Survei Litbang "Kompas " : Daya Tarik dan Daya Dorong Pilihan Capres
Daya tarik dan daya dorong akan menjadi dua faktor yang turut memengaruhi pemilih untuk memutuskan kepada calon presiden siapa suaranya diberikan. Apa saja daya tarik dan daya dorong tersebut?

Pilihan seseorang terhadap sosok calon presiden ditentukan oleh daya tarik dari kandidat yang ada, mulai dari aspek emosional, psikologis, maupun sosiologis. Selain daya tarik, dalam menentukan pilihannya, pemilih juga dipengaruhi oleh daya dorong di lingkungan terdekatnya yang juga memberikan konstribusi pada kuat dan lemahnya pilihan terhadap capres.
Daya tarik di sini terkait bagaimana potensi keterpilihan kandidat calon presiden di Pemilu 2024 mendatang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang melekat dalam diri sang calon presiden.

Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Selain faktor internal, seperti kepribadian, latar belakang dan rekam jejak sang kandidat, relasi sosial antar pemilih juga menjadi hal yang menarik untuk juga diperhatikan. Dari berbagai faktor tersebut, nampak beberapa hal yang cukup menonjol.
Beberapa faktor yang memengaruhi preferensi politik dari masyarakat ini tercermin dari hasil Survei Kepemimpinan Nasional yang diselenggarakan Litbang Kompas pada Januari lalu. Data survei merekam, nyaris sepertiga dari responden menyatakan mereka cenderung menyukai calon presiden yang punya pribadi sederhana dan merakyat.
Tak hanya down to earth, karakter yang juga dipandang positif oleh publik adalah tegas dan berwibawa. Berdasar survei, seperempat dari responden mengaku ingin memilih calon presiden yang memiliki kualitas diri tersebut. Inilah daya tarik yang berpotensi memengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya ke calon presiden.

Di luar karakter kepribadian, masyarakat juga ternyata melihat rekam jejak dan prestasi calon presiden yang nantinya akan dicoblos. Hasil survei menunjukkan, sekitar seperlima dari responden mengatakan akan memilih calon presiden yang terbukti memiliki pengalaman atau berprestasi sebagai pemimpin daerah. Selaras, sekitar 2,5 persen lainnya mengaku akan memilih calon dengan rekam jejak kinerja yang bagus, terlepas latar belakang profesi sebelumnya.
Menariknya, beberapa kualitas yang sebetulnya cukup penting justru tertangkap tak terlalu memengaruhi pilihan publik. Sebagai contohnya, kejujuran dan kemampuan untuk bersikap adil hanya diakui sebagai faktor berpengaruh oleh hanya sekitar empat persen saja. Sama halnya, faktor pendidikan yang dienyam kandidat juga hanya dirasa berpengaruh oleh tak sampai 2 persen dari masyarakat.
Di sisi lain, hasil survei ini juga bisa memberi secercah harapan akan praktik politik yang lebih beradab dibandingkan dengan apa yang terjadi di pemilu sebelumnya.
Pasalnya, poin-poin identitas, seperti suku, ras, dan agama, menjadi pertimbangan yang kesekian dibandingkan dengan faktor-faktor lain yang lebih prominen. Artinya, menggunakan atribusi identitas sebagai komoditas politik mungkin tak memberikan insentif politik yang berarti bagi para kandidat capres pada pertarungan tahun depan.
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas”: Pilihan Capres Membayangi Penilaian Kinerja Pemerintah
Militer dan kepala daerah
Selain faktor psikologis yang melekat dari kepribadian sang kandidat presiden, daya tarik juga muncul dari latar belakang profesi sang calon. Tingginya pengaruh dari karakter yang sederhana dan tegas ini berpotensi memberikan insentif elektoral bagi beberapa kalangan.
Hasil survei lalu menunjukkan, adanya kecenderungan masyarakat untuk memilih kandidat presiden dari golongan tertentu. Di antara beberapa golongan, terdapat dua yang nampak paling menonjol.
Golongan pertama yang dirasa oleh publik paling cocok untuk menjabat posisi RI-1 adalah dari kalanagn militer, termasuk TNI dan POLRI. Nyaris seperempat dari publik menyatakan, kalangan militer dinilai yang paling cocok untuk menjadi presiden. Bisa jadi, hal ini berhubungan dengan karakter tegas dan wibawa yang umum dimiliki oleh kalangan tersebut.
Tak terlalu jauh terpaut, kalangan kepala daerah juga cukup dirasa cocok oleh masyarakat untuk maju sebagai presiden. Dari hasil survei, diketahui bahwa sekitar 22 persen dari responden mengaku merasa demikian. Tak heran, posisi kepala daerah yang punya kesempatan cukup banyak untuk bersentuhan langsung dengan masyarakat ini selaras dengan harapan mereka yang ingin pemimpin sederhana dan merakyat.

