Dampak Perang Rusia-Ukraina pada Dunia Energi
Keunggulan sumber daya energi Rusia tidak terbukti mengalahkan kekuatan geopolitik Uni Eropa beserta sekutunya. Kawasan Eropa justru akseleratif menggunakan energi dari EBT akibat kebijakan embargonya terhadap Rusia.
Berbagai kejutan besar terjadi di pasar energi global akibat invasi Rusia ke Ukraina. Perubahan signifikan terjadi di beberapa kawasan dunia, terutama di wilayah Eropa, demi beradaptasi dengan embargo yang dikenakan kepada Rusia. Sanksi yang menyasar sektor ekonomi dan energi itu harapannya kian menundukkan Rusia agar segera menghentikan serangannya.
Invasi Rusia ke Ukraina mendorong negara-negara di kawasan Eropa mengambil sejumlah langkah penyelamatan ketahanan energi. Ketahanan energi menjadi faktor sangat penting bagi Uni Eropa karena kawasan itu punya ketergantungan yang tinggi terhadap suplai energi fosil dari Rusia.
Sebelum terjadi invasi ke Ukraina pada Februari 2022, hubungan perdagangan energi antara Rusia dan Uni Eropa sangatlah erat. Berdasarkan laporan Badan Energi Internasional (IEA), Rusia merupakan salah satu pengekspor minyak bumi dan gas alam terbesar di pasaran global. Pangsa pasar terbesar komoditas energi fosil Rusia adalah wilayah Eropa. Setiap tahun sekitar 50 persen ekspor minyak bumi dan lebih dari 60 persen ekspor gas alam Rusia terserap di kawasan ini.
Dengan kebijakan politik yang menentang aksi militer Rusia tersebut, sejumlah negara Eropa merespons invasi itu dengan sejumlah skenario penguatan ketahanan energi. Salah satunya dengan melepaskan cadangan minyak darurat yang dimiliki negara-negara anggota IEA yang mayoritas berada di wilayah Eropa. Pelepasan cadangan minyak ini menjadi salah satu yang terbesar dalam hampir 50 tahun sejarah IEA dan dimaksudkan untuk mencegah kekurangan pasokan serta mengendalikan harga agar tetap terjangkau oleh konsumen di negara-negara yang bersangkutan.
Dalam Perjanjian tentang Program Energi Internasional (IEP Agreement) tahun 1974, anggota IEA diwajibkan memiliki cadangan penyangga minyak setara 90 hari impor minyak bersih (neto) di negaranya masing-masing. Cadangan penyangga ini di luar cadangan operasional untuk konsumsi minyak harian yang menyuplai kebutuhan selama satu bulan. Cadangan penyangga dilepaskan ke pasaran negara-negara anggota IEA ketika ada kasus tanggap darurat krisis energi (minyak) yang mengganggu suplai operasional harian.
Untuk memperkuat stabilisasi suplai energi minyak ke Uni Eropa, negara-negara IEA di kawasan itu terus berusaha memperkuat cadangan penyangga energinya (komoditas minyak). Bila sebelumnya hanya disarankan untuk 90 hari, kini cadangan penyangga itu terus ditingkatkan lebih dari 90 hari dengan mendatangkan pasokan dari luar Rusia.
Selain itu, untuk menyikapi terbatasnya suplai minyak bumi, Uni Eropa juga menjalankan sejumlah rencana. Setidaknya ada 10 poin rencana yang diharapkan dapat dilakukan masyarakat secara luas guna menghemat penggunaan bahan bakar berbasis minyak bumi.
Baca juga: Perang Ukraina-Rusia Mengakslerasi Transisi Energi Di Eropa
Di antaranya dengan membatasi kecepatan kendaraan sehingga konsumsinya tidak boros, bekerja dari rumah, memberikan insentif bagi masyarakat yang berjalan kaki dan bersepeda, serta menyarankan menggunakan transportasi umum. Selain itu, juga mengakselerasi penggunaan kendaraan listrik, mengutamakan transportasi umum di luar pesawat terbang, dan efisiensi konsumsi bahan bakar untuk moda transportasi pribadi.
Langkah penghematan itu juga diterapkan untuk komoditas gas alam. Apabila minyak bumi lebih menyasar pada individu masyarakat, substitusi gas alam itu lebih ditujukan kepada pemerintah. Dengan susutnya pasokan gas alam dari Rusia, pemerintah di sejumlah negara Uni Eropa dituntut untuk akseleratif mengembangkan diversifikasi energi berbasis energi baru terbarukan (EBT). Dalam masa transisi ini, pasokan gas alam dari kawasan Eropa tetap di suplai oleh sejumlah negara produsen energi besar lainnya di luar Rusia.
Situasi Rusia dan Eropa
Dengan embargo yang dilakukan NATO dan sekutunya terhadap Rusia, terjadi pula sejumlah perubahan signifikan terkait dengan perekonomian energi negara ”Beruang Merah” itu. Menurut laporan IEA, aliran pipa Rusia ke Eropa anjlok hingga 80 persen dari level sebelum invasi sehingga berdampak besar bagi devisa negara itu dari gas alam.
Hal serupa terjadi pada komoditas minyak bumi. Meski ekspor minyak Rusia ke pasar global hanya turun sedikit, sebagian besar dijual dengan diskon besar-besaran dan jauh di bawah harga patokan internasional. Pembeli energi fosil Rusia sebagian besar bukan dari kelompok negara maju sehingga pendapatan dari penjualan minyak dan gas alam itu relatif kurang menggembirakan. Secara bulanan, pendapatan Rusia dari transaksi migas pada Januari 2023 turun 12 miliar dollar AS atau sekitar 40 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Jadi, meskipun Rusia unggul sebagai salah satu produsen energi terbesar di dunia, nyatanya kekuatan sumber daya alam itu tidak terbukti nyata dalam menghadapi kekuatan Eropa dan sekutunya. Justru kebijakan geopolitik Uni Eropa itu turut mengakselerasi penggunaan teknologi bersih yang memanfaatkan sumber daya energi yang ramah lingkungan.
