Mencari Solusi Tak Sekadar Memulai Sekolah Lebih Pagi
Apakah kegagalan perbaikan mutu pendidikan di NTT selama ini disebabkan oleh jam memulai kegiatan belajar mengajar pada pukul 07.00 sehingga kebijakan memajukan jam masuk sekolah menjadi urgen?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F05%2F13%2Fdafffee9-31fe-4b27-91b7-59519cbe1e39_jpg.jpg)
Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT
Kebijakan out of the box Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat dengan memajukan jam mulai sekolah menjadi pukul 05.00 Wita dalam sepekan terakhir telah membuat heboh dunia pendidikan, khususnya di NTT. Heboh karena kebijakan masuk sekolah lebih pagi bagi siswa SMA dan SMK tersebut mendapat sorotan dan kritikan tajam publik dari berbagai kalangan.
Kebijakan kontroversial yang kemudian direvisi menjadi pukul 05.30 Wita dan hanya berlaku untuk siswa kelas XII di 10 sekolah di Kota Kupang tetap menimbulkan polemik di masyarakat. Kebijakan ini mendapat penolakan di antaranya dari DPRD Kota Kupang, DPRD NTT, dan DPR RI.
Selain itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta Komisi Ombudsman juga turut angkat bicara. Namun, pendapat mereka tidak membuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT mencabut aturan tersebut,
Berbagai pihak berkeberatan. Pasalnya, kebijakan dinilai dibuat tergesa-gesa, tanpa pemikiran yang matang, bahkan tanpa melakukan kajian akademik dan memperhitungkan dampak. Apalagi, aturan hanya berlaku untuk siswa kelas XII yang sedang mempersiapkan diri untuk kelulusan yang kurang lebih tinggal dua bulan lagi.
Dengan demikian, dinilai tidak tepat apabila aturan dibuat dengan alasan untuk meningkatkan kedisiplinan siswa, etos belajar, serta memperbaiki mutu pendidikan di NTT. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika muncul pertanyaan, apakah kegagalan pendidikan di NTT selama ini hanya dipicu jam memulai pelajaran pada pukul 07.00?

Gubernur Viktor Laiskodat (baju biru gelap) berbincang dengan salah satu anggota staf di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, Kamis (23/2/2023).
Sementara banyak negara di dunia dengan pendidikan terbaik justru memulai pelajaran dari pukul 07.30 hingga 10.00. Finlandia, misalnya, negara yang dikenal memiliki sistem pendidikan sangat baik dan mendapat peringkat pertama dalam Indeks Pendidikan dan Keterampilan Global (Global Education and Skills Index) pada beberapa tahun terakhir serta nilai tes The Program for International Student Assessment (PISA) tertinggi, mewajibkan siswa masuk sekolah antara pukul 09.00 dan 10.00.
Dikutip World Economic Forum, salah satu alasan Finlandia menetapkan jam sekolah lebih siang adalah demi mengurangi tekanan dan stres pada anak,
Demikian pula Kanada, yang dikenal dengan sistem pendidikan yang inklusif dan berpusat pada siswa. Negara itu memulai pelajaran pukul 08.30 hingga 09.00. Sama dengan Jepang, yang memiliki sistem pendidikan sangat baik dengan penekanan pada disiplin, nilai-nilai moral, dan keterampilan hidup.
Jhon Hattie (2018), peneliti dari Australia dalam penelitiannya terkait dengan visible learning menyatakan, dari 252 indikator tentang prestasi anak, tidak ada satu pun yang menyatakan masuk sekolah lebih pagi berhubungan dengan naiknya prestasi anak.
Baca Juga: Ombudsman RI Menilai Kebijakan Sekolah Pagi di NTT Tidak Tepat
Dampak
Hubungan jam masuk sekolah dengan anak sebenarnya terkait dengan kecukupan waktu tidur. Berbagai penelitian menemukan, kecukupan tidur berdampak pada kemampuan anak menyerap informasi karena dengan tidur yang cukup otak anak dapat bekerja maksimal dalam menerima pelajaran. Adapun kondisi kurang tidur akan berdampak pada sleep disorder (gangguan tidur) yang bisa memengaruhi kesehatan mental anak.
Tidur merupakan bagian penting dalam pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual anak. Masa remaja rentan mengalami gangguan tidur.
Gangguan tidur yang berkaitan dengan durasi tidur berdampak pada gangguan kognitif yang buruk, masalah perilaku, dan fungsi akademis yang terganggu (Gruber et al, 2012).
Oleh karena itu, remaja memerlukan 8 sampai 10 jam waktu tidur setiap malam untuk mencegah keletihan yang tidak perlu dan kerentanan terhadap infeksi (Kozier, 2011; National Sleep Foundation, 2015).

Kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri Bolan, Kabupaten Malaka, NTT.
Kementerian Kesehatan Indonesia merekomendasikan remaja pada rentang usia 12 sampai 18 tahun sebaiknya tidur sesuai jam tidur yang dianjurkan, yakni 8 sampai 9 jam per hari. Remaja yang kurang tidur lebih rentan terkena depresi, tidak fokus dan punya nilai akademik yang buruk.
Sementara Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat berpendapat anak SMA yang masuk kategori remaja itu cukup tidur 6 jam dari pukul 22.00 sampai pukul 04.00 sehingga memulai pelajaran di sekolah pukul 05.00 adalah ideal.
Dampak kesehatan dan psikologis bagi 15.768 siswa SMA dan 13.187 siswa SMK di Kota Kupang tahun ajaran 2021/2022 (jika kebijakan diberlakukan untuk 65 sekolah yang ada) itulah salah satu problem yang belum dikaji.
