Sudah Saatnya Peternakan Sapi Tak Lagi Berfokus di Jawa
Perlu mengubah haluan peternakan di Indonesia, salah satunya dengan pengembangan di luar Pulau Jawa dengan model integrasi sapi-sawit. Konsep ini memanfaatkan lahan perkebunan sawit untuk lahan penggembalaan sapi.
Peningkatan konsumsi daging sapi dalam negeri menuntut pasokan yang sesuai dengan permintaan pasar domestik. Sayangnya, pangsa konsumen daging yang berpusat di Jawa belum mampu memenuhi kebutuhan itu. Pengembangan sentra peternakan di luar Jawa perlu segera diwujudkan.
Seiring meningkatnya kualitas kesejahteraan penduduk, kebutuhan terhadap daging sapi di Indonesia diperkirakan turut bertambah. Menurut Outlook Komoditas Peternakan Daging Sapi 2022, Kementerian Pertanian mencatat, konsumsi daging sapi per kapita dalam setahun akan mencapai 2,77 kilogram pada 2026. Dengan jumlah penduduk yang diproyeksikan 306 juta jiwa, kebutuhan daging sapi pada tahun tersebut mencapai 795.000 ton.
Hingga kini, permintaan daging terbesar masih berasal dari provinsi-provinsi di Pulau Jawa, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Banyaknya jumlah penduduk mendorong tingginya permintaan di wilayah tersebut. Kondisi demikian diperkirakan terus terjadi hingga tahun-tahun mendatang.
Selain memiliki tingkat permintaan daging yang tinggi, hampir semua provinsi di Jawa menjadi sentra produksi daging sapi di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, lebih dari separuh produksi daging sapi nasional disuplai dari Jawa. Pasokan yang banyak ini didukung besarnya populasi sapi di Jawa yang mencapai 18,6 juta ekor sapi potong, 42 persen populasi nasional.
Kepadatan penduduk
Sebagian besar pemilik sapi potong di Indonesia, terutama di Jawa, adalah peternak rakyat skala kecil. Konsep yang diterapkan umumnya bersifat tradisional dan subsisten.
Kecenderungan yang terjadi selama ini, sapi hanya dijual jika pemilik sedang membutuhkan dana. Karena itu, tak ada jaminan keberlanjutan produksi daging sapi dalam jangka panjang, terutama dari Pulau Jawa.
Kebiasaan peternak rakyat berbeda dengan pengusaha peternakan berorientasi bisnis yang terus berupaya meningkatkan skala produksi demi menyuplai permintaan pasar. Hanya saja, upaya meningkatkan budidaya produksi daging sapi di Pulau Jawa itu tak mudah diwujudkan.
Baca Juga: Jaga Pasokan Daging dengan Swasembada Skala Domestik
Padatnya penduduk di Jawa membuat penggunaan lahan untuk permukiman dan fasilitas pendukung lainnya tak bisa dihindarkan. Akibatnya, lahan dan sumber pakan bagi pengembangan peternakan sejenis feedlot dalam skala besar tak mudah dilakukan. Kesulitan ini terutama dirasakan dalam pengembangan budidaya peternakan di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta, wilayah pendukung Ibu Kota (Bodetabek), dan kota-kota besar lain di Jawa.
Berdasarkan publikasi BPS tahun 2021, kepadatan penduduk di Ibu Kota 15.978 jiwa per kilometer persegi. Padahal, kepadatan penduduk secara nasional hanya 142 jiwa per kilometer persegi. Artinya, tingkat kepadatan penduduk DKI Jakarta lebih dari 100 kali lipat kepadatan penduduk nasional.
Meskipun tak seperti Jakarta, provinsi lain di Pulau Jawa juga memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi. Jawa Barat, misalnya, mencapai 1.379 jiwa per kilometer persegi. Berikutnya diikuti Banten, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Semua provinsi ini memiliki tingkat kepadatan penduduk rata-rata di atas 1.000 jiwa per kilometer persegi.
Sementara itu, provinsi di luar Pulau Jawa, terutama di Kalimantan dan wilayah timur Indonesia, mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang masih kurang dari 100 jiwa per kilometer persegi. Dengan kata lain, wilayah di luar Pulau Jawa lebih memungkinkan untuk dijadikan sentra pengembangan budidaya peternakan.
Rochadi Tawaf, pakar agrobisnis Universitas Padjadjaran, dalam diskusi daring mengatakan perlunya mengubah haluan pengembangan peternakan di Indonesia. ”Saya melihat, ada hal yang perlu diubah oleh pemerintah karena selama ini pengembangan peternakan masih fokus di Jawa. Padahal, kita memiliki potensi yang belum terwujud maksimal, misalnya di Kalimantan, Sulawesi, Indonesia timur, dan Sumatera,” kata Rochadi, Minggu (12/3/2023).
Integrasi sapi-sawit
Rochadi juga mengatakan, salah satu pengembangan peternakan yang bisa dilakukan di luar Pulau Jawa adalah integrasi sapi-sawit. Konsep ini memanfaatkan lahan perkebunan kelapa sawit untuk peternakan atau lahan penggembalaan sapi. Berbagai literatur menyebutkan, model integrasi ini telah menjadi perhatian setidaknya selama dua dekade terakhir.
Gagasan tersebut tak terlepas dari luasnya perkebunan sawit di Indonesia. Our World in Data, salah satu pusat data di Inggris, mencatat, luas lahan perkebunan sawit di Indonesia mencapai 15 juta hektar pada 2020. Dengan total perkebunan kelapa sawit dunia 28,7 juta hektar, Indonesia menyumbang lebih dari 52 persen.
