Survei Litbang ”Kompas”: Bertumpu pada Sosok, Pedang Bermata Dua bagi Parpol
Ketokohan masih menjadi faktor dominan bagi publik dalam memilih partai politik. Baik dalam alasan penerimaan maupun penolakan, publik mendasarkan alasannya pada kecocokan mereka terhadap tokoh kuat di parpol.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·6 menit baca
KOMPAS
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Rabu (18/1/2023), resmi bergabung dengan Partai Golkar. Keputusan Ridwan Kamil dinilai bisa mengubah peta politik menjelang Pilkada 2024.
Sudah menjadi hal yang umum jika partai politik atau parpol memaksimalkan seluruh bentuk kapital yang dimiliki untuk menarik pemilihnya. Seluruh modal, mulai dari sosial, ekonomi, hingga simbolik, diperjuangkan guna meyakinkan publik bahwa sebuah parpol layak dipilih. Menonjolkan tokoh kuat dalam partai menjadi salah satu dimensi dalam usaha-usaha ini.
Faktanya, penonjolan tokoh partai masih sejalan dengan keinginan publik. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 25 Januari-4 Februari 2023 tampak bahwa alasan responden memilih parpol disebabkan tokoh berpengaruh, dengan angka mencapai 35,9 persen. Namun, selain menjadi sumber penerimaan, tokoh dalam parpol juga menjadi sumber resistensi. Bagian terbesar responden (31,4 persen) menyatakan tidak akan memilih sebuah parpol karena tidak menyukai tokoh parpol itu.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dari sisi penerimaan, jika alasan memilih parpol berdasarkan tokoh ditelusuri lebih dalam berdasarkan kelas sosial responden, kecenderungannya relatif sama. Dalam setiap kelas sosial responden, meski dengan derajat yang berbeda, tokoh berpengaruh menjadi alasan terpenting dalam memilih parpol. Kelas sosial yang dimaksud ialah kelas ekonomi yang dilihat dari pengeluaran keluarga per bulan dan daya listrik di rumah.
Kelas menengah bawah menjadi kelompok yang paling mementingkan tokoh dalam parpol, yakni 42,1 persen. Berikutnya, kelas sosial atas berada pada urutan kedua dengan alasan sama, yakni 38,5 persen. Pada posisi selanjutnya, tak kurang dari 31,3 persen kelas sosial bawah menaruh dasar alasan memilih parpol dari tokoh yang berpengaruh. Kelas sosial menengah atas menjadi yang paling sedikit mendasarkan alasan memilih parpol dari tokoh berpengaruh, angkanya 28,3 persen.
KOMPAS
Survei Litbang Kompas: Megawati dan Prabowo Ketua Umum Parpol Paling Populer (21/2/2023).
Masih dari sisi penerimaan, setelah sosok yang berpengaruh, program kerja parpol menjadi hal berikutnya yang menjadi dasar pertimbangan dalam memilih parpol. Tak kurang dari 14 persen responden sepakat dengan hal ini. Jika kembali ditelusuri dengan kelas sosial responden, kelas sosial atas menjadi kelompok yang paling besar melihat program kerja parpol sebagai alasan memilih parpol, yakni 19,2 persen.
Pada urutan berikutnya, 15,4 persen responden kelas sosial bawah menjatuhkan pilihan parpol berdasarkan program kerja parpol. Berturut-turut pada posisi berikutnya dengan alasan program kerja parpol ialah kelas sosial menengah atas 14,1 persen dan kelas sosial menengah bawah 12,2 persen.
Beranjak pada alasan ketiga, visi dan misi parpol menjadi alasan responden dalam memilih parpol dengan persentase 12,2 persen. Kelas menengah atas menjadi kelompok yang paling besar perhatiannya terhadap visi misi dengan persentase 15,2 persen. Dengan angka mirip, responden kelas sosial menengah bawah yang menaruh perhatian pada visi dan misi parpol sebanyak 12,9 persen. Kelas sosial atas jadi kelompok yang paling sedikit perhatiannya terhadap visi misi parpol, yakni 3,8 persen saja.
