
Seiring kemunculan teknologi baru, timbul pula kekhawatiran mengenai etika dalam pengembangan ataupun penggunaan teknologi. Di Indonesia, pembahasan implikasi etik teknologi masih belum menjadi perhatian, khususnya di tengah kehadiran artificial intelligence yang semakin dirasakan publik.
Teknologi berada pada tahap pengembangan dan adopsi sosial yang berbeda-beda. Ada yang sudah mapan dari sisi aplikasi, ada pula yang masih dalam tahap awal penelitian dan pengembangan (R&D).
Di tengah pesatnya kemunculan teknologi baru, identifikasi awal dan evaluasi isu etika dianggap semakin penting untuk meminimalkan dilema moral yang mungkin terjadi di masa depan. Apalagi, kehadiran teknologi semakin lumrah dan kadangkala tidak disadari kebermanfaatannya dalam kehidupan manusia.
Upaya identifikasi disebut perlu dilakukan pada tahap R&D sebelum produk teknologi digunakan publik luas. Inisiasi ini dapat membantu pengguna dan aktor sosial lainnya untuk memiliki persiapan yang lebih baik dalam menghadapi masalah di masa mendatang dan membantu mengarahkan penelitian dan pengembangan untuk meminimalkan konsekuensi yang tidak diinginkan secara etika.

Philip A.E. Brey dalam Anticipatory Ethic for Emerging Technologies (2012) menyebut studi etika pada teknologi yang baru muncul (emerging technology) berhadapan dengan masalah epistemologi, yaitu masalah ketidakpastian tentang perangkat, aplikasi, penggunaan, dan konsekuensi sosial di masa depan. Ada dua pendekatan yang lazim digunakan pada titik ini, yakni pendekatan generik dan pendekatan prediksi (forecasting).
Pendekatan generik membatasi diri pada analisis etika dari kualitas generik teknologi baru. Misalnya, pada awal pengembangan teknologi nuklir, diketahui sejak awal bahwa akan timbul masalah limbah radioaktif.
Contoh lainnya adalah dalam pengembangan teknologi genetika, diketahui sejak awal bahwa pengembangan tersebut melibatkan modifikasi material genetik yang dianggap kontroversial secara modal.
Pendekatan kedua bertitik pada prediksi konsekuensi penggunaan teknologi di masa depan. Misalnya, ahli etika memprediksikan penggunaan nanoteknologi dalam dunia kesehatan lalu menganalisis isu-isu etis yang kemungkinan akan muncul pada perangkat berbasis nanoteknologi yang digunakan.
Baca juga : Analisis Litbang ”Kompas”: Sejarah Kecerdasan Buatan dan Fiksi yang Mewujud
Prediksi
Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan peramalan terhadap etika teknologi semakin mendapatkan perhatian. Setidaknya ada empat pendekatan yang mengevaluasi implikasi etik yang mungkin timbul dari pengembangan teknologi baru.
Pendekatan pertama adalah Ethical Technology Assessment (eTA) yang dikembangkan Elin Palm dan Sven Ove Hansson. Pendekatan ini menawarkan identifikasi efek buruk dari teknologi baru lewat evaluasi praktik-praktik pada tahap awal pengembangan teknologi.
Pendekatan ini menitikberatkan pada dialog dengan pengembang teknologi yang bertujuan untuk memandu dan memberikan umpan balik kepada perancang dan pembuat kebijakan.
Berbeda dengan eTA, Techno-ethical Scenario Approach mengidentifikasi dampak ”lunak” teknologi baru seperti mengubah cara manusia menginterpretasikan nilai moral atau memengaruhi pentingnya prinsip moral tertentu.
Marianne Boenink, Tsjalling Swierstra, dan Dirk Stemerding mencontohkan soal privasi. Privasi dapat menjadi prinsip yang kurang penting dalam masyarakat di mana informasi pribadi merajalela. Teknologi juga dapat memengaruhi perubahan konsep tanggung jawab manusia dalam masyarakat di mana pengambilan keputusan manusia didukung oleh sistem pakar.

Adapun pendekatan Ethical Issues of Emerging ICT Applications (ETICA) memberikan gambaran menyeluruh tentang masalah etika untuk teknologi yang sedang muncul yang kemungkinan akan terjadi pada masa depan jangka menengah.
Terakhir, Philip A.E Brey menawarkan Anticipatory Technology Ethics (ATE) yang membedakan tiga tingkat analisis etika, yakni dari level teknologi, artefak, dan aplikasi.
Meski memberikan hasil yang berbeda, setiap pendekatan memiliki tujuan yang sama untuk memberikan prediksi tentang implikasi etik sebuah teknologi.
Pendekatan ini dilakukan saat teknologi masih pada tahap pengembangan sehingga belum digunakan luas oleh masyarakat. Lalu, apakah Indonesia telah mempertimbangkan pengukuran ini?
Baca juga : Menelusuri Fase Tren Kecerdasan Buatan dalam Dunia Fotografi
AI di Indonesia
Perkembangan artificial intelligence (AI) telah dirasakan masyarakat Indonesia, salah satunya lewat chat.openai.com yang memungkinkan pengguna untuk berdialog dengan mesin pembelajar yang dapat berpikir analitis sekaligus memberikan rekomendasi.
Namun, perkembangan AI di Indonesia belum sepenuhnya terarah. Sosiolog dari Universitas Indonesia, Meuthia Ganie-Rochman, menyampaikan belum jelasnya tujuan bangsa dalam mengembangkan dan mengelola AI dan hanya terpukau pada kemampuan teknisnya saja.
Dalam webinar yang diadakan dalam rangka HUT Ke-6 Kompas.id pada Selasa (7/3/2023), ia juga menyoroti sejumlah dampak negatif yang mungkin timbul dari penggunaan AI yang tidak teregulasi dengan baik, seperti keamanan data, surveilans kapitalisme, echo chamber, menciptakan ketergantungan, hingga memecah kohesi masyarakat melalui distorsi dan manipulasi fakta.

Merujuk laporan Big Data Society, masalah etika dan moral serta implikasinya terhadap kesejahteraan anggota masyarakat selama ini tidak menjadi fokus pada industri pengembang AI. Kapasitas untuk penyesuaian atas masalah-masalah ini juga terabaikan. Hal ini tecermin dari studi terhadap model-model training AI yang dilakukan oleh raksasa digital.
Indonesia perlu menunjukkan upaya nyata untuk mengembangkan ekosistem yang aman bagi masyarakat dalam pemanfaatan teknologi. Meuthia menambahkan perlunya urgensi negara untuk menegakkan mekanisme evaluasi dengan mengajak akademisi lintas disiplin untuk mencegah penyimpangan dan ketimpangan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Perkembangan Kecerdasan Buatan, Tonggak Bersejarah hingga Capaian Terkini