Pemberantasan korupsi dan pemberian otonomi kepada daerah menjadi bagian agenda dari tuntutan reformasi. Bagaimana kondisinya saat ini setelah 25 tahun reformasi berjalan?
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar Aksi Kamisan Ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Refleksi seperempat abad reformasi diperlukan untuk menyongsong abad kekokohan demokrasi. Pergantian rezim dari Orde Baru diwarnai dengan upaya untuk memberikan landasan hukum yang tepat untuk menjawab tuntutan reformasi. Salah satunya upaya untuk menumpas korupsi, kolusi, dan nepotisme serta pemberian otonomi yang seluas-luasnya pada daerah.
Selepas pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, pada hari yang sama Wakil Presiden BJ Habibie dilantik menjadi presiden untuk melanjutkan masa jabatan periode 1998-2003. Pada masa awal kepemimpinan Habibie, negara berupaya untuk menjawab tuntutan reformasi lewat produk-produk hukum untuk memayungi langkah perubahan.
Upaya memberikan jaminan pada kebebasan warga untuk berpendapat dan memastikan adanya payung hukum penumpasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dijalankan di masa kepemimpinan Habibie yang hanya berlangsung satu tahun lima bulan (21 Mei 1998-20 Oktober 1999).
Pada 1999, pemerintah dan DPR menerbitkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Upaya lain juga ditunjukkan dengan penerbitan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kebijakan ini pun secara konsisten dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin awal reformasi lewat pengesahan produk hukum untuk memayungi langkah-langkah konkret menyongsong pemerintahan yang lebih demokratis.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri terbit UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Bersamaan dengan aturan ini, lahirlah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Lembaga penegak hukum yang fokus pada isu KKN juga dibentuk. Tahun 2002, UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disahkan. Setahun kemudian disahkan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan pada 2004 terbit Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selain penguatan supremasi hukum lewat undang-undang, salah satu penanda era awal reformasi adalah bergeloranya tuntutan daerah untuk memekarkan diri. Animo ini pun disambut dengan pengesahan puluhan daerah baru lewat instrumen hukum baru yang dibentuk.
Produk hukum berupa UU yang selaras dengan tuntutan reformasi meningkat sejak akhir 1998 hingga 2004. Pada 1999, animo daerah untuk memekarkan diri menjadi otonomi baru adalah salah satu jejak reformasi.
Pada 1999, nuansa legislasi didominasi dengan aturan yang memayungi pembentukan daerah otonomi baru (DOB), baik berupa provinsi, kabupaten, maupun kota. Tahun ini menjadi era awal otonomi daerah yang selaras dengan tuntutan reformasi untuk memberikan otonomi daerah seluas-luasnya.
Penelusuran Litbang Kompas pada dokumen hukum sepanjang 1998 hingga 2004 menemukan adanya lonjakan penerbitan undang-undang yang mengatur tentang pembentukan daerah baru pada 1999. Momen transisi dari Orde Baru ke masa Reformasi menjadi titik awal dari upaya negara memberikan otonomi kepada daerah.
Pada 1998 hanya ada satu undang-undang yang diterbitkan sebagai payung hukum pembentukan wilayah baru, yakni UU Nomor 12 Tahun 1998 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Mandailing Natal. Keduanya berada di Provinsi Sumatera Utara.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Salah satu aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar Aksi Kamisan Ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/5/2023). Aksi Kamisan ini digelar dengan tema Peringatan 25 Tahun Reformasi: Tegakkan Supremasi Hukum dan HAM. Mereka meminta pemerintah, khususnya Presiden, untuk benar-benar melaksanakan amanah agenda reformasi tanpa kepentingan politik praktis.
Pada tahun 1999 terjadi lonjakan pembentukan daerah baru yang signifikan. Berbeda dengan tahun 1998, pemekaran wilayah pada 1999 telah bertumpu pada setidaknya tiga peraturan baru.
Tiga aturan tersebut adalah UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Lewat aturan inilah, daerah memiliki peluang untuk dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah.
