Mengurai Akar Masalah Tata Niaga Daging dari Akurasi Data
Peliknya persoalan kebijakan terkait daging sapi hingga saat ini tidak terlepas dari masalah data. Padahal, akurasi data merupakan salah satu faktor dasar dalam pengambilan kebijakan.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·4 menit baca
YOHANES MEGA HENDARTO
Daging kerbau beku impor asal India dijajakan dalam kemasan oleh pedagang di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, Senin (13/3/2023). Daging kerbau impor yang kerap disebut daging sapi impor ini dijual dengan harga Rp 90.000 hingga Rp. 100.000 per kilogram.
Belum akuratnya data yang melatarbelakangi kebijakan yang belum tepat diamini oleh pengajar sekaligus ahli agrobisnis Universitas Padjadjaran, Rochadi Tawaf. ”Indikasi kebijakan soal daging sapi dari hulu sampai hilir yang masih bermasalah disebabkan akurasi data yang lemah,” kata Rochadi, Minggu (12/3/2023).
Jika melihat data yang dirilis oleh Pusdatin Kementerian Pertanian dalam Outlook Komoditas Peternakan Daging Sapi 2022, konsumsi daging sapi di Indonesia dibagi berdasarkan dua sudut pandang, yakni konsumsi rumah tangga dan konsumsi total. Data konsumsi rumah tangga didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Sementara data konsumsi total merupakan rekapitulasi keseluruhan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian, baik rumah tangga maupun non-rumah tangga.
Jika melihat tren selama lebih kurang 20 tahun terakhir, konsumsi per kapita daging sapi rumah tangga berada dalam posisi stagnan dengan kecenderungan menurun. Berdasarkan data dalam laporan di atas, konsumsi per kapita rumah tangga sebesar 0,52 kilogram dalam setahun pada tahun 2002. Dengan perkiraan jumlah penduduk kala itu 217,4 juta jiwa, maka konsumsi total rumah tangga sekitar 113.200 ton dalam setahun.
Data terakhir, tahun 2021, konsumsi daging sapi per kapita rumah tangga berada di angka 0,43 persen. Kembali dengan perhitungan yang sama, total konsumsi daging sapi rumah tangga sebanyak 117.300 ton dalam setahun. Jika data terkini tersebut kembali dibandingkan dengan tahun 2002, tren konsumsi per kapita daging sapi rumah tangga masih turun 17,5 persen. Namun, dengan jumlah penduduk yang lebih banyak pada 2021, asumsi jumlah konsumsi total rumah tangga naik 4 persen.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Penggembala sapi di Turiskain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, di dekat perbatasan Indonesia dan Timor Leste, Jumat (8/7/2022). Daerah itu menjadi lumbung ternak. Warga setempat masih sering menjual sapi ke Timor Leste.
Apabila berdasarkan data Susenas konsumsi rumah tangga cenderung mengalami stagnasi, hal berbeda ditunjukkan data konsumsi total yang direkap oleh Kementan. Dalam data yang memasukkan konsumsi rumah tangga dan non-rumah tangga ini, tampak adanya peningkatan. Pada 2002, konsumsi total daging sapi di Indonesia per kapita di angka 1,7 kilogram (kg). Jika angka konsumsi rumah tangga per kapita 0,52 kg kala itu, asumsi konsumsi non-rumah tangga sebanyak 1,2 kg per kapita atau lebih kurang dua kali lipat dari konsumsi per kapita rumah tangga.
Sepuluh tahun berselang, konsumsi total daging sapi per kapita tahunan naik menjadi 2,63 kg pada 2012. Jika dikurangi dengan konsumsi per kapita rumah tangga sebanyak 0,37 kg, asumsi jumlah konsumsi non-rumah tangga adalah 2,26 kg atau enam kali lipat dari konsumsi rumah tangga.
Data terbaru dalam tinjauan daging sapi, konsumsi total daging sapi pada 2021 tidak menunjukkan perubahan signifikan. Selisih antara konsumsi total per kapita sebanyak 2,46 kg dan konsumsi per kapita rumah tangga 0,43 kg adalah 2,03 kg. Apabila dibandingkan antara tahun 2002 dan tahun 2021, konsumsi total per kapita mengalami kenaikan 45 persen.
