Kegagalan Silicon Valley Bank mengejutkan dunia karena dampaknya dikhawatirkan memengaruhi kondisi ekonomi. Akankah SVB bernasib seperti Lehman Brother?
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
AFP/GETTY IMAGES NORTH AMERICA/JUSTIN SULLIVAN
Silicon Valley Bank
Kegagalan salah satu bank penting di lingkungan teknologi dan perusahaan rintisan AS, Silicon Valley Bank, mengejutkan dunia. Berbagai pihak khawatir terhadap dampak yang ditimbulkan dari ditutupnya bank terbesar ke-16 di AS tersebut. Pasalnya, masih lekat di benak masyarakat dunia dampak yang disebabkan oleh kasus gagalnya bank Lehman Brothers.
Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) tak hanya menggetarkan Silicon Valley, California. Hingga kini, para nasabah bank yang tersebar di AS, Inggris, dan di beberapa negara Barat lain masih berupaya untuk menyelamatkan dana mereka yang masih ”nyangkut” di bank pailit tersebut. Hingga Kamis, masih ada miliaran dollar AS dana nasabah yang belum bisa dicairkan.
Kasus ini dirasa mengejutkan oleh berbagai pihak karena beberapa hal. Pertama, SVB bukanlah pemain baru di industri keuangan AS. Bank ini telah memberikan dukungan keuangan dan layanan perbankan kepada perusahaan teknologi selama lebih dari 35 tahun.
Di saat skeptisisme masih lekat di perusahaan-perusahaan rintisan di dekade 80-90-an, bank inilah yang berani membantu untuk memberikan pinjaman modal dan menanggung resiko gagal bayar yang besar.
Tak hanya itu, kegagalan bank ini juga terjadi dengan sangat cepat. Pada Januari 2023, SVB mengumumkan tengah menghadapi tekanan finansial yang berat.
Mereka melaporkan kerugian bersih sebesar 1,2 miliar dollar AS selama tahun 2022, sebuah penurunan tajam dibandingkan dengan keuntungan bersih sebesar 550 juta dollar AS setahun sebelumnya. Dalam tiga tahun terakhir, SVB mengalami penurunan pendapatan bersih sebesar 25 persen.
Lebih lanjut, situasi buruk ini pun makin parah dalam sekejap. Tak sampai tiga hari setelah penutupan SVB diumumkan, kepanikan nasabah dan lantai bursa pun meledak. Hal ini tampak dengan anjloknya nilai saham SVB di bursa. Harga saham bank ini anjlok lebih dari 60 persen, memaksa SVB melepas sahamnya senilai lebih dari 1,7 miliar dollar AS.
Di tingkat lokal, kebangkrutan SVB akan berdampak besar pada ekosistem teknologi di Silicon Valley. Banyak perusahaan teknologi di kawasan ini bergantung pada dukungan keuangan dari SVB untuk membiayai pertumbuhan mereka.
Kebangkrutan ini dapat menyebabkan kesulitan dalam memperoleh pinjaman dan investasi serta memengaruhi ketersediaan modal ventura bagi perusahaan teknologi di kawasan ini.
AFP/NOAH BERGER
Surat pemberitahuan Silicon Valley Bank terpampang di kantor pusat bank tersebut di Santa Clara, California, AS, Jumat (10/3/2023).
Namun, kegagalan SVB ini juga bisa dipahami dalam konteks yang lebih luas. Bagaimanapun juga, Silicon Valley itu bak ”Mekkah” bagi perusahaan rintisan di seluruh dunia.
Banyak perusahaan teknologi dari seluruh dunia memandang Silicon Valley sebagai tempat yang menawarkan dukungan keuangan dan lingkungan yang mendukung untuk inovasi teknologi.
Kebangkrutan SVB dapat menimbulkan keraguan terhadap kemampuan Silicon Valley mendukung pertumbuhan perusahaan teknologi yang sedang berkembang. Tak ayal, sentimen bagi perusahaan rintisian di negara-negara lain sebagai usaha yang masih belum stabil pun berpotensi menguat.
Apa yang terjadi di SVB ini mengingatkan prahara yang terjadi di AS sekitar tahun 2007 hingga 2008. Saat itu, dunia mengalami guncangan finansial yang dahsyat ketika bank investasi Amerika Serikat, Lehman Brothers, mengumumkan kebangkrutan. Bank tersebut merupakan salah satu bank terbesar di AS dan kebangkrutan ini memicu krisis keuangan global yang masih terasa hingga saat ini.