Penerbitan undang-undang untuk daerah yang mekar pada 1999 berjumlah 19 undang-undang yang menaungi pemekaran 46 wilayah. Rinciannya, 3 provinsi baru, 8 kota baru, dan 35 kabupaten baru. Kala itu, jumlah provinsi Indonesia baru 26 provinsi. Tahun 1999 bertambah tiga dengan Maluku Utara, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Barat.
Adapun provinsi dengan pembentukan wilayah baru terbanyak adalah di wilayah Riau. Melalui UU Nomor 53 Tahun 1999 diputuskan pembentukan tujuh kabupaten dan satu kota baru, yakni Pelalawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Karimun, Natuna, Kuantan Singingi, dan Kota Batam.
Pada tahun 2000, pembentukan daerah baru surut. Hanya ada tiga undang-undang yang dikeluarkan untuk mengesahkan pembentukan provinsi baru, yakni Provinsi Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung, dan Banten. Akan tetapi, lonjakan kembali tampak pada 2001 dan 2002.
Pada tahun 2001 tampak adanya tren pembentukan kota baru. Dari sebelas daerah baru yang terbentuk, seluruhnya merupakan kota. Tren ini tak berlanjut di tahun 2002. Dari 15 daerah tingkat II yang terbentuk, hanya tiga yang berupa kota.
Tahun 2002, Provinsi Kalimantan Tengah mencatatkan pembentukan kabupaten terbanyak, yakni delapan daerah baru. Masing-masing adalah Kabupaten Katingan, Seruyan, Sukamara, Lamandau, Gunung Mas, Pulang Pisau, Murung Raya, dan Barito Timur. Adapun pada 2004 hanya ada satu pembentukan daerah baru, yakni Provinsi Sulawesi Barat.
Daerah baru yang disahkan pada 1999 mengambil porsi seperempat dari 179 kabupaten dan kota baru yang terbentuk dari 1998-2008. Sayangnya, hal ini nyatanya hanya euforia yang kontraproduktif dengan cita-cita mulia untuk memajukan daerah.
Pada 2006, hasil kajian Litbang Kompas menemukan bahwa mayoritas daerah baru kesulitan mengelola potensi yang dimiliki. Menggunakan 20 indikator potensi daerah, ditemukan bahwa 88 persen kabupaten dan kota hasil pemekaran pada 2001-2002 memiliki potensi yang masih kalah dari daerah lain di provinsinya.
Hanya tiga daerah, yakni Kota Padang Sidempuan, Kota Tasikmalaya, dan Kota Bau-Bau, yang potensi daerahnya melampaui rata-rata daerah lainnya.
Litbang Kompas turut menemukan hanya 28 persen daerah yang mengalami kemajuan yang baik. Analisis menggunakan data indeks ini menunjukkan bahwa harapan untuk mendapatkan kemajuan ekonomi, sosial, dan infrastruktur daerah setelah pemekaran masih belum memadai (Kompas, 21/5/2008).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Polisi menghadap poster yang dibentang aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara saat menggelar Aksi Kamisan Ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Jejak reformasi itu kini perlu direfleksikan lebih bijak. Apalagi, sentimen publik masih pesimistis terhadap perjalanan reformasi itu sendiri. Jajak pendapat Litbang Kompas pada Mei 2020 merekam lebih banyak responden (60 persen) yang tidak puas terhadap proses reformasi pada saat itu. Ketidakpuasan tertinggi terekam pada aspek hukum dan birokrasi.
Artinya, negara masih punya tanggung jawab untuk menjawab tuntutan reformasi dan tidak terjebak pada euforia semata.
Perjalanan 25 tahun reformasi juga tidak sekadar menjawab tantangan ke depan untuk merawat demokrasi tetap berjalan di rel yang benar, tetapi reformasi juga harus terus mengingat masa lalu.
Sebab, 25 tahun berlalu, rasanya tidak akan berhenti sampai keadilan terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu bisa diselesaikan. (LITBANG KOMPAS)