Pancasila Menjadi Perekat Bangsa
Pancasila adalah berkah bagi bangsa Indonesia yang terbentuk dari berbagai macam suku bangsa, agama, budaya, bahasa, dan ribuan wilayah kepulauan. Di tengah kebinekaan itulah, Pancasila menjadi perekatnya.
1 Juni menjadi tonggak bersejarah lahirnya Pancasila sebagai dasar Negara. Momentum ini diinspirasi saat Soekarno membaca pidatonya dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI tahun 1945.
Di awal pidatonya, Soekarno menggugah soal makna kemerdekaan. ”Kemerdekaan, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat,” ungkap Soekarno.
Setelah menjelaskan makna kemerdekaan itulah, di bagian tengah pidatonya, Soekarno menyinggung soal alasan dan pijakan apa Indonesia didirikan. Menurutnya, kemerdekaan Indonesia menjadi jembatan emas untuk memerdekakan manusia Indonesia seluruhnya.
”Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak!” ungkap Soekarno berapi-api.
Dari paparan Soekarno soal kemerdekaan dan pijakan bagi Indonesia mendirikan negara inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya lima nilai yang menjadi dasar negara. Lima nilai ini yang kemudian menjadi pijakan bagi pendirian bangsa Indonesia. Kelima prinsip yang dikemukakan Soekarno adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri-kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan prinsip ketuhanan.
Dalam pidatonya, Soekarno juga menjelaskan soal penamaan kelima prinsip tersebut. ”Saudara-saudara! Dasar-dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan”, ujarnya.
Di bagian lanjutan pidatonya, Soekarno lebih menyetujui nama Pancasila atas masukan tokoh ahli bahasa yang menurutnya lebih tepat merangkum kelima prinsip yang menjadi dasar negara tersebut.
”Namanya bukan Panca Dharma, tetapi—saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi,” ujar Soekarno, yang kemudian dalam sejumlah literatur disambut tepuk tangan yang cukup riuh sebagai tanda kelahiran dasar negara Indonesia, Pancasila.
Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 inilah yang kemudian dimaknai sebagai tonggak lahirnya Pancasila. Pemerintah kemudian melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, memutuskan menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila dan berlaku hingga saat ini.
Baca juga : Menguatkan Nilai-nilai Pancasila
Pengingat
Dalam sejarah, pidato-pidato Soekarno selalu menggelorakan dan mengingatkan terus nilai-nilai Pancasila ini sebagai kekuatan dan perekat kebangsaan Indonesia yang majemuk.
Buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid Kedua yang berisi 20 kumpulan pidato Presiden Soekarno disebutkan bagaimana sang presiden terus menggelorakan niai-nilai Pancasila dalam pidato-pidatonya.
Sebut saja dalam pidatonya berjudul ”Harapan dan Kenyataan” yang dibacakannya pada 17 Agustus 1952. Soekarno mengingatkan kembali soal filsafat Pancasila. Di tengah keanekaragaman Indonesia, Pancasila menjadi ikatan kebangsaan.
”Filsafat Pancasila menghimpun dan mempersatukan seluruh masyarakat Indonesia, dengan kebudayaannya dan kepercayaannya yang beraneka-warna coraknya itu, menjadi satu ikatan kebangsaan yang besar dan berjiwa, dan menghimpun dan mempersatukan Indonesia itu dengan alam kemanusiaan di seluruh dunia pula,” tulis Soekarno.
Dalam satu pidato lainnya saat perayaan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1954 berjudul ”Berirama dengan Kodrat”, Soekarno juga mengingatkan kembali soal ikatan kebangsaan ini. Soekarno menganalogikan Pancasila ibarat semen batin, yang merekatkan seluruh eleman bangsa Indonesia, dengan beraneka warna, dari Sabang sampai ke Merauke.
”Alat-perekat batin yang utama bagi bangsa Indonesia ialah Pancasila. Ingat, kita ini bukan dari satu suku-bangsa. Ingat, kita ini bukan dari satu adat-istiadat. Ingat, kita ini bukan dari satu agama! Bhinneka Tunggal Ika,—Bhinna Ika Tunggal Ika—, ”berbeda-beda tetapi satu”, demikianlah tertulis di lambang negara kita, dan tekanan kataku sekarang ini kuletakkan kepada kata ”bhinna”, yaitu ”berbeda-beda”. Ingat, kita ini ”bhinna”, kita ini ”berbeda-beda”, dan untuk mempersatukan bangsa 80.000.000 jiwa yang berbeda itu, diperlukanlah satu semen-batin yang dapat menyemen mereka semua. Dan semen-batin itu ialah Pancasila,” ungkap Soekarno.
Baca juga : Pancasila di Ranah Minang
Alat perekat
Kesadaran bangsa Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai alat perekat ini memang tampak dari sejumlah hasil jajak pendapat Litbang Kompas.
Salah satunya bisa dikutip dari jajak pendapat pada Mei 2017 yang menyimpulkan bahwa kesadaran sebagai sebuah bangsa yang terbangun di atas keragaman adalah sesuatu yang tersimpan kuat dalam memori publik.
Publik meyakini, ikatan kebangsaan, Pancasila, akan tetap kuat dan tidak mudah goyah. Hal ini dinyatakan oleh mayoritas responden (95 persen) yang meyakini bangsa Indonesia mampu bertahan dalam persatuan di dalam kebinekaannya.
Persatuan dan kesatuan bangsa sudah mengakar dan terwujud dalam balutan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebuah negara yang lahir dan didirikan karena kesadaran anak bangsa berlatar belakang berbeda untuk menjadi satu, satu bangsa.
Jajak pendapat tersebut juga merekam bagaimana penilaian publik yang melihat perlunya menguatkan kembali ideologi kebangsaan Pancasila. Mayoritas responden (90,9 persen) meyakini ideologi kebangsaan Pancasila mampu menguatkan ikatan kebangsaan (Kompas, 2/6/2017).
Kini, ikatan persatuan dan kebangsaan tersebut mengemuka kembali seiring dengan momentum kontestasi pemilihan umum. Tak jarang, persaingan politik kerapkali dihadapkan pada tarik-menarik kepentingan politik antar sesama anak bangsa.
Dalam jajak pendapat Litbang Kompas lainnya menyebutkan, polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat seiring dengan momentum pemilu dikhawatirkan akan mengoyak ikatan yang menjadi perekat sesama anak bangsa tersebut (Kompas, 6/6/2022).
Namun, menjelang Pemilu 2024, potensi terkoyaknya ikatan kebangsaan bisa jadi hanya kekhawatiran berlebihan, sebab ada keyakinan yang besar bangsa ini sudah cukup dewasa dalam berdemokrasi.
Apalagi, pemerintah dan penyelenggara pemilu dengan regulasi yang ada sudah diyakini mampu mengantisipasi potensi terjadi konflik ataupun gejolak yang mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada akhirnya, seperti yang tertangkap dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada awal Mei 2023 ini, kejujuran dan keadilan menjadi dua hal yang bisa menjadi penopang bagaimana bangsa dan negara ini bisa melalui ujiannya, termasuk ujian terhadap bangunan ikatan kebangsaan yang tak pernah sepi dari godaan dan tantangan.
Bagaimanapun, seperti yang selalu dikumandangkan oleh Soekarno dalam pidato-pidatonya, Pancasila akan tetap menjadi ikatan dan semen kebatinan bangsa Indonesia yang tegak berdiri di atas kebhinekaan. Pancasila akan selalu menjadi perekat ikatan kebangsaan Indonesia. Selamat Hari Pancasila. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Pancasila dan Tugas Sejarah Kita