Masih maraknya kasus keracunan pangan yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat harus waspada dan peduli terhadap kebersihan dan kesehatan asupan pangan.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·4 menit baca
DOKUMENTASI POLSEK TENJO
Sebanyak 87 warga dilaporkan keracunan makanan. Sejumlah warga mendapatkan perawatan di Balai Desa Babakan karena keracunan makanan saat resepsi pernikahan di Desa Babakan, Tenjo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/2/2023).
Risiko keracunan makanan senantiasa mengintai masyarakat setiap saat. Untuk mengurangi risiko ini, kriteria makanan yang aman dikonsumsi menjadi hal yang harus diperhatikan publik.
Masih adanya risiko keamanan pangan terlihat dari berbagai kasus keracunan makanan. Kasus yang baru-baru ini menjadi sorotan masyarakat adalah keracunan makanan pada anak yang mengonsumsi pangan siap saji dengan nitrogen cair. Berdasarkan jumlah laporan pada Januari 2023, sedikitnya ada 1 kasus pada anak di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur; 23 kasus di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; dan 1 kasus dengan gejala nyeri perut hebat setelah mengonsumsi jajanan serupa.
Secara akumulatif, kasus keracunan pangan ini terlihat dari laporan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pada 2021 dilaporkan terjadi 50 kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan yang menyebabkan 2.569 orang menjadi korban. Sebanyak 1.783 orang di antaranya mengalami gejala sakit dan 10 orang meninggal.
Penyebab KLB keracunan makanan sebagian besar adalah akibat mengonsumsi makanan sehari-hari, konsumsi jajanan, acara pesta keluarga, kegiatan sosial, kegiatan keagamaan, pertemuan atau acara rapat, dan perayaan umum lainnya. Singkatnya, hampir semua aktivitas konsumsi masyarakat berpotensi besar terpapar cemaran yang membahayakan kesehatan konsumen.
Apabila ditilik dari jenis cemarannya, setidaknya ada dua jenis penyebab keracunan, yakni mikrobiologi dan kandungan kimia. Laporan BPOM pada 2021 juga menunjukkan bahwa 48 persen KLB diduga disebabkan oleh cemaran mikrobiologi. Sementara itu, kasus KLB yang diduga akibat cemaran kimia mencapai kisaran 10 persen.
Melihat risiko keracunan akibat pangan yang senantiasa mengintai, Litbang Kompas melakukan jajak pendapat pada 23-24 Februari 2023 untuk memotret persepsi publik terkait keamanan pangan di Indonesia. Jajak pendapat tersebut menjaring persepsi publik dari 508 responden di 34 provinsi di Indonesia. Persepsi keamanan pangan ini dikaitkan dengan makanan yang dibeli dari pedagang hingga pertimbangan yang digunakan saat membeli makanan.
Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa dalam keseharian terdapat 56,2 persen responden yang mengaku paling sering membeli makanan dari warung makan dengan bangunan permanen. Selanjutnya, disusul sering membeli dari pedagang kaki lima atau kedai bertenda yang dinyatakan oleh 17,6 persen responden. Pada urutan ketiga, kebiasaan membeli dari pedagang keliling dengan besaran jumlah responden 12,2 persen.
Selain bersifat langsung, ada juga responden yang menyebutkan membeli makanan secara daring. Sebesar 7,2 persen responden menyatakan paling sering membeli makanan melalui platform daring, seperti Gofood, Grabfood, dan Shopeefood.
Apabila ditinjau dari latar belakang sosial ekonomi responden, pilihan membeli makanan dari platform daring dan restoran bermerek adalah opsi paling dilirik kalangan menengah ke atas. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan harga makanan yang relatif lebih mahal. Sementara itu, pedagang dengan bangunan permanen menjadi rujukan dalam membeli makanan yang relatif sehat dan aman oleh semua kalangan responden.
Hasil jajak pendapat juga menemukan kriteria yang dibeli responden saat harus membeli makanan dari luar rumah. Tiga pertimbangan yang paling banyak diungkapkan ialah kebersihan makanan, masa kedaluwarsa, dan kandungan gizi. Kriteria ini menjadi petunjuk tertanamnya kesadaran publik akan risiko keamanan pangan yang mengintai keselamatan dirinya.
Bagian terbesar responden (36,3 persen) paling memperhatikan aspek kebersihan ketika membeli makanan atau minuman. Kebersihan yang diperhatikan meliputi produk yang dijual serta kebersihan pedagang dan tempat menjajakan jualannya.
Ketika dicermati lebih lanjut, responden yang bermukim di perdesaan (39,8 persen) menaruh perhatian pada aspek kebersihan lebih tinggi jika dibandingkan dengan responden di perkotaan (32,5 persen). Kesibukan dalam beraktivitas dan kemacetan saat mengakses penjual boleh jadi menjadi kendala responden perkotaan dalam mencari tempat makanan yang benar-benar bersih.
Walaupun tingkat perhatian yang diberikan tampak berbeda, faktor kebersihan sama-sama menjadi prioritas utama dalam melihat kriteria makanan yang sehat untuk dikonsumsi. Aspek terpenting berikutnya yang menjadi perhatian responden adalah selalu memeriksa masa kedaluwarsa produk makanan dan minuman yang dibeli serta kandungan gizi dalam makanan.
Dalam konteks kriteria pembelian makanan, pilihan responden terhadap penjaja makanan dengan bangunan permanen menjadi pilihan yang logis. Sebab, para responden menyebutkan bahwa aspek kebersihan menjadi prioritas utama ketika membeli makanan ataupun minuman. Kebersihan warung permanen lebih baik apabila dibandingkan dengan pedagang kaki lima atau bahkan pedagang keliling. Warung permanen memiliki keunggulan akses air bersih sebagai salah satu penunjang kebersihan makanan serta alat makan yang digunakan.
Peran pemerintah
Menjaga dan memastikan keamanan pangan memang menjadi tugas tiap individu. Namun, peran pemerintah juga sangat penting dalam menjaga keamanan pangan yang dikonsumsi masyarakat. Terkait kepuasan terhadap peran pemerintah, sebanyak 74,4 persen responden mengatakan puas terhadap kinerja pemerintah dalam menjaga keamanan pangan. Sementara itu, ada 24,3 persen responden yang menyatakan masih belum puas dengan campur tangan pemerintah terkait keamanan pangan.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Surabaya mengumpulkan sampel makanan yang dijual PKL di depan Masjid Al-Akbar untuk diuji laboratorium, Senin (11/4/2022). Pengambilan sampel untuk mengetahui kandungan zat berbahaya di tengah meningkatnya komsumsi makanan saat berbuka puasa di lokasi tersebut. Petugas juga melakukan sosialisasi tentang bahaya kandungan zat berbahaya bagi kesehatan.
Ketidakpuasan terhadap pemerintah itu muncul dari sebagian responden jajak pendapat yang pernah mengalami keracunan makanan dalam kurun setahun terakhir ini. Sebagian besar responden (92 persen) menyebutkan tidak pernah mengalami keracunan makanan baru-baru ini.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa kondisi keamanan pangan secara umum dalam kategori relatif baik karena tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan dari masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah perlu terus meningkatkan pengawasan soal keamanan pangan guna memastikan pangan yang dikonsumsi publik dalam kondisi sehat dan aman.
Masyarakat pun harus berkolaborasi dengan pemerintah untuk saling mengontrol peredaran makanan dan minuman yang terindikasi membahayakan kesehatan konsumen. Dengan demikian, asupan pangan yang bermanfaat bagi kesehatan dan aman bagi masyarakat dapat tersaji setiap saat di negeri ini. (LITBANGKOMPAS)