Tak hanya masalah kesehatan, kebijakan yang mungkin baru pertama di dunia ini juga menimbulkan masalah transportasi serta keamanan dan keselamatan siswa karena melakukan perjalanan ke sekolah terlalu pagi ketika kondisi jalanan masih gelap sehingga rawan terhadap tindak kejahatan. Apalagi, transportasi umum dan angkutan khusus anak sekolah di Kota kupang belum mendukung kebijakan ini.
Selain itu, muncul problem manajemen waktu dalam keluarga karena sudah pasti rutinitas sehari-hari dalam keluarga akan bergeser waktunya. Orangtua, termasuk guru, akan bangun lebih pagi lagi karena harus menyiapkan sarapan bagi anak dan menyelesaikan rutinitas lainnya.
Bagi satuan pendidikan, kebijakan ini tentu akan berimbas pada pengeluaran sekolah untuk pembiayaan listrik, misalnya, karena kondisi lingkungan yang masih gelap tentunya membutuhkan pencahayaan yang memadai.
Dampak terhadap berbagai aspek tersebut harusnya dipertimbangkan terlebih dahulu. Mengingat dampaknya yang luas, dalam merumuskan kebijakan, pemerintah daerah seharusnya meminta pertimbangan pemangku kepentingan, termasuk siswa dan orangtua.
Baca Juga: Sekolah Pukul 05.30, Obsesi Serasa Sensasi
Problem pendidikan NTT
Pekerjaan rumah membenahi mutu pendidikan di NTT memang masih berat. Banyak faktor yang harus dibenahi. Indeks pendidikan rata-rata Provinsi NTT senilai 0,66 dan masuk dalam klasifikasi sedang, masih di bawah rerata nasional 0,71. Angka partisipasi murni (APM) SMA, yang menjadi salah satu parameternya, di NTT pada 2022 masih di angka 56 persen dan berada di urutan keempat terendah dari 34 provinsi.
Rapor pendidikan untuk tingkat SMA/sederajat khususnya di bagian literasi dan numerasi masih berwarna kuning menuju merah. Artinya, masih berada di bawah kompetensi minimum. Juga masih ditemukan perbedaan capaian literasi antara wilayah urban dan rural. Adapun untuk indeks karakter siswa sudah mendapat rapor hijau, yang artinya sudah berkembang,
Demikian juga rapor untuk guru. Indeks Refleksi Guru masih bewarna kuning, artinya kegiatan pengembangan kualitas pembelajaran yang dilakukan belum terstruktur. Guru belum konsisten melakukan refleksi pembelajaran, mengeksplorasi referensi pengajaran baru, dan mencetuskan inovasi baru.
Bahkan, aspek kepemimpinan instruksional masih mendapat nilai merah. Maknanya, kepemimpinan instruksional belum mengacu pada visi misi sekolah, belum mendorong perencanaan, praktik dan asesmen pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan hasil belajar siswa, serta belum mengembangkan program, sistem insentif, dan sumber daya yang mendukung guru melakukan refleksi dan perbaikan pembelajaran.
Terkait sumber daya guru di NTT, berdasarkan data Neraca Pendidikan Daerah Tahun 2021, hanya sekitar 30 persen guru yang mengajar SMA dan SMK berstatus PNS (pegawai negeri sipil).
Sementara guru bersertifikasi untuk tingkat SMA baru 21,8 persen dan SMK 23,2 persen. Meski secara kualifikasi pendidikan sudah lebih dari 90 persen guru SMA/SMK berpendidikan minimal D-4/S-1, pekerjaan rumah untuk memperbaiki kualitas dan kompetensi guru masih menjadi problem tersendiri.
Sebenarnya, Pemprov NTT melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT sedang fokus mengembangkan sumber daya manusia (SDM) melalui pengelolaan pendidikan berdaya saing.
Hal tersebut pernah disampaikan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi saat membawakan materi pada acara bimbingan teknis (bimtek) penyiapan dan penyusunan materi pimpinan tahun 2022, Oktober lalu, di Hotel Sasando, Kupang.
Bahwasanya upaya pengembangan SDM di NTT akan fokus pada tiga isu utama, yakni literasi, numerasi, dan pendidikan karakter. Kemampuan literasi, numerasi, dan pendidikan karakter menjadi fondasi pembangunan generasi masa depan NTT yang produktif dan berdaya saing tinggi.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi
Untuk itu, upaya penetapan arah program prioritas pembangunan bidang pendidikan Provinsi NTT akan dilakukan melalui program pengelolaan pendidikan, program pengembangan kurikulum, serta program pendidikan dan tenaga kependidikan.
Melihat arahan tersebut sebenarnya upaya yang akan dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di NTT sudah sejalan dan tepat sasaran dengan problem yang dihadapi. Namun, sayang, kebijakan yang tiba-tiba muncul belakangan ini seakan mengesampingkan program-program pengelolaan pendidikan yang sudah dipersiapkan.
Cita-cita luhur Gubernur NTT agar lulusan SMA/SMK di NTT bisa diterima di kampus-kampus ternama di Indonesia ataupun luar negeri memang perlu diapresiasi. Namun, dengan memajukan jam masuk sekolah pada pukul 05.00 apakah efektif?
Sementara Kurikulum Merdeka dalam program Merdeka Belajar yang dikembangkan Kemendikbudristek saat ini bertujuan menjadikan siswa sebagai pusat atau subyek pembelajaran dengan memberikan pendidikan yang menyenangkan yang bertumpu pada proses pembelajaran yang menyentuh kedirian siswa. Oleh sebab itu, kebijakan apa pun yang menyangkut siswa perlu memperhatikan kepentingan terbaik dan partisipasi siswa. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: KPAI Minta Kaji Ulang Kebijakan Masuk Sekolah Pukul 05.30