Dari sudut pandang kelas sosial, kelompok menengah atas menunjukkan kecenderungan paling merata dalam hal alasan memilih parpol. Meskipun masih menitikberatkan pada tokoh, kelompok sosial ini memberikan porsi yang cukup untuk program kerja dan visi misi parpol. Dapat dimaknai pula, kelas sosial menengah atas menunjukkan kecenderungan paling kritis sekaligus rasional dalam menentukan pilihan politik.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (kiri) bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Kantor Partai Demokrat, Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Resistensi
Beranjak ke soal alasan tidak memilih parpol, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tokoh dalam parpol juga menjadi alasan utama resistensi publik dalam memilih parpol. Alasan ketidaksukaan terhadap tokoh dalam parpol menyumbang porsi 31,4 persen. Angka ini diikuti alasan penolakan dari sisi popularitas sebanyak 25,4 persen dan ketidaksesuaian dengan ideologi 11,7 persen.
Dengan pendalaman yang sama seperti sebelumnya, di setiap kelas sosial ketidaksukaan terhadap tokoh menjadi alasan resistensi dengan persentase yang mirip. Alasan ketidaksukaan terhadap tokoh ini sebanyak 32,4 persen pada kelas sosial atas, lalu 32,3 persen pada kelas sosial menengah atas, selanjutnya 32,2 persen pada kelas sosial menengah bawah, dan 29,4 persen pada kelas sosial bawah.
Dari sisi popularitas parpol, muncul kecenderungan sikap yang lebih dinamis dalam setiap kelas sosial responden. Responden kelas sosial bawah menjadi yang paling tinggi menunjukkan resistensi terhadap parpol yang tak populer, persentasenya sekitar 35,6 persen. Pada alasan yang sama terdapat sekitar 23,7 persen responden kelas sosial menengah bawah. Setelahnya berturut-turut 17,2 persen kelas menengah atas dan 11,8 persen kelas sosial atas memiliki alasan yang sama.
Beranjak ke perkara ideologi, keempat kelas sosial ini menunjukkan kecenderungan yang mirip. Kelas sosial atas dan menengah atas sama-sama memiliki persentase 11,8 persen tidak memilih parpol karena tidak sesuai dengan ideologi yang dimiliki. Dengan alasan yang sama, ada 12,8 persen kelas menengah bawah dan 9,8 persen kelas bawah menyatakan tidak memilih parpol jika tidak sesuai dengan ideologi yang dimiliki.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kanan) dan Menteri BUMN Erick Thohir (dua dari kanan) saat menghadiri pembukaan Rakornas PAN 2023 di Semarang, Jawa Tengah, Minggu (26/2/2023).
Baik dari sisi akseptasi maupun resistensi pilihan terhadap parpol, faktor ketokohan tampak masih menjadi yang determinan memengaruhi publik. Dari sisi penerimaan, ketokohan diikuti dengan program kerja, kemudian visi dan misi parpol. Sementara dari sisi penolakan, ketokohan diikuti dengan soal popularitas parpol.
Fakta ini sekaligus menguatkan bahwa preferensi politik publik di Indonesia masih cenderung bersandar pada sisi primordial. Tokoh berpengaruh dan kuat dipercaya sejalan dengan kualitas parpol tempatnya berpolitik. Sementara jika tokoh dalam parpol tidak disenangi, publik akan cenderung menilai keseluruhan parpol dengan tolok ukur yang sama negatifnya.
Fenomena ini sebenarnya bukan sesuatu yang aneh tatkala dilihat dalam konteks makro, yakni proses demokrasi negara berkembang sekaligus negara yang punya sejarah kolonialisme. Secara historis, sebelum adanya negara modern, wilayah Indonesia terbagi menjadi kerajaan-kerajaan. Dalam sistem yang feodalistik, raja dianggap sebagai sosok yang dipercaya dalam segala segi kehidupan.
