Lapangan Kerja untuk Gen Z Indonesia
Pemerintah harus menyiapkan lapangan kerja yang cocok untuk gen Z agar jumlah pengganguran di generasi ini tidak bertambah.
Penciptaan lapangan kerja masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Sebagian besar masyarakat belum puas dengan upaya pemerintah selama ini dalam mengatasi pengangguran. Dengan kondisi tersebut, situasi sulit akan semakin dihadapi generasi muda terutama gen Z dalam mendapatkan pekerjaan.
Hasil survei periodik yang dilakukan Litbang Kompas per Mei 2023 lalu menunjukkan penilaian kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi sedikit meningkat dibandingkan per Januari 2023.
Tingkat kepuasan responden berada di level 59,5 persen, naik dibandingkan periode sebelumnya yang di level 50,8 persen. Namun, level tersebut belum kembali ke kondisi awal tahun 2022 dengan tingkat kepuasan di atas 60 persen.
Jika dilihat per subbidang, peningkatan kepuasan publik tersebut terletak pada upaya pemerintah dalam mengendalikan inflasi (50,9 persen). Kepuasan subbidang ini naik 12,7 persen dibandingkan periode sebelumnya yang di tingkat 38,2 persen.
Biasanya kepuasan terhadap kinerja subbidang ini merupakan yang terendah dibandingkan subbidang lainnya. Kini, kepuasan yang paling rendah bergeser ke upaya menyediakan lapangan kerja atau mengatasi pengangguran (43,8 persen).
Sementara kepuasan di tiga subbidang lain, yaitu dalam hal pemerataan pembangunan, pemenuhan sendiri kebutuhan pangan, dan pemberdayaan petani/nelayan berada di atas 50 persen. Tertinggi adalah kepuasan di subbidang pemerataan pembangunan, yaitu 64,4 persen.
Angka ketidakpuasan dalam mengatasi pengangguran pada periode ini lebih besar, yakni 49,1 persen. Bahkan, terbesar dibandingkan subbidang lainnya. Jika dilihat berdasarkan generasi, ketidakpuasan terbesar diungkap oleh kelompok generasi Y dan X.
Kelompok generasi Y muda (usia 26-33 tahun) yang menyatakan ketidakpuasannya sebanyak 50,9 persen. Ketidakpuasan di kalangan generasi Y madya (34-41 tahun) sebanyak 52,7 persen. Sementara ketidakpuasan generasi X (42-55 tahun) 52,3 persen.
Generasi yang lebih tua, yakni baby boomers (usia 56-74 tahun), memiliki ketidakpuasan yang lebih sedikit, yakni 39,1 persen. Agaknya, orang-orang dalam kelompok generasi ini yang masih bekerja sudah lebih mapan pekerjaannya. Dan bagi yang sudah usia tidak produktif tidak lagi memerlukan pekerjaan.
Sementara pada kalangan yang lebih muda atau generasi Z (usia kurang dari 26 tahun), ketidakpuasannya lebih moderat, yakni 46,8 persen.
Persentase ini relatif berimbang dengan yang menyatakan puas dengan upaya pemerintah menyediakan lapangan kerja, yaitu 47,4 persen. Penilaian berimbang ini agaknya dilandasi sikap gen Z yang cenderung optimistis memandang persoalan.
Baca juga : Gen Z Mencintai Perusahaan Mapan
Krusial dan rapuh
Meski penilaian terhadap kinerja pemerintah dalam mengatasi pengangguran cukup beragam antar-generasi, persoalan penciptaan lapangan kerja ini krusial dan rapuh.
Hal ini karena beberapa hal. Pertama, penyediaan lapangan kerja terkait dengan upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan yang berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
Jika pekerjaan terbatas atau pengangguran meningkat, kesejahteraan akan di level rendah. Masyarakat akan lemah daya belinya dan beban pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial akan semakin berat.
Kedua, dunia kerja sedang bertransformasi karena disrupsi teknologi dan digital. Hal ini akan mengubah struktur pasar tenaga kerja. Akan ada pekerjaan yang hilang, sementara pekerjaan baru yang tercipta memerlukan keterampilan baru. Yang tidak bisa beradaptasi akan tersingkir. Dengan demikian, potensi pengangguran akan meningkat.
