Ketimpangan Populasi Sapi Potong dan Produksi Daging di Jawa dan Luar Jawa
Belum tercapainya ketahanan pangan melalui swasembada daging tidak lepas dari ketimpangan populasi sapi dan produksi daging. Sejauh mana ketimpangan tersebut terjadi di wilayah Jawa dan luar Jawa?
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·6 menit baca
KOMPAS/STEFANUS ATO
Pengunjung membeli daging sapi di Transmart Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, Selasa (21/3/2023).
Dalam dua dekade terakhir, populasi sapi potong ataupun produksi daging sapi di Indonesia cenderung meningkat. Sentra populasi sapi lebih banyak di luar Jawa. Namun, dari sisi produksi daging sapi, Jawa lebih tinggi. Kolaborasi antarwilayah bisa ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional.
Meningkatnya populasi sapi potong dan produksi daging sapi ini terlihat dari data ”Outlook Komoditas Peternakan Daging Sapi” yang dirilis Kementerian Pertanian pada 2022. Data tersebut menunjukkan, selama 20 tahun terakhir, baik angka populasi sapi maupun produksi daging sapi di Indonesia cenderung meningkat.
Pada 2002, jumlah populasi sapi potong di Indonesia sebanyak 11,3 juta ekor. Sepuluh tahun berselang (2012), populasinya bertambah menjadi 15,9 juta ekor. Artinya, populasi sapi potong di Indonesia tumbuh 41,5 persen.
Tren kenaikan masih berlanjut. Jumlah populasi sapi potong di Indonesia pada 2021 kurang lebih 17,9 juta ekor. Jika dibandingkan dengan data tahun 2012, dalam kurun kurang lebih 10 tahun terakhir terjadi kenaikan jumlah populasi sapi di Indonesia sebanyak 12,5 persen.
Jika dibandingkan angka global, rata-rata populasi sapi di Indonesia pada urutan ke-21. Negara dengan populasi sapi potong tertinggi adalah Brasil. Dari tahun 2016 hingga 2020 rata-rata populasi sapi potong di Indonesia sebanyak 16,7 juta ekor. Dalam kurun yang sama, rata-rata populasi sapi potong di Brasil sekitar 216 juta ekor.
India di urutan kedua di dunia setelah Brasil dengan rata-rata 192,2 juta ekor. Amerika Serikat mengikuti India dengan angka rata-rata 93,7 juta ekor selama 2016 sampai 2020.
HUMAS KEMENTERIAN PERTANIAN
Lokasi peternakan sapi yang dikembangkan melalui program Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi Berbasis Kemitraan Usaha Ternak Inti Plasma atau Siska Kuintip, di Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (18/3/2023).
Daerah
Kembali ke dalam negeri, menjadi menarik tatkala memandang populasi sapi potong dalam negeri dari sudut kewilayahan, yakni Jawa dan luar Jawa. Selama kurang lebih 20 tahun terakhir, jumlah populasi sapi potong di luar Jawa lebih tinggi daripada Jawa. Jika diambil rata-rata dari tahun 2002 hingga 2021, proporsi populasi sapi potong di wilayah Jawa sebanyak 43,7 persen dan luar Jawa 56,3 persen.
Pada 2002, jumlah sapi potong di Jawa kurang lebih 5 juta ekor, sedangkan di luar Jawa sekitar 6,2 juta ekor. Beranjak 10 tahun kemudian, jumlah populasi sapi potong di kedua wilayah ini meningkat dengan proporsi tetap. Tahun 2012, populasi sapi potong di Jawa berada di angka 7,8 juta ekor, sedangkan di luar Jawa kurang lebih dari 8,1 juta ekor.
Akan tetapi, data terakhir menunjukkan selisih di antara kedua wilayah ini semakin melebar. Populasi sapi potong di Jawa sekitar 7,6 juta pada 2021, cenderung stagnan dari tahun 2012. Sementara populasi sapi potong di luar Jawa meningkat cukup signifikan menjadi 10,4 juta ekor. Artinya, dari tahun 2012 hingga 2021 terjadi penurunan populasi sapi potong di Jawa sebanyak 3 persen, sedangkan di luar Jawa terjadi kenaikan 28 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa ruang yang dapat dikembangkan untuk memperbanyak populasi sapi potong di Jawa makin menipis, sedangkan di luar Jawa masih ada ruang yang cukup untuk terus dimaksimalkan untuk pembibitan dan peternakan. Maka, menjadi masuk akal apabila beberapa provinsi di Jawa mulai mengembangkan kerja sama dengan wilayah di luar Jawa untuk peternakan sapi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, berkolaborasi dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk melakukan pembibitan dan pemotongan sapi di sana. Kerja sama ini berlangsung sejak 2014.
