Memori publik pada peristiwa reformasi 1998 harus tetap dirawat untuk menjaga komitmen bangsa ini menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di dalamnya.
Oleh
Arita Nugraheni
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jabodetabek menggelar Aksi Peringatan 25 Tahun Reformasi di kawasan Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Sebagian publik tidak memiliki bayangan terkait tragedi-tragedi yang terjadi di era awal reformasi. Bahkan, tidak sedikit yang lupa dan tidak mengetahuai tentang tiga kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di babak akhir rezim Orde Baru tersebut.
Di momen seperempat abad reformasi ini, akankah masyarakat tergerak untuk merawat ingatan pada korban-korban reformasi yang masih mencari keadilan?
Perjalanan 25 tahun reformasi menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di era pergantian rezim. Ingatan pada tragedi tersebut perlu dirawat demi menguatkan komitmen agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Meski tidak semua masyarakat memiliki pengetahuan maupun ingatan pada peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu, harapan untuk merawat sejarah memercik di momen seperempat abad reformasi. Hal ini tergambar dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas awal Mei 2023 lalu.
Secara umum, sebanyak 65,1 persen responden memiliki imaji pada pelanggaran HAM yang terjadi di awal era reformasi. Sebagian besar mengingatnya dengan peristiwa penculikan, penyiksaan, dan penembakan aktivis.
Sebagian lainnya mengaitkan dengan peristiwa kerusuhan Mei dan tragedi kemanusiaan. Adapun sebagian kecil mengasosiasikan pelanggaran HAM tersebut sebagai sebuah penyelidikan kasus yang belum tuntas, ketidakadilan, maupun proses perubahan.
Meski demikian, jajak pendapat ini turut merekam sepertiga responden (34,9 persen) yang tidak memiliki bayangan ketika diajak mengingat pelanggaran HAM di awal reformasi. Jika dibedah menurut profil usia responden, kelompok berusia 17 hingga 24 tahun (gen Z) merupakan yang paling besar proporsinya menjawab tidak tahu (46,4 persen).
Di sekitaran era awal reformasi, setidaknya ada tiga peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi, yakni peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; dan tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998-1999.
Kini, ketiga kasus tersebut tidak lagi menjumpai perdebatan apakah masuk sebagai kategori pelanggaran HAM berat atau bukan seperti yang pernah disampaikan dalam rapat Komisi III DPR RI pada 2001 maupun 2020.
Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui dua belas peristiwa pelanggaran HAM berat telah terjadi di Indonesia, termasuk ketiga kasus tersebut di atas.
Presiden Jokowi juga mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (PPHAM).
Bersamaan dengan aturan ini, diterbitkan pula Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Secara ringkas, aturan ini menginstruksikan enam belas menteri, jaksa agung, panglima TNI, dan Kapolri untuk memulihkan hak korban atas pelanggaran HAM berat dan mencegah agar pelanggaran HAM berat tidak akan terjadi lagi.
Menyelami benak publik lebih dalam, tiga peristiwa di sekitaran momen reformasi setidaknya diketahui oleh delapan dari 10 responden. Hanya saja, separuh mengingat adanya pelanggaran HAM berat, sementara separuh lainnya telah melupakan peristiwa tersebut. Sisanya, hampir 15 persen responden mengaku tidak mengetahui sama sekali.
Pada peristiwa penculikan aktivis yang terjadi April 1997 hingga Mei 1998, sebanyak 44,4 persen menyatakan mengingat peristiwa tersebut. Sayangnya, 41,1 persen mengaku lupa dan 14,5 persen menyebut tidak mengetahui sama sekali.
Jika dibandingkan dengan peristiwa lainnya, peristiwa penghilangan paksa inilah yang paling sedikit diingat oleh publik. Dalam peristiwa penculikan ini, tercatat 24 aktivis menjadi korban. Rinciannya, 9 orang dilepaskan, 1 orang meninggal dengan luka tembak, dan 14 menyandang status hilang.
Adapun dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, sebanyak 53,2 persen responden mengingat peristiwa ini. Sayangnya, 34,2 persen mengaku lupa dan 12,6 persen mengaku tidak tahu sama sekali.
Dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, terjadi penjarahan, pembakaran, dan amuk massa di Jakarta dan sejumlah kota lainnya. Pada 13-15 Mei 1998, data menunjukkan ratusan korban meninggal karena terbakar, dianiaya, maupun karena luka akibat senjata. Pada momen ini, tercatat ratusan kasus perkosaan terjadi hingga belasan meninggal dunia.
Adapun dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, lebih banyak publik yang mengetahui dan mengingatnya. Terekam 57,2 persen mengingat, 30,4 persen menyatakan lupa, dan 12,4 persen menyampaikan tidak mengetahui peristiwa tersebut.
Pada kasus ini, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas akibat luka tembak. Sementara pada peristiwa Semanggi I yang terjadi pada 13 November 1998, 17 warga sipil tewas dan 456 luka-luka. Adapun pada peristiwa Semanggi II yang terjadi pada 24 September 1999, 11 warga sipil tewas dan 217 mengalami luka-luka.
Sejarah pelanggaran HAM patut untuk diingat untuk mengenang luka agar tidak terulang di masa mendatang. Apalagi, merawat ingatan pada sejarah kelam bangsa menjadi upaya yang paling sederhana untuk berempati pada korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Pemberitaan melalui media massa, baik televisi, radio, surat kabar, maupun majalah, diakui sebagian besar responden (45,3 persen) sebagai sumber informasi dalam mengetahui sejarah pelanggaran HAM tersebut.
Sementara dalam proporsi yang hampir sama, sebanyak 14,7 persen mengetahui dari pelajaran sekolah dan 14,1 persen dari media sosial. Jajak pendapat ini turut merekam sejumlah responden yang mengetahui sejarah tersebut dari tutur lisan lewat cerita dari orangtua maupun lingkaran pergaulan.
Temuan ini menunjukkan bahwa kanal di luar lembaga pendidikan justru memberikan pengaruh yang besar dalam upaya merawat ingatan pada sejarah negeri. Dari temuan di atas, media massa memiliki peran vital dan diharapkan konsisten memberikan konten-konten bermuatan sejarah untuk merawat ingatan perjalanan bangsa.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar Aksi Kamisan ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/5/2023). Aksi Kamisan ke-772 ini digelar dengan tema Peringatan 25 Tahun Reformasi : Tegakkan Supremasi Hukum dan HAM. Dalam aksi kali ini mereka meminta Pemerintah, khususnya Presiden, untuk benar-benar melaksanakan amanah agenda reformasi tanpa kepentingan politik praktis. Selain itu, mereka juga menuntut Jaksa Agung membentuk Tim Penyidik Ad Hoc untuk menindaklanjuti sejumlah pelanggaran HAM Berat masa lalu yang telah diselidiki Komnas HAM.
Di momen seperempat abad reformasi ini pula terpotret antusiasme masyarakat untuk memperbaiki ingatan pada sejarah pelanggaran HAM di masa lalu. Terekam 72,2 persen responden menyebut akan mempelajari sejarahnya.
Sementara itu, 64,7 persen responden berminat untuk mengikuti diskusi seputar reformasi 1998. Bahkan, 31 persen responden menyebut tertarik untuk mengikuti aksi menyuarakan hak-hak korban reformasi 1998.
Dari temuan ini dapat ditarik sebuah benang merah adanya semangat untuk merawat ingatan sejarah pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia. Harapannya, momen 25 tahun reformasi kali ini menjadi tonggak baru untuk menyegarkan ingatan agar peristiwa kelam di masa lalu tak hanya tinggal sejarah. (LITBANG KOMPAS)