Tangkapan layar foto di akun Instagram @ridwankamil terkait pertemuan informal Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kiri), Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (tengah), dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, di Jakarta, pada tahun 2018, sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Di luar dua kalangan ini, hanya ada dua yang pengaruhnya sedikit di atas rata-rata. Kalangan pertama yang masih cukup punya pengaruh ini adalah tokoh agama.
Bagi sekitar sepersepuluh dari responden, kalangan tokoh agama memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi presiden yang layak. Sedikit di bawahnya, ada juga tokoh masyarakat yang dinilai cocok sebagai kandidat presiden oleh sekitar 8 persen dari responden.
Menariknya, beberapa kalangan yang relatif dekat dengan lingkar politik justru cenderung memiliki pengaruh yang tidak besar. Sebagai contohnya, para ketua atau pengurus partai hanya dirasa cocok jadi kandidat presiden oleh 3,6 persen dari responden.
Angka ini tak jauh berbeda dengan preferensi publik terhadap kandidat dari birokrat seperti menteri dan juga pengusaha yang dinilai cocok sebagai kandidat presiden oleh 3,6 persen responden.
Daya tarik sang tokoh calon presiden tentu akan ditentukan pengaruhnya di bilik suara nanti
Beberapa temuan dari analisis faktor ini menunjukkan hasil yang konsisten dengan elektabilitas kandidat capres. Dari empat kandidat calon dengan elektabilitas paling tinggi, tiga diantaranya yakni Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil memiliki latar belakang sebagai pemimpin daerah. Sedangkan, satu kandidat, yakni Prabowo Subianto memiliki latar belakang militer.
Modal kepribadian dan karakter yang menonjol dari tokoh-tokoh tersebut, serta modal latar belakang dan rekam jejak yang melekat dari sepak terjang tokoh selama ini akan menjadi referensi bagi pemilih dalam menentukan sikapnya saat pemungutan suara 14 Februari 2024 nanti.
Daya tarik sang tokoh calon presiden tentu akan ditentukan pengaruhnya di bilik suara nanti. Apakah daya tarik itu sekadar mencuri perhatian sesaat atau justru dibuktikan dengan sikap responden memilih calon tersebut di hari pemungutan suara nanti.
Baca juga : Survei "Kompas": Ganjar Teratas, Prabowo dan Anies Masih Fluktuatif
Paling berpengaruh
Salah satu faktor yang bisa menguatkan sikap pemilih dalam menentukan pilihannya adalah sejauhmana daya dorong bisa mendoro daya tarik yang sudah dirasakan oleh pemilih.
Selain daya tarik tersebut, pemilih juga dihadapkan pada daya dorong dari lingkungannya. Siapa-siapa saja yang menjadi pemengaruh bagi pemilih akan turut menentukan kuat lemahnya minat pemilih mendukung calon presiden tertentu di pemilu nanti.
Berbeda dengan daya tarik yang lebih dipengaruhi oleh pertimbangan yang melekat dari sisi sang calon, daya dorong justru lebih berasal dari faktor eksternal dari pemilih. Tidak semua pilihan politik ditentukan murni dari pertimbangan pribadi pemilih.
Faktanya, ada kecenderungan juga pilihan politik masyarakat juga dipengaruhi oleh lingkaran sosialnya. Pengaruh ini sendiri bisa berasal dari lingkar sosial yang dekat seperti keluarga atau kolega, hingga yang jauh seperti pemengaruh yang berseliweran di lini masa media sosial.

Berdasarkan hasil survei, preferensi pilihan presiden masyarakat Indonesia masih banyak dipengaruhi oleh lingkar sosial yang relatif dekat. Hampir sepertiga dari responden survei menyatakan, pilihan presiden mereka dipengaruhi oleh keluarga, termasuk orang tua atau pasangan (suami/istri).
Besarnya pengaruh lingkaran sosial terdekat ini pun terjadi secara cukup merata di setiap kalangan. Dilihat berdasarkan kategori usia, keluarga menjadi pihak eksternal yang paling berpengaruh terhadap pilihan capres, mulai dari kategori usia paling muda (Gen Z) hingga paling tua (Baby Boomers). Hal ini menunjukkan, bisa jadi, transfer nilai-nilai politik masih dominan terjadi dalam lokus tersebut.
Meskipun begitu, bukan berarti pilihan mereka tidak terpengaruh oleh lingkar sosial yang lebih jauh. Pasalnya, figur publik seperti artis atau pemengaruh (influencer) yang kerap muncul di media massa atau media digital berpotensi memengaruhi lebih dari 13 persen responden.
Angka ini terpaut cukup jauh dengan lingkar sosial lain yang lebih dekat. Sebagai contohnya, hanya sekitar 7 persen dari responden yang mengaku preferensi kandidat presidennya dipengaruhi oleh tokoh masyarakat di lingkungannya, seperti ketua RT/RW, kepala desa atau lurah. Bahkan, tokoh agama memiliki pengaruh yang jauh lebih kecil di kisaran angka 2 persen.

Warga melintas di samping bendera partai politik yang terpasang pada pembatas jembatan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (7/2/2023). Sejumlah partai politik mulai memasang bendera dan spanduk untuk menarik perhatian calon pemilih. Sebelumnya, KPU telah menetapkan 18 partai sebagai peserta Pemilu 2024.
Hal ini makin menguatkan tesis bahwa besar kemungkinan peranan media sosial di Pemilu 2024 akan semakin kuat. Besarnya pengaruh dari media sosial dan internet, yang diwakilkan oleh kehadiran influencer, ini nampak bukan hanya terasa di generasi muda saja.
Jika dibandingkan, pengaruh dari kanal ini pada kelompok usia generasi Z (< 26 tahun) yang berada di angka 15 persen relatif sama dengan pengaruh di kelompok usia generasi X (42-55 tahun).
Pada akhirnya sikap pemilih akan terlihat dari sejauhmana kekuatan daya tarik calon presiden mampu memengaruhi preferensi pemilih. Pengaruhnya akan menguat jika kemudian diimbangi dengan kuatnya daya dorong dari lingkungan pemilih.
Maka, tidak heran jika kemudian kampanye-kampanye politik saat pemilu nanti, selain mengoptimalkan daya tarik sang kandidat agar mencuri perhatian pemilih, kontestan juga bergerilya untuk mendulang elektoral dari sisi menguatkan daya dorong yang bisa memengaruhi sikap pilihan politik dari pemilih. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas”: Modal Sosial Menopang Elektoral Parpol