagi kemajuan ekonomi nasional. Selain itu, juga tidak menimbulkan gejolak ekonomi bagi masyarakat dan tidak menimbulkan beban keuangan yang berat bagi negara.
Potensi gejolak ekonomi itu muncul karena tingginya ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap energi fosil. Konsumsi energi primer berupa minyak bumi, batubara, dan gas alam mencapai 87 persen. Tingginya angka ketergantungan ini berpotensi mendorong perubahan kebiasaan masyarakat apabila pemerintah akan menerapkan berbagai kebijakan terkait sektor EBT.
Baca juga: Transisi Dunia Menuju Energi Bersih
Penerapan kebijakan itu memerlukan sosialisasi dan juga edukasi mengenai kebijakan transisi energi tersebut. Pemerintah dan stakeholder terkait harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa transisi energi menuju EBT adalah keniscayaan yang harus segera dilakukan demi masa depan bangsa. Pemerintah dan seluruh masyarakat harus satu pandangan terkait hal ini karena langkah menuju reduksi emisi dan karbon netral Indonesia 2060 menjadi relatif mudah tercapai.
Dengan demikian, diharapkan akan muncul kesadaran dari masyarakat untuk berperan aktif melakukan transisi menuju EBT. Misalnya saja, terkait penggunaan kendaraan listrik, lebih memprioritaskan penggunaan kendaraan umum, serta konsumsi listrik dari energi ramah lingkungan. Di sisi lain, pemerintah juga harus mendukung dari sisi kebijakan terkait subsidi kendaraan listrik, pengurangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, serta insentif bagi produsen listrik dari EBT, seperti hydropower (PLTA), geothermal (panas bumi), surya (PLTS), dan angin (PLTB). Pemerintah juga harus mengakselerasi peningkatan energi ramah lingkungan nonlistrik yang sangat potensial dikembangkan di Indonesia, seperti biofuel yang salah satu wujudnya berupa biodiesel.
Upaya pengembangan EBT sangat penting untuk merealisasikan upaya mereduksi emisi karbon, terutama dari sektor energi. Hingga 2022, bauran EBT Indonesia baru 12,3 persen atau masih kurang 11 persen untuk mencapai target jangka pendek itu. Kekurangan ini tentu sangatlah besar mengingat kemajuan tahunan Indonesia dalam meningkatkan bauran EBT tergolong sangat kecil, yakni rata-rata kurang dari 1 persen setahun.
Fenomena itu patut menjadi perhatian serius pemerintah. Pasalnya, jika target jangka pendek gagal, hal itu dapat berpotensi menggagalkan target NDC jangka menengah hingga 2030. Pemerintah harus mampu meyakinkan investor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, agar mampu menanamkan modalnya guna pengembangan sektor EBT di Indonesia.
Tanpa keterlibatan para pemodal itu, mimpi Indonesia untuk mereduksi emisi karbon akan sulit diwujudkan. Pasalnya, investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur pendukung energi ramah lingkungan itu sangatlah besar sehingga negara tidak mampu menyediakannya dengan dana sendiri. Jikapun mampu, dibutuhkan waktu yang lama, sedangkan komitmen menuju karbon netral global 2050 sudah dimulai sejak beberapa tahun silam.
Dengan segala keterbatasan itu, pemerintah harus mampu meyakinkan investor agar mau berinvestasi dan tentu saja mendapat keuntungan dari modal yang ditanamkan. Negara harus mengatur kebijakan fiskalnya agar investasi sektor EBT mendapat jaminan yang menguntungkan bagi pengusaha dan juga memiliki keterjangkauan harga yang layak bagi para konsumen. Peran negara sangat vital dalam rencana reduksi emisi karbon ini.
Transisi energi
Untuk saat ini, tampaknya langkah mengakselerasi transisi energi itu lebih berfokus pada kuantitas bauran EBT terlebih dahulu. Salah satu yang didorong untuk meningkatkan bauran EBT ialah produksi biodiesel. Komoditas biofuel ini sekarang menyumbang 34 persen dari seluruh bauran EBT di Indonesia. Secara persentase, biodiesel kian jauh meninggalkan suplai energi dari PLTA dan panas bumi. Selain biofuel, pemerintah juga kian masif mengembangkan pembangkit energi dari surya dan angin serta mengembangkan sumber energi dari biogas dan biomassa. Hanya, tren perkembangan seluruh EBT ini masih kecil.
Baca juga: Menguji Kemampuan EBT dan Nuklir dalam Mereduksi Emisi Karbon
Dalam jangka menengah hingga 2030, pemerintah melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) berupaya menyediakan energi yang kian ramah lingkungan. Pemerintah berupaya menambah suplai energi listrik dengan menyediakan tambahan pembangkit listrik hingga sekitar 40 gigawatt (GW). Sebanyak 52 persen atau 21 GW merupakan pembangkit berbasis EBT. Sebagian besar EBT itu bersumber dari tenaga air dan panas bumi.
Rencana itu patut diapresiasi dan perlu didukung. Dengan semakin tingginya suplai elektrifikasi yang bersumber dari EBT, pemerintah dapat dengan tegas mulai melakukan terminasi sejumlah PLTU batubara. Dengan elektrifikasi yang besar dan ramah lingkungan, pemerintah dapat mendukung kemajuan perekonomian sekaligus mereduksi emisi karbon yang membahayakan alam.
Namun, untuk mewujudkan hal itu, pemerintah harus mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak, terutama pemodal. Pemerintah harus mampu menghasilkan kebijakan yang menarik kehadiran investor ke dalam negeri. Peranan pemodal sangat penting karena semua skenario peningkatan kapasitas energi yang sekitar 40 GW itu sebagian besar dialokasikan dari dana swasta.
Jadi, peranan pemerintah dalam menciptakan regulasi dan juga insentif baik bagi investor sangat penting dalam menunjang rencana reduksi emisi karbon ini. Ambisi pemerintah yang menargetkan reduksi emisi karbon hingga 32 persen pada tahun 2030 harus disertai dengan langkah progresif dalam mengundang investor sektor EBT. (LITBANG KOMPAS)