Daging sapi ternyata lebih banyak dinikmati masyarakat kelas atas. Alih-alih menstabilkan harga daging di pasaran, kebijakan impor justru lebih menguntungkan orang-orang kaya.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·4 menit baca
YOHANES MEGA HENDARTO
Pedagang menjajakan daging sapi yang ia terima dari pemotongan hewan sejak pagi di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Senin (13/3/2023). Dari penyuplai, pedagang biasanya mengambil selisih Rp 5.000 hingga Rp. 15.000 per kilogram daging.
Kelezatan dan gizi yang didapat dari daging sapi belum dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, termasuk di momen hari raya Idul Fitri. Padahal, momen ini seharusnya menjadi kesempatan masyarakat kelas bawah untuk dapat mencicipi daging sapi. Masyarakat juga dapat terkecoh dengan ketidakjelasan jenis daging sapi atau kerbau yang beredar di pasar tradisional.
Merujuk pada analisis data partisipasi konsumen Badan Pusat Statistik, kelompok masyarakat kelas menengah ke atas dan rumah tangga di kota-kota besar mendominasi konsumsi daging sapi. Partisipasi konsumsi ini diukur berdasarkan besaran konsumsi masyarakat yang dibandingkan hanya dengan masyarakat yang mengonsumsi, bukan total penduduk di tahun tersebut.
Misalnya, pada 2014, partisipasi konsumsi daging sapi oleh kelompok berpendapatan tinggi mencapai 14,9 persen dibandingkan dengan yang berpendapatan rendah hanya 0,7 persen. Temuan tersebut diungkapkan oleh Tjeppy Daradjatun Sudjana, purnakarya peneliti Balitbang Kementerian Pertanian.”Bisa dikatakan, selama ini penduduk berpendapatan rendah menyubsidi penduduk berpendapatan tinggi,” ucapnya.
Alih-alih menstabilkan harga daging sapi di pasaran, secara tidak langsung kebijakan impor justru lebih menguntungkan masyarakat kelas menengah atas. Langkah pemerintah untuk mengimpor daging sapi hanya menjadi solusi jangka pendek dalam mengatasi permasalahan stok dan harga daging sapi.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga antre untuk berbelanja pangan murah bersubsidi di gerai Pasar Jaya Senen, Jakarta Pusat, Senin (7/2/2022). Pangan murah yang disediakan termasuk daging sapi dan susu UHT.
Senada dengan analisis Balitbang Kementan, hasil survei Litbang Kompas menemukan bahwa publik yang tergolong sering mengonsumsi daging sapi berasal dari kelompok atas dan menengah atas. Survei yang dilakukan pada 8-10 Maret 2023 kepada 502 responden dari 34 provinsi ini menekankan perhatian pada daging sapi segar, bukan daging sapi olahan seperti bakso, nuget, dan sosis.
Hasil lainnya, setengah responden mengaku mengonsumsi daging sapi hanya 10 kali dalam setahun. Seperempat lainnya hanya mengonsumsi sebulan sekali. Artinya, secara umum publik cenderung jarang makan daging sapi segar.
Publik yang tergolong jarang dan tidak mengonsumsi daging sapi tersebut kemudian ditanya alasan mereka. Mayoritas responden beralasan harga daging sapi mahal dan tidak terjangkau. Aspek ekonomi menjadi pertimbangan kuat masyarakat untuk mengonsumsi daging sapi secara rutin.
Tren kenaikan harga dapat dilihat dari pantauan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) sepanjang lima tahun terakhir. Besaran kenaikan harga daging sapi dari 2021 hingga 2022 (per Oktober) mencapai 6,6 persen atau di kisaran harga Rp 134.690 per kilogram. Mengingat harganya terus naik setiap tahun, seiring waktu bisa jadi daging sapi makin tak tergapai oleh kalangan kelas menengah bawah, apalagi kelas bawah.
Hari raya
Selain menjadi santapan mewah, daging sapi juga kerap menjadi makanan istimewa yang disajikan saat hari raya. Bahkan, beberapa masakan tradisional berbahan daging sapi asal Indonesia ditetapkan menjadi warisan dunia tak benda UNESCO.
Keistimewaan daging sapi untuk hari raya turut diakui setengah dari responden yang menjawab pada hari raya, khususnya Lebaran, masakan olahan daging sapi menjadi sajian wajib. Untuk memenuhi kebutuhan hari raya, publik cenderung membeli 1 kg hingga 2 kg daging sapi.
Dalam temuan lapangan, saat ini harga pasaran daging sapi lokal berkisar Rp 130.000 hingga Rp 140.000 per kg. Harga tersebut masih berpotensi naik saat memasuki Ramadhan dan beberapa hari menjelang Idul Fitri.
Dihadapkan dengan fakta tersebut, publik tetap menyatakan akan berbelanja daging sapi meski harganya mahal. Hal ini menegaskan bahwa pertimbangan sisi ekonomis cenderung dikesampingkan demi merayakan momen tertentu.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Daging kerbau impor dari India dijual dalam operasi pasar di Kantor Kelurahan Cipondoh Indah, Kota Tangerang, Banten, Senin (7/3/2022). Harga daging sapi yang melonjak tinggi saat itu membuat pemerintah menerbitkan izin impor 100.000 ton daging kerbau beku untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Oplosan
Kebutuhan membeli daging sapi, khususnya pada hari raya, inilah yang menjadi celah untuk melakukan tindakan kecurangan oleh pedagang di pasar. Sejumlah pedagang kerap mencampur daging sapi dengan kerbau dan menjualnya kepada pembeli dengan acuan harga daging sapi yang relatif tinggi. Bahkan, ada pedagang yang menjual daging sapi yang sebenarnya daging kerbau impor beku asal India.
Daging kerbau impor beku diterima pedagang dalam kemasan plastik beserta merek dan keterangan lain. Namun, di pasar becek, pembeli sulit membedakan daging sapi segar dan daging kerbau karena kemasannya dilepas dan kerap dicampur oleh pedagang. Hal ini tentu berbeda dengan di supermarket atau sentra-sentra daging yang memberikan keterangan jelas kepada pembeli terkait jenis daging sapi yang dijual.Tentu saja, publik keberatan dan dirugikan dengan kecurangan semacam ini.
Ketua Umum Pengurus Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Nanang Purus Subendro menyatakan, pasar tradisional perlu ditata kembali, misalnya diberi papan nama berdasarkan jenis daging yang dijual. ”Seharusnya, pembeli dapat menentukan sendiri jenis daging sapi atau kerbau sesuai harga masing-masing,” ucapnya.
Terlepas dari adanya tindak kecurangan dalam penjualan daging sapi, publik tetap menyoroti harga daging sapi yang naik dari tahun ke tahun. Karena itu, 54,8 persen responden mengatakan, untuk menyiasati kenaikan harga, mereka mengganti daging sapi dengan daging ayam atau ikan.
Mau tidak mau, substitusi menjadi langkah yang diambil publik untuk menyiasati harga daging sapi yang dirasa makin tinggi. Pemerintah perlu melakukan langkah tepat, selain mengandalkan impor untuk menstabilkan harga daging sapi. Fokus perhatian perlu diberikan untuk mendorong pertumbuhan populasi sapi dari peternakan dalam negeri.
Program swasembada sapi yang sejak lama dicanangkan pemerintah demi memenuhi kebutuhan semua lapisan masyarakat harus diwujudkan. Bisa jadi, daging sapi nantinya hanya dapat dikonsumsi oleh kelompok kelas atas, sementara kelompok di bawahnya hanya mengonsumsi olahan turunan dari daging sapi. (LITBANG KOMPAS)