Beranjak ke data produksi daging sapi dalam negeri. Menjadi tidak mengherankan pula bahwa, meskipun proporsi populasi sapi potong di luar Jawa lebih tinggi, angka produksinya lebih rendah. Tahun 2012 jumlah total produksi daging sapi di Indonesia sebanyak 508.900 ton. Kontribusi produksi dari Jawa sebanyak 303.200 ton, sementara dari luar Jawa sebanyak 205.700 ton.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Pedagang melayani pembelian daging sapi segar di Pasar Jombang, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (26/1/2023). Saat ini, harga daging sapi di pasar tersebut Rp 140.000 per kilogram. Pedagang memprediksi harga daging akan semakin naik menjelang puasa.
Data terbaru menunjukkan, jumlah produksi daging sapi nasional pada 2021 sebanyak 487.800 ton. Angka ini disumbang dari wilayah Jawa sebanyak 293.700 ton dan dari wilayah di luar Jawa sebanyak 194.100 ton. Jika dirata-rata dari tahun 2012 hingga 2021, proporsi produksi yang disumbang dari Jawa sebanyak 59,1 persen, sedangkan dari luar Jawa sebanyak 40,9 persen. Persentase itu tampak menjadi kebalikan dari data sebelumnya tentang proporsi jumlah populasi sapi potong.
Faktor penyebab lebih tingginya jumlah produksi di Jawa dibandingkan dengan di luar Jawa salah satunya bisa dicermati dari konsumsi per kapita daging sapi. Dari data publikasi ”Peternakan dalam Angka 2022” terlihat konsumsi per kapita daging sapi selama setahun di Pulau Jawa sebanyak 3,47 kg. Bali dan Nusa Tenggara berada di urutan kedua dengan konsumsi per kapita tahunan berkisar 2,54 kg.
Turun sekitar separuhnya konsumsi per kapita penduduk di Pulau Kalimantan sebanyak 1,71 kg. Dengan selisih tidak terlalu banyak, rerata penduduk di Sumatera dalam setiap tahun mengonsumsi 1,64 kg daging sapi. Dua urutan terbawah ialah Pulau Sulawesi dengan 1,2 kg dan gugus Pulau Maluku dan Papua yang berada di angka 1 kg.
Jika berbicara tentang daging sapi, masyarakat akan memandang bahwa komoditas yang satu ini cenderung mewah. Konsumsi yang berpusat di Jawa dapat menguatkan indikasi ini. Tingkat daya beli masyarakat akan daging sapi di Pulau Jawa cenderung lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Sementara jika berbicara tentang Nusa Tenggara, wilayah ini memiliki ketersediaan daging sapi yang melimpah.
Asumsi ini makin diperkuat lagi dengan data bahwa di dalam Pulau Jawa sendiri, DKI Jakarta menjadi provinsi dengan konsumsi daging sapi paling tinggi. Angka konsumsi per kapita dalam setahun menyentuh 6,1 kg.
Bergeser ke Jawa Barat dan Jawa Timur, angka di kedua provinsi ini sama, konsumsi per kapita tahunan turun hampir separuh dibandingkan dengan Jakarta menjadi 3,3 kg. Banten berada di posisi berikutnya, yakni 3,02 kg, disusul Jawa Tengah sebanyak 2,39 kg.
Kolaborasi
Melihat fenomena yang tergambar dalam data di atas, muncul beberapa pemaknaan yang dapat ditarik. Pertama, populasi sapi di luar Jawa cenderung meningkat. Hal ini menguatkan asumsi bahwa lahan untuk beternak makin menipis di Pulau Jawa. Maka, model kolaborasi antara provinsi di Jawa dan luar Jawa menjadi hal yang sangat memungkinkan untuk meningkatkan produksi sapi dalam negeri.
Catatannya, perlu dicegah model kolaborasi ini bermuara pada ketimpangan antara wilayah tempat beternak dan provinsi yang memiliki kapital lebih. Akses terhadap daging sapi, termasuk soal harga, tetap harus dikontrol agar wilayah yang memiliki lahan peternakan memiliki akses terhadap konsumsi daging sapi pula.
Kedua, sejauh ini daging sapi masih menjadi barang mewah yang konsumsinya ditentukan oleh daya beli masyarakat. Semakin tinggi daya beli penduduk suatu wilayah semakin besar pula angka konsumsinya. Hal ini patut diwaspadai mengingat ada celah melambungnya permintaan dan konsumsi pada momen-momen tertentu, seperti saat Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri.
Menjelang Lebaran, tak sepantasnya lonjakan konsumsi daging sapi malah menjadi perayaan bagi para penjual daging saja. Semestinya perayaan Lebaran perlu dibarengi akses yang memungkinkan bagi seluruh lapisan masyarakat terhadap sajian mewah ini.
Swasembada daging sapi ditentukan oleh kemampuan Indonesia untuk mengelola populasi sapi potong dan menaikkan angka produksi. Pada akhirnya, kolaborasi antara daerah yang memiliki kapital dan wilayah yang memiliki lahan peternakan menjadi langkah strategis jika pemerintah ingin mengusahakan ketahanan pangan melalui swasembada daging. Jika langkah ini tidak dimaksimalkan, ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa dalam soal produksi dan konsumsi daging sapi akan terus berpotensi menjadi problem laten. (LITBANG KOMPAS)