Ketiga, struktur demografi masyarakat yang tidak bekerja alias menganggur dikuasai oleh generasi muda, yaitu yang berusia 15-24 tahun (gen Z).
Porsinya mencapai 52,2 persen (Agustus 2022). Jika ditambah dengan kelompok usia 25-29 tahun, porsinya menjadi 66 persen. Artinya, dua dari 3 anak muda di bawah 30 tahun adalah pengangguran.
Sementara pada periode yang sama, porsi anak muda di bawah 30 tahun yang bekerja dibandingkan total penduduk bekerja tergolong kecil, yakni 23,7 persen.
Porsi ini menurun dibandingkan kondisi sebelum pandemi (Agustus 2019) yang sebanyak 25,5 persen. Lebih spesifik lagi, gen Z (15-24 tahun) yang bekerja porsinya 12,5 persen pada Agustus 2022. Jumlah ini pun turun dibandingkan Agustus 2019 yang sebanyak 13,7 persen.
Baca juga : Kecemasan Gen Z akibat Media Sosial
Transformasi pekerjaan
Tingginya pengangguran di kalangan gen Z secara spesifik, atau di kalangan anak muda di bawah 30 tahun secara umum, harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengantisipasi kondisi tersebut tidak semakin buruk. Pasalnya, hal itu terkait dengan fenomena penuaan penduduk (ageing population) yang juga mulai dialami Indonesia.
Ketika penduduk lanjut usia (yang tidak lagi produktif) bertambah besar dan di saat bersamaan penduduk usia produktif statusnya tidak bekerja alias juga tidak produktif, yang terjadi ialah beban ganda populasi. Bonus demografi akan lenyap dan berganti menjadi beban atau petaka demografi.
Potensi peningkatan pengangguran pada kalangan gen Z akan membesar jika pemerintah tidak menyiapkan kebijakan pendidikan yang terkait dengan transformasi pekerjaan di masa depan. Kebijakan dunia pendidikan harus diarahkan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan di masa depan.
Penelitian oleh McKinsey Global Institute tahun 2021 telah memetakan jenis-jenis pekerjaan yang akan hilang dan yang akan tercipta setelah dunia beralih menggunakan otomasi, kecerdasan buatan (AI), dan robotik.
Jenis-jenis pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tingkat tinggi (high-level skills) dengan komponen teknologi dan kognitif lebih besar akan meningkat. Sementara pekerjaan yang sifatnya keterampilan manual dan fisik akan berkurang.
Secara umum, kondisi ini tidak saja mengancam masa depan gen Z, tetapi juga semua pekerja pada umumnya. Namun, beban yang lebih besar dihadapi oleh gen Z. Hal itu terkait dengan penghasilan yang diterima tidak sebanding dengan kualitas hidup yang diharapkan.
Data dari McKinsey and Company pada Oktober 2022 lalu menunjukkan 26 persen gen Z yang disurvei mengaku penghasilan mereka di saat kondisi ekonomi seperti sekarang tidak memungkinkan mereka memiliki kualitas hidup yang baik.
Uang tabungan yang mereka miliki sedikit dan banyak dari mereka yang hidup dengan pola "gali lubang tutup lubang". Mereka juga berjuang lebih berat dibandingkan dengan generasi lain, terutama dalam hal memiliki rumah.
Situasi sulit yang dihadapi gen Z tidak hanya soal ekonomi. Terdapat juga penelitian dari lembaga Gallup tahun 2022 yang memaparkan banyak gen Z yang memiliki masalah di tempat kerjanya. Hal itu karena mereka merasa tidak memiliki ikatan dengan tempat bekerja atau lingkungan kerja yang tidak kondusif.
Mereka ini akan cenderung menarik diri dan bekerja tanpa totalitas. Dalam jangka panjang, mereka akan memutuskan untuk berhenti bekerja. Jika seperti ini, kondisi pengangguran akan meningkat.
Hal ini tidak tertutup kemungkinan juga terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, harus ada langkah yang lebih tepat dan efektif yang dilakukan pemerintah untuk menyiapkan lapangan kerja yang cocok untuk gen Z. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kecerdasan Buatan Berkembang Pesat, Buruh Khawatir Bakal Menganggur