Sebanyak 90,3 persen responden jajak pendapat Kompas menilai Presiden harus netral pada Pemilu 2024. Sikap responden terbelah saat ditanya apakah Presiden sudah bersikap netral.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/ LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
ANDRI RENO
infografik Menurut Anda, seberapa penting bagi Presiden untuk bersikap netral dalam Pemilu 2024?
Di tengah tahapan Pemilihan Umum 2024 yang tengah berjalan, isu netralitas presiden menyeruak ke publik. Sebagai pejabat negara, publik memandang kenetralan presiden mutlak harus dijaga. Tingginya harapan publik atas kenetralan presiden dalam Pemilu 2024 terekam dari hasil jajak pendapat Kompas awal Mei 2023. Hasil survei menunjukkan, mayoritas responden (90,3 persen) menilai penting bahwa Presiden harus bersikap netral pada pemilu mendatang.
Suasana hati publik yang tergambar dari hasil jajak pendapat ini tentu sangat bisa dipahami. Meski tak bisa lagi ikut bertarung sebagai kontestan dalam pemilihan presiden, tak dapat dimungkiri Presiden Joko Widodo masih memiliki kekuatan politik yang besar. Dukungan langsung dari Jokowi kepada siapa pun yang nantinya maju dalam pemilihan presiden diyakini akan memberikan efek elektoral kepada sosok yang didukung.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Mengutip hasil survei periodik Kompas periode Mei 2023 ini, Presiden Jokowi memiliki pengaruh yang relatif besar dalam dinamika politik pemilihan presiden. Hasil survei tatap muka di 38 provinsi di Indonesia tersebut menunjukkan, kurang lebih 16 persen responden mengaku akan memilih sosok yang di-endorse Jokowi. Sementara itu, separuh lebih responden (53 persen) mengaku akan mempertimbangkan tokoh yang mendapat dukungan Jokowi, alias tak serta-merta mendukung, tapi tetap melihat rekam jejak dari sang tokoh.
Sebaliknya, kurang lebih sepertiga responden survei cenderung menolak siapa pun sosok yang didukung Jokowi. Kelompok yang ketiga ini cenderung tidak terpengaruh dengan arah politik Jokowi, bahkan cenderung menegasikannya.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas awal Mei 2023 juga menangkap adanya sikap yang terbelah dari publik terkait sikap Jokowi dalam beberapa waktu terakhir ini. Hal ini tidak lepas dari langkah-langkah Presiden Jokowi terkait dinamika pencalonan presiden. Ada separuh responden (50,5 persen) yang merasa Presiden sudah bersikap netral selama proses penyelenggaraan pemilu ini. Penilaian ini berbanding terbalik dengan sikap 45,4 persen responden lain yang melihat Presiden belum bersikap netral, bahkan sebagian di antaranya beranggapan Presiden sangat tidak netral.
DOKUMENTASI HUMAS PAN
(Dari kiri) Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Presiden Joko Widodo, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP Mardiono saat menghadiri Silaturahmi Ramadhan di Kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu (2/4/2023). Kelima ketua umum parpol tersebut sepakat bahwa pembentukan koalisi besar penting untuk kebangsaan dan keberlanjutan pembangunan di masa mendatang.
Terbelahnya penilaian publik ini selaras dengan keyakinan akan netralitas Presiden ke depan. Hasil jajak pendapat menunjukkan, kurang lebih 48 persen responden meyakini Presiden bisa bersikap netral dengan makin dekatnya pelaksanaan pemilu. Sebaliknya, 39 persen responden yang lain tidak meyakini hal tersebut.
Masih munculnya penilaian belum netralnya Presiden menjadi gambaran tetap adanya kekhawatiran publik. Bentuk ketidaknetralan dari Presiden ini pun dipahami dengan cukup seragam oleh publik. Sekitar sepertiga responden merasa pernyataan dukungan Presiden, baik untuk partai maupun personal tertentu, menjadi bentuk paling kentara dari sikap yang tidak netral.
Dalam beberapa kesempatan, Jokowi memang memberikan sinyal dan kode, seperti pemimpin yang kurus berambut putih dalam acara pertemuan sukarelawan yang ketika itu Jokowi didampingi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Hal yang sama dalam acara ulang tahun Partai Perindo, Jokowi juga memberikan sinyal bahwa pemilihan presiden berikutnya menjadi jatah Prabowo.
Di mata responden, aktivitas dan komunikasi politik Presiden ini dikhawatirkan akan mengganggu kenetralannya. Hal ini terekam dalam jajak pendapat Kompas, yang memperlihatkan seperlima responden menilai kehadiran atau keterlibatan Presiden dalam kampanye politik pihak tertentu juga menjadi bentuk ketidaknetralan yang harus dihindari.