Melihat tren tahun ke tahun, lahan sawit Indonesia konsisten mengalami peningkatan. Tahun 2010, luas lahan sawit baru 8,4 juta hektar. Artinya, dalam satu dekade, lahan perkebunan sawit meningkat dua kali lipat.
Pakar peternakan, Profesor Tjeppy Daradjatun Sudjana, mengatakan, jika separuh dari lahan sawit yang ada dimanfaatkan untuk integrasi, akan dihasilkan 15 juta-16 juta ekor sapi. Hitungan didasarkan pada estimasi setiap 1 hektar lahan bisa memberikan pakan untuk dua ekor sapi sepanjang tahun.
Baca Juga: Membedah 30 Tahun Perkara Daging Sapi
Hijauan dari sawit, baik daun maupun pelepah, termasuk gulma yang tumbuh di perkebunan sawit, bisa menjadi bahan pakan sapi. Selain itu, hasil sampingan dari pabrik pengolahan CPO juga dapat digunakan sebagai bahan campuran konsentrat untuk sapi.
Secara spasial, Sumatera dan Kalimantan mendominasi perkebunan sawit di Tanah Air. Riau menjadi provinsi dengan lahan sawit terluas, yakni 2,8 juta hektar atau seperlima dari total nasional. Daerah sentra sawit berikutnya antara lain Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Barat. Dengan kata lain, sistem integrasi sapi-sawit bisa dimulai dari provinsi-provinsi di luar Jawa.
Salah satu praktik baik integrasi sapi-sawit saat ini terdapat di Kalimantan Selatan. Medio Maret lalu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo meresmikan program Sistem Integrasi Sapi-Sawit Berbasis Kemitraan Usaha Ternak Inti Plasma di Kabupaten Tanah Bumbu.
Selain itu, Menteri Pertanian menyaksikan panen anak sapi hasil dari program tersebut. Pada masa mendatang, Menteri Pertanian menargetkan pengembangan sapi di Tanah Bumbu bisa mencapai 10.000 ekor (Kompas, 18/3/2023).
Simbiosis mutualisme
Tak hanya untuk sapi, sistem integrasi tersebut juga dinilai mampu memberi manfaat lebih untuk budidaya sawit itu sendiri. Tjeppy menambahkan, integrasi sapi-sawit membuat kelapa sawit lebih produktif. ”Beberapa hasil penelitian menunjukkan sawit yang dipupuk dengan kotoran sapi memiliki tandan lebih berat, buahnya pun lebih besar. Artinya, produktivitas meningkat,” ujarnya, Rabu (15/3).
Jika berlangsung secara konsisten, potensi valuasi kelapa sawit semakin besar. Bukan tidak mungkin ekspor akan terus meningkat. Selama ini, komoditas sawit telah menyumbang devisa negara dalam jumlah cukup fantastis.
Baca Juga: Menagih Komitmen Swasembada Daging Sapi
BPS mencatat, ekspor minyak kelapa sawit Indonesia pada 2021 mencapai 28,6 miliar dollar AS atau setara Rp 408 triliun. Tahun lalu, Indonesia meraup keuntungan lebih besar seiring kenaikan harga komoditas akibat perang Rusia-Ukraina.
Kendati volumenya berkurang, nilai ekspor minyak sawit beserta produk turunannya meningkat menjadi Rp 588 triliun. Apabila integrasi sapi-sawit berhasil dikembangkan, bukan hanya devisa negara yang bertambah, melainkan juga populasi sapi meningkat.
Keuntungan berikut lainnya dari integrasi sapi-sawit ialah diversifikasi pendapatan, terutama bagi pemilik lahan. Hal ini sangat penting di tengah agenda peremajaan tanaman sawit yang memerlukan waktu relatif lama untuk mencapai tahapan produksi.
Dengan integrasi sapi-sawit, pemilik lahan sawit yang separuhnya adalah petani rakyat tetap akan memperoleh pendapatan dalam masa tunggu produksi tanaman perkebunan itu. Petani sawit tidak akan kehilangan sumber perekonomian meskipun menunggu empat sampai lima tahun hingga kelapa sawit siap dipanen.
Selain perkebunan sawit, lahan bekas tambang juga bisa menjadi alternatif pengembangan peternakan sapi di luar Jawa. Lahan tambang yang ditinggalkan dapat dioptimalkan untuk pembudidayaan ternak, baik sapi maupun hewan ternak lainnya, termasuk perikanan. Selain berpotensi meningkatkan populasi sapi, pemanfaatan lahan bekas tambang dapat menjadi sarana kegiatan ekonomi masyarakat.
Sistem pengembangan tersebut salah satunya sudah dilakukan di Kalimantan Timur. Pemerintah Provinsi Kaltim mencatat, setidaknya ada 17 perusahaan yang mendukung dan berkontribusi dalam pengembangan ternak sapi di lahan bekas tambang hingga tahun 2020. Sebagian sapi yang digembalakan milik masyarakat, sebagian lagi milik pemerintah, tetapi dipelihara masyarakat.
Ragam inovasi dapat dikembangkan guna meningkatkan populasi sapi domestik. Cita-cita swasembada pangan, khususnya daging sapi, layak untuk terus diperjuangkan demi peningkatan asupan nutrisi masyarakat Indonesia. Wilayah di luar Pulau Jawa sangat berpotensi mendukung mimpi swasembada daging sapi. (LITBANG KOMPAS)