Kebangkrutan Lehman Brothers adalah hasil dari kegagalan bank dalam memperhitungkan risiko dan menjalankan praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab. Bank ini sangat bergantung pada pasar hipotek dan properti yang sedang naik daun pada saat itu; dan tidak melakukan diversifikasi portofolio dengan baik.
Pada akhirnya, Lehman Brothers terkena imbas dari penurunan harga properti yang sangat tajam dan meningkatnya jumlah kredit macet. Pada September 2008, bank mengajukan kebangkrutan dengan utang mencapai lebih dari 600 miliar dollar AS.
Kebangkrutan Lehman Brothers memiliki dampak yang besar pada ekonomi global. Bank ini memiliki banyak nasabah dan mitra bisnis di seluruh dunia sehingga kebangkrutannya menyebabkan kepanikan di pasar keuangan global.
AFP/JUSTIN SULLIVAN
Kantor Silicon Valley Bank (SVB) ditutup pada 10 Maret 2023.
Harga saham turun secara dramatis, banyak bank dan lembaga keuangan lainnya mengalami kesulitan likuiditas dan terjadi penurunan yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi global.
Kebangkrutan Lehman Brothers memicu krisis keuangan global yang meluas, yang dikenal sebagai Krisis Keuangan Global 2008. Krisis ini adalah salah satu krisis keuangan terbesar dalam sejarah dunia modern dan mengakibatkan krisis kredit, kebangkrutan bank, penurunan harga aset, dan peningkatan angka pengangguran di seluruh dunia.
Pemerintah AS dan lembaga keuangan lainnya melakukan berbagai tindakan untuk mengatasi krisis keuangan ini. Federal Reserve AS menurunkan suku bunga menjadi hampir nol persen dan meluncurkan program pembelian aset untuk memasok likuiditas ke pasar keuangan. Pemerintah AS juga memberikan bantuan finansial kepada bank-bank besar, seperti Bank of America dan Citigroup.
Apa yang terjadi dengan Lehman Brothers ini menjadi preseden buruk yang masih terbawa ketika melihat kasus SVB. Muncul ketakutan jika dampak dari kegagalan SVB ini akan berdampak sistemik secara global. Terlebih lagi, kasus SVB ini menjadi kegagalan lembaga keuangan terbesar setelah prahara Lehman Brothers 15 sebelumnya.
Untungnya, sebagian besar berpendapat bahwa dampak dari kegagalan SVB ini tidak akan sebesar kebangkrutan Lehman Brothers. Di dalam negeri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menilai kasus tersebut tidak berdampak langsung terhadap industri perbankan di Indonesia.
Kalaupun ada, riak-riak yang terasa di Indonesia diperkirakan hanya akan bersifat sementara sebagai reaksi sesaat akibat kepanikan pasar menyikapi perkembangan SVB.
Selain itu, tampak satu hal yang cukup mendasar yang membedakan kedua kasus kegagalan tersebut. Apa yang terjadi di SVB bisa dibilang bukan sepenuhnya kelalaian bank tersebut dalam mengelola dana nasabahnya.
Faktor eksternal akibat pandemi Covid-19, kebijakan Pemerintah AS dan The Fed, serta situasi pasarlah yang lebih banyak berkontribusi terhadap jatuhnya SVB.
Singkatnya, kegagalan ini merupakan perpaduan berbagai kemalangan SVB yang terjadi beruntun dalam kurun yang pendek. Perpaduan faktor ini adalah besarnya aset SVB berbentuk obligasi pemerintah, yang sebenarnya merupakan salah satu instrumen paling aman, yang nilainya tergerus dengan cepat akibat kenaikan suku bunga The Fed sebagai upaya untuk menekan inflasi AS.
Ditambah lagi, dana simpanan di SVB juga tergerus dengan cepat akibat banyaknya nasabah perusahaan rintisan yang butuh dana segar untuk menggenjot pertumbuhan bisnis kala pandemi melandai.
Apa yang terjadi di SVB ini sangatlah berbeda dengan apa yang terjadi di Lehman Brothers. Pada kasus Lehman Brothers, kegagalan disebabkan oleh keputusan mereka untuk berinvestasi di aset busuk yang berisiko sangat tinggi, yakni kredit subprima berbasis hipotek (subprime mortgage). Dalam kasus ini, kesalahan terbesar ada di pihak Lehman Brothers yang tidak mampu mengelola risiko dengan baik. (LITBANG KOMPAS)