Perjalanan 25 tahun reformasi adalah waktu yang juga dirasakan oleh mereka yang menjadi korban dan keluarganya untuk menanti keadilan. Komitmen pemerintah menjadi tumpuan dan harapan terpenuhinya keadilan.
Oleh
Yulius Brahmantya Priambada
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Salah satu aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar Aksi Kamisan Ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Bulan Mei menyimpan memori bagi bangsa ini. Selama 25 tahun kehidupan di era Reformasi telah dijalani. Babak bersejarah tersebut membawa perubahan mendalam bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, reformasi tidak hanya melahirkan perubahan dalam kualitas demokrasi, tetapi juga menumpahkan darah dan air mata.
Sedikitnya terdapat lima insiden yang dikelompokkan menjadi tiga tragedi terkait dengan reformasi. Pertama adalah penculikan aktivis di tahun 1997-1998.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat setidaknya 24 orang diculik pada kurun waktu tersebut. Sembilan orang berhasil kembali, sedangkan 14 orang lainnya masih berstatus hilang dan satu orang ditemukan meninggal dengan luka tembak.
Peristiwa berikutnya adalah insiden penembakan mahasiswa Universitas Trisakti selepas berdemonstrasi pada 12 Mei 1998. Peristiwa tersebut memakan korban empat orang yang semuanya adalah mahasiswa Trisakti. Sehari kemudian terjadi peristiwa yang menjadi momen terkelam reformasi, yakni kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyatakan, setidaknya 1.339 orang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Dari jumlah itu, sebanyak 1.190 tewas terbakar, 27 meninggal karena senjata atau sebab lain, 91 luka-luka, dan 31 hilang.
Kerusuhan yang disertai dengan penjarahan dan pembakaran tersebut ternyata turut dibarengi dengan aksi kekerasan seksual yang masif. TGPF mencatat, terdapat 152 korban kekerasan seksual, mulai dari pelecehan hingga pemerkosaan.
Tindak keji tersebut rupanya juga disertai dengan penganiayaan dan pembakaran, hingga menyebabkan 20 korban di antaranya meninggal.
Insiden berdarah berikutnya terjadi setengah tahun kemudian, tepatnya pada 13 November 1998. Kala itu, ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat berdemonstrasi di sekitar Semanggi menolak pelaksanaan Sidang Istimewa MPR 1998.
RIANA A IBRAHIM
Aksi demonstrasi pada Mei 1998 yang diabadikan melalui kamera milik Firman Hidayatullah dipamerkan dalam pameran foto bertajuk 25 Tahun Reformasi. Pameran ini diselenggarakan Pena 98 pada 11-17 Mei 2023.
Dalam insiden yang berujung kericuhan tersebut terjadi penembakan yang menyebabkan 17 warga sipil tewas dan 456 lainnya luka-luka. Tragedi ini lantas dikenal sebagai Tragedi Semanggi I.
Selang sekitar setahun kemudian, kisah pilu di Semanggi kembali terulang. Pada 24 September 1999, ribuan warga dari berbagai elemen berdemonstrasi di Semanggi untuk menolak Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya.
Dalam insiden yang dikenal sebagai Semanggi II ini, Kontras menemukan terdapat 11 korban tewas dan 217 luka-luka. Beberapa korban tewas ditemukan dengan luka tembak di tubuhnya.
Di luar kejadian-kejadian tersebut, terdapat pula insiden di beberapa kota, seperti penembakan Moses Gatotkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, dan kerusuhan di Surakarta.
Dengan korban yang mencapai ribuan jiwa, pemerintah sejatinya tidak tinggal diam. Proses pengadilan pertama terkait kasus Trisakti terjadi pada 7 Juni 1998 (Kompas, 7/6/1998).
Kemudian, pada 23 Juli 1998, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang terdiri dari unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan organisasi masyarakat.
Sekitar tiga bulan kemudian, pada 4 November 1998, TGPF telah mengeluarkan delapan rekomendasi terkait kerusuhan 13-15 Mei 1998. Beberapa di antaranya adalah pemerintah harus segera melakukan penyelidikan lanjutan dan membuat instrumen hukum yang mendukung proses penyelidikan.
Selanjutnya, pada medio 2000, DPR membentuk Panitia Khusus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS). Panitia yang diketuai Panda Nababan dari Fraksi PDI-P itu lantas menyatakan bahwa ketiga peristiwa tersebut adalah pelanggaran biasa dan bukan pelanggaran HAM berat.
Keputusan tersebut diterima DPR dalam rapat paripurna dan menyerahkan penyelesaian kasus kepada pengadilan umum atau militer (Kompas, 10/7/2001).
Hasil yang disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR tersebut bertolak belakang dengan temuan Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti-Semanggi yang menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam ketiga peristiwa berdarah tersebut (Kompas, 22/3/2002).
Akan tetapi, laporan dari KPP HAM menemui jalan buntu karena selalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung sebagai penyidik dan penuntut dengan berbagai alasan. Terakhir, Kejaksaan Agung mengembalikan 11 berkas penyelidikan kepada Komnas HAM pada November 2018.
Reformasi tidak hanya melahirkan perubahan dalam kualitas demokrasi, tetapi juga menumpahkan darah dan air mata.
Dalam tahun-tahun berikutnya, upaya pengusutan pelanggaran HAM berat pada kasus-kasus seputar reformasi seakan diam di tempat.
Memang 15 tersangka telah divonis bersalah dalam pengadilan tahun 1999 dan 2002, tetapi belum ada titik terang mengenai siapa pihak sesungguhnya di balik peristiwa-peristiwa berdarah tersebut.
Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang digadang-gadang dapat menemukan jawaban pun hingga kini belum terwujud.
Dengan mandeknya proses penyelesaian yudisial, pemerintah kemudian berfokus pada penyelesaian nonyudisial. Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat bentukan Kejaksaan Agung mengusulkan agar kasus-kasus yang diusut diselesaikan lewat jalur nonyudisial.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) lantas pada Agustus 2022 membentuk Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM).
Akhirnya, setelah 25 tahun reformasi, berdasarkan laporan PPHAM, pada 11 Januari 2023 Presiden Jokowi mengakui dan menyesali terjadinya 12 pelanggaran HAM berat, termasuk penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti, dan Semanggi I-II.
Selang tiga bulan kemudian, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2023 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 sebagai tindak lanjut proses penyelesaian nonyudisial sesuai rekomendasi PPHAM.
Awal Mei ini, Presiden Jokowi mengadakan rapat yang membahas pelaksanaan penyelesaian nonyudisial dengan 19 menteri, panglima TNI, jaksa agung, kepala Polri, dan lembaga terkait.
Upaya penyelesaian nonyudisial tidak serta-merta meniadakan kewajiban pemerintah menegakkan penyelesaian secara yudisial.
Komitmen serius dari pemerintah dan pengawalan dari masyarakat diperlukan untuk memenuhi keadilan bagi para korban reformasi, agar penantian korban dan keluarganya sepanjang 25 tahun terakhir ini tidak sia-sia. (LITBANG KOMPAS)