Dengan keterbatasan pasokan energi fosil dari Rusia, sejumlah alternatif energi bersih berkembang pesat di kawasan Eropa dan dunia. Menurut catatan IEA, kapasitas pembangkit daya dari sumber terbarukan di seluruh dunia meningkat sekitar seperempat pada tahun 2022. Selain itu, penjualan mobil listrik global melonjak hampir 60 persen dan investasi dalam efisiensi energi juga melonjak signifikan. Sejumlah negara juga turut mengembangkan sumber energi baru, seperti halnya tenaga nuklir untuk memperkuat stabilitas pasokan energi.
Baca juga: Embargo Minyak Rusia Mengancam Ketahanan Energi Eropa
Prospek pengembangan EBT yang kian akseleratif di level global itu berbanding terbalik dengan sumber daya energi fosil yang dimiliki Rusia. Diperkirakan Rusia menghadapi kemungkinan penurunan lebih lanjut dalam produksi minyak dan gas pada tahun 2023 ini sehingga akan kehilangan posisi permanen di dunia energi. Rusia tidak hanya kehilangan pelanggan utama komoditas energinya, tetapi juga akses ke teknologi utama dan pembiayaan lainnya akibat sanksi embargo itu. Sebagian besar komoditas energi fosil yang dahulu dikirim ke Eropa akan kesulitan mencari alternatif pasar yang baru.
Meski demikian, ketegangan antara Rusia-Ukraina dan blok NATO itu tak serta-merta usai dan dimenangi oleh pihak sekutu. Eropa belum keluar dari masalah karena, menurut laporan IEA, situasi suplai minyak bumi dan gas alam masih relatif rapuh sehingga masih menghadapi kemungkinan ketidakpastian ekonomi yang besar.
Apalagi saat ini, China sebagai importir gas terbesar dunia mulai aktif mendorong kemajuan ekonominya setelah Covid-19. Pulihnya permintaan China akan membuka kanal suplai yang besar dari Rusia ke China. Selain itu, juga membuka persaingan yang kian kompetitif pada komoditas gas alam yang dibutuhkan Uni Eropa. Situasi ini berpotensi memengaruhi harga energi global sehingga akan berdampak di sejumlah negara. Terutama bagi negara-negara level ekonomi rendah yang sedang berkembang.
Transisi EBT
Dalam situasi tersebut, kebijakan setiap negara sangat menentukan dalam memperkuat ketahanan energi dan ekonomi masa depan. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian akibat volatilitas harga energi fosil ini, penggunaan EBT adalah solusi terbaik untuk segera diwujudkan secara optimal. Komitmen negara-negara di dunia dalam Perjanjian Paris tahun 2015 untuk mencapai karbon netral global 2050 perlu segera diimplementasikan.
Berdasarkan World Energy Outlook 2022, IEA, ada sejumlah kawasan di dunia yang tampak secara signifikan berusaha mereduksi penggunaan energi fosil di wilayahnya. Kawasan itu adalah wilayah Amerika Utara, Uni Eropa, dan Asia Pasifik. Ketiga kawasan itu pada 2030 akan mengurangi konsumsi minyak bumi masing-masing lebih dari 1,8 juta barel per hari dibandingkan dengan tingkat konsumsi tahun 2021. Pada 2050 diperkirakan penyusutannya akan melonjak lebih besar lagi hingga mencapai 9 juta barel per hari dari situasi tahun 2021.
Baca juga: Kolaborasi EBT dan Nuklir Menuju Emisi Nol Dunia
Reduksi konsumsi energi fosil juga dilakukan pada komoditas gas alam. Ketiga region itu berupa menekan konsumsi LNG pada tahun 2030 hingga susut lebih dari 63 miliar meter kubik dalam kurun satu dekade. Pada tahun 2050, konsumsi gas alamnya terus diturunkan lagi hingga lebih dari 180 miliar kubik. Penyusutan terbesar terjadi di Amerika Utara dan Eropa dengan penyusutan hingga lebih dari 500 miliar meter kubik sehingga kedua kawasan ini tampak akseleratif dalam melakukan transisi energi.
Di tengah penyusutan konsumsi energi fosil itu, ketiga kawasan itu juga berupaya mendorong konsumsi energi listrik dari sumber EBT secara masif hingga lebih dari 3.300 TWh pada tahun 2030. Bahkan, pada tahun 2050 diperkirakan konsumsi listrik dari EBT akan meningkat hingga di atas 6.000 TWh. Peningkatan pesat konsumsi energi listrik dari EBT di dunia terjadi di wilayah Asia Pasifik karena diperkirakan besaran konsumsinya hampir mendekati 25.000 TWh pada tahun 2050 kelak.
Proyeksi konsumsi energi global itu mengindikasikan bahwa sebagian besar negara di dunia berupaya melepaskan ketergantungannya dari energi fosil. Selain sebagai penyumbang emisi karbon, semakin resistennya masyarakat terhadap sumber energi ini karena tingginya pengaruh kekuatan geopolitik terhadap ketidakpastian harga komoditasnya. Oleh karena itu, invasi Rusia ke Ukraina dapat menjadi momentum bagi semua negara di dunia untuk mengakselerasi kebijakan transisi energi yang ramah lingkungan dan minim tekanan geopolitik. (LITBANG KOMPAS)