Dalam konteks kolonialisme, patron mulai bergeser pada pembesar-pembesar kolonial yang mengisi pemerintahan. Rakyat yang terjajah tidak hidup dalam pemahaman bahwa mereka punya kedaulatan politik untuk mengatur dan punya posisi tawar dalam pemerintahan. Negara modern dengan konsep politik demokrasi sebenarnya hadir dan dimungkinkan untuk meruntuhkan sistem lama ini. Namun, butuh proses pendewasaan politik dan memerlukan waktu untuk mewujudkannya.
Patron
Konsep patronase bukanlah barang baru dalam dinamika kontestasi politik. Teori ini berkembang dalam ilmu-ilmu sosial humaniora dengan apa yang disebut patron-client. Forster dalam sebuah jurnal tahun 1963 berjudul ”The Dyadic Contract in Tzintzuntzan: Patron-client Relationship” menjelaskan, patron merupakan sosok yang mengombinasikan status, power, ataupun otoritas untuk mempertahankan kekuasaannya. Namun, klien, yang posisinya di bawah patron, memberikan dukungan dan kesetiaannya tidak cuma-cuma.
Ada perlindungan baik dari sisi politik maupun ekonomi yang dijanjikan oleh patron dan sekaligus selalu dituntut oleh klien. Dalam struktur yang demikianlah ada hubungan mutualistik meski dalam relasi yang tidak setara. Meskipun tak jarang, ciri mutualistik ini pun problematik. Dengan seluruh modal kapital yang dimiliki, patron mampu memanipulasi situasi untuk meyakinkan klien bahwa mereka membutuhkan dan bergantung pada patron.
Kembali pada konteks ciri pemilih Indonesia yang cenderung melandaskan preferensi politiknya pada tokoh, ada kebutuhan pendewasaan politik yang tampaknya perlu diperjuangkan. Dari sisi parpol, menonjolkan tokoh dengan memanfaatkan narasi-narasi besar masih bisa menjadi langkah efektif dalam mengeruk suara.
Meski demikian, ibarat pedang bermata dua, hal ini tetap problematik. Pasalnya, tokoh-tokoh ini tak akan hidup selamanya. Dan, ketika pemilih tidak suka dengan sosok yang ada ataupun penerusnya, hal ini sangat mungkin meruntuhkan simpati publik pada parpol.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (bersarung hijau), berbincang dengan Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP Mardiono dalam acara Silaturahim Akbar PPP di Stadion Kridosono, Yogyakarta, 8 Januari 2023.
Dominannya alasan penerimaan ataupun penolakan membuat publik masih sangat bergantung pada kecocokan mereka terhadap tokoh yang berpengaruh dalam parpol. Ini artinya, tanpa adanya sosok yang dianggap cocok, publik dapat menjaga jarak atau menjauhkan diri dari relasi dengan parpol.
Padahal, di luar figur ketokohan, banyak hal yang bisa dilihat publik untuk menilai kualitas parpol. Mulai dari program kerja parpol, rekam jejak parpol dalam menyuarakan isu-isu kerakyatan, visi kebangsaan, kiprah nyata dalam membantu kesulitan rakyat, hingga komitmen dan transparansi kader partai dalam memerangi praktik korupsi.
Dalam hal ini, pendidikan politik menjadi hal yang penting dalam proses pendewasaan demokrasi di Indonesia guna menambah bobot pertimbangan publik dalam memilih parpol. Untuk menuju tahapan tersebut, kelas sosial menengah atas dapat menjadi tumpuan untuk menggerakkan kesadaran politik ini. Hal ini mengingat kelas politik ini yang paling menunjukkan sikap kritis dan rasionalitas dalam menentukan pilihan politik.
Pemilih juga harus memiliki kesadaran bahwa setelah pemilu mereka memiliki posisi tawar yang kuat. Rakyat punya hak untuk terus menagih para pelaku politik agar menepati janji-janji politik ataupun mewujudkan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat. (LITBANG KOMPAS)