Definisi netralitas
Jajak pendapat juga menangkap ada definisi beragam dari publik terkait netralitas ini. Ada keinginan publik agar aktivitas politik praktis semestinya tidak mengganggu kepentingan publik. Tak sedikit dari responden yang menyoroti soal penggunaan kewenangan pejabat negara.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) simulasi melakukan simulasi penghitungan suara untuk Pemilu serentak tahun 2024 di Palembang, Sumatera selatan, Kamis (27/4/2023). Simulasi ini bertujuan untuk mencari formula penghitungan yang tepat agar kejadian tahun 2019 dimana proses penghitungan merenggut ratusan nyawa petugas KPPS, tidak terulang.
Sebanyak 19 persen responden menyatakan, penggunaan fasilitas publik untuk kepentingan aktivitas politik adalah bentuk sikap yang tak netral dari pejabat negara. Sebanyak 14 persen responden juga merasa penggunaan anggaran publik, termasuk APBN dan APBD, untuk kepentingan politik pihak yang bertarung di pemilu, merupakan bentuk dari ketidaknetralan.
Tak hanya itu, aspek netralitas yang harus diperhatikan adalah terkait insentif yang bisa didapatkan pejabat negara selama masa pemilu. Tentu, bentuk insentif materiil, seperti menerima hadiah atau gratifikasi lainnya, dipandang sebagai bentuk nyata dari sikap tidak netral. Namun, selain itu, bentuk insentif lain, seperti insentif politik, juga ikut disorot publik.
Salah satu bentuk insentif politik yang dikhawatirkan adalah keikutsertaan dalam pemilu. Lebih dari 11 persen responden survei menilai pejabat negara yang mencalonkan diri dalam pemilu mendatang telah bersikap tidak netral. Bukan hanya itu, sekitar 14 persen lainnya memandang keikutsertaan anggota keluarga pejabat negara dalam pemilu juga menjadi bentuk ketidaknetralan.
Kekhawatiran
Harapan publik atas netralitas pejabat negara, termasuk Presiden, berakar pada kekhawatiran akan kesewenang-wenangan. Hampir tiga perempat responden jajak pendapatnya beranggapan bahwa sikap tidak netral yang ditunjukkan pejabat negara di masa pemilu berpotensi mengarah pada penyelewengan kekuasaan. Bahkan, sekitar sepertiga dari mereka menilai ketidaknetralan sangat dekat dengan penyelewengan.
Soal netralitas sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundangan. Salah satunya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 283 Ayat (1), misalnya, menyatakan, pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri dilarang untuk mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap peserta pemilu. Dalam Ayat (2) juga disebutkan bentuk kegiatan ini diperjelas, yakni meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoblos contoh surat suara saat peluncuran hari pemungutan suara pemilu serentak 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (14/2/2022). Pemilu serentak sendiri akan berlangsung pada 14 Februari 2024 atau tepat dua tahun yang akan datang. Acara tersebut juga dihadiri perwakilan partai politik, Bawaslu, dan DKPP.
Definisi dari pejabat negara juga jelas diatur dalam UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam Pasal 122 disebutkan, pejabat negara meliputi presiden-wakil presiden; pimpinan dan anggota MPR/DPR/ DPD; ketua dan wakil ketua hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi; menteri dan jabatan setingkat menteri; perwakilan Indonesia di luar negeri; gubernur dan wakilnya; bupati atau wali kota dan wakilnya; serta pejabat negara lain yang ditentukan undang-undang.
Tentu, pejabat negara sebagai bagian dari warga negara Indonesia juga memiliki hak politik. Maka, UU Pemilu pun telah mengatur agar pelaksanaan hak politik pejabat negara sebagai warga negara tak bertabrakan dengan kepentingan umum.
Hal ini diatur dalam Pasal 281 Ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, kampanye pemilu yang mengikutsertakan pejabat negara, termasuk presiden dan jajarannya, gubernur, hingga bupati atau wali kota dan jajarannya, untuk tak menggunakan fasilitas jabatan dan dilakukan ketika pejabat negara itu cuti di luar tanggungan.
Tak ayal, adanya peraturan perundangan ini sudah menunjukkan batasan yang jelas bagi para pejabat negara. Regulasi ini seharusnya sudah cukup untuk tidak memberikan ruang bagi mereka untuk bersikap tidak netral selama proses pemilu ke depan. Artinya, menjaga netralitas pejabat negara, termasuk presiden, adalah bagian yang tidak lepas dari upaya menjaga marwah dari presiden dan pejabat negara itu sendiri.