Konsumsi partisipasi
Fakta yang tampak dari data konsumsi di atas menjadi menarik tatkala disandingkan dengan data produksi daging sapi dalam negeri dan impor daging sapi dari luar negeri. Sebagai contoh, apa yang terjadi pada 2002. Jika perhitungan konsumsi daging total nasional menggunakan asumsi perkalian konsumsi per kapita dengan jumlah penduduk, maka perkiraan kebutuhan nasional pada 2002 adalah 113.200 ton untuk konsumsi rumah tangga saja. Sementara pada 2002, jumlah produksi sapi dalam negeri adalah 330.200 ton.
Artinya, jumlah produksi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan surplus sekitar 217.000 ton. Namun, jumlah ini menjadi defisit ketika perhitungan konsumsi total, baik rumah tangga maupun non-rumah tangga, dikalikan dengan jumlah penduduk. Kebutuhan konsumsi pada tahun 2002 menjadi 368.600 ton, melebihi jumlah produksi dalam negeri. Langkah yang diambil adalah impor daging sapi sebanyak 11.500 ton kala itu.
Situasi yang sama terjadi pada 2021. Dengan perhitungan yang sama, berdasarkan perhitungan Susenas, asumsi kebutuhan total rumah tangga adalah 117.300 ton. Sementara data produksi, mengacu data BPS, berada di angka 437.800 ton. Jika hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, ada surplus sekitar 320.500 ton.
Namun, angka ini menjadi defisit jika perhitungan konsumsi total berada di angka 670.800 ton. Selisih antara kebutuhan total dan ketersediaan produksi dalam negeri adalah sekitar 233.000 ton. Pada 2021, jumlah impor daging sapi yang didatangkan sebesar 276.800 ton.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Sejumlah pedagang bertransaksi jual beli sapi di Pasar Hewan Grabag, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (26/3/2021). Sejumlah pedagang di pasar itu memilih menunda penjualan sapi mereka hingga mendekati Lebaran agar dapat memperoleh harga jual yang lebih baik.
Dari perhitungan data ini, dapat ditemukan korelasi antara meningkatnya jumlah konsumsi non-rumah tangga dan banyaknya jumlah daging impor. Di sisi lain, jumlah konsumsi rumah tangga cenderung stagnan dalam 20 tahun terakhir. Artinya, kebijakan impor dilakukan didasarkan pada data kebutuhan non-rumah tangga yang belum bisa dipenuhi dengan produksi daging sapi dalam negeri.
Padahal, model perhitungan konsumsi total daging yang mengandaikan perkalian antara konsumsi per kapita dan jumlah penduduk masih menyimpan problem. Mantan Direktur Jenderal Peternakan Tjeppy Daradjatun Sudjana menyebutkan, problem data pertama-tama berasal dari perhitungan rata-rata seluruh penduduk. Baik data Susenas BPS maupun dari Kementan dipandang menjadi tidak rasional.
”Di mata dunia, konsumsi daging sapi Indonesia lebih rendah daripada negara lain karena perhitungannya dirata-rata dengan seluruh penduduk Indonesia. Kenyataannya, hanya rumah tangga berpendapatan menengah ke atas yang mengonsumsi daging sapi. Secara metode, lebih tepat perhitungannya adalah konsumsi partisipasi,” ujar Tjeppy yang juga purnakarya peneliti Balitbang Kementan, Rabu (15/3/2023).
Problem data tampak menjadi salah satu akar permasalahan daging sapi selama ini. Namun, penghitungan data ini masih menjadi salah satu pegangan pemerintah dalam mengambil kebijakan tata niaga daging sapi, termasuk soal impor. Mempertajam akurasi data dengan metode penghitungan yang tepat dapat menjadi landasan awal pemerintah untuk serius menetapkan arah kebijakan terkait tata niaga daging sapi. (LITBANG KOMPAS)