Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Keadilan Sosial demi Kemajuan Bangsa
Pembangunan dan keadilan sosial menjadi isu global. Namun, di saat yang sama terdapat tantangan serius, seperti ketidaksetaraan dan diskriminasi sosial yang membayangi rasa keadilan.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ekspresi keresahan masyarakat terkait persoalan yang terjadi di negeri ini dituangkan dalam media mural seperti terlihat di kawasan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (27/11/2020). Persoalan korupsi, keadilan hukum, dan kesejahteraan sosial menjadi tema yang banyak diangkat ke dalam seni mural.
Pembangunan dan keadilan sosial menjadi isu global. Untuk mewujudkanya, hampir semua negara bertumpu pada upaya mempertahankan stabilitas sosial tersebut. Salah satu tumpuannya adalah hadirnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, di saat yang sama terdapat tantangan serius seperti ketidaksetaraan dan diskriminasi sosial.
Upaya untuk menguatkan aspek sosial dalam globalisasi diharapkan menjadi fokus pemangku kebijakan dan masyarakat di seluruh dunia. Hal ini pun tecermin dalam semangat Hari Keadilan Sosial Sedunia yang tepat diperingati pada 20 Februari lalu.
Deklarasi Hari Keadilan Sosial Sedunia oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) pada 26 November 2007 mencerminkan konsensus tentang perlunya dimensi sosial yang kuat dalam globalisasi yang adil bagi semua. Namun, globalisasi tak hanya membawa peluang pertumbuhan ekonomi. Di saat yang sama, terdapat tantangan serius berupa kemiskinan, pengucilan, dan ketidaksetaraan.
Kondisi tersebut membuat perlu adanya upaya-upaya dari komunitas internasional untuk mengentaskan kemiskinan lewat pekerjaan yang layak, penyetaraan jender, dan pemenuhan kesejahteraan yang berkeadilan.
Tahun ini, peringatan Hari Keadilan Sosial Sedunia mengambil tema ”Overcoming Barriers and Unleashing Opportunities for Social Justice” demi memperkuat solidaritas global dan seruan untuk kembali membangun kepercayaan kepada pemerintah.
Salah satu isu yang disorot pada tahun ini adalah kesenjangan jender dalam urusan pekerjaan dan peningkatan harga makanan dan komoditas yang secara tidak proporsional berdampak pada kondisi rumah tangga miskin.
Di Indonesia, kesetaraan di ranah kerja dan melambungnya harga kebutuhan pokok masih menjadi persoalan yang dirasakan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat. Kondisi ini terungkap dari jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan awal Februari lalu.
Seperempat responden masih mendapati adanya ketidakadilan di tempat kerja berbasis jender. Sebanyak 18,5 persen pernah menyaksikan adanya pengutamaan laki-laki dibandingkan perempuan dalam karier profesional. Adapun 6,8 persen responden menyebut mengalami ketidakadilan tersebut.
Pengalaman yang dihadapi oleh publik ini harapannya dapat menjadi perhatian di tengah upaya pemerintah untuk memastikan semua perempuan dapat berpartisipasi penuh dan mendapat kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan publik.
Upaya ini menjadi salah satu target pemerintah untuk mencapai kesetaraan jender dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Ketimpangan gender di ranah kerja pun masih terlihat dari belum seimbangnya proporsi perempuan di level pengambil keputusan. Badan Pusat Statistik mencatat, proporsi perempuan yang berada di posisi manajerial baru 32,5 persen pada 2021. Komposisi ini pun turun dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 33,08 persen.
Potret yang sama juga tampak pada proporsi perempuan yang menduduki level eselon 1 di lingkup pemerintahan. Pada 2021, perempuan di posisi manajerial sebanyak 17 persen atau turun 0,8 poin dari tahun sebelumnya. Sementara proporsi perempuan di eselon 2 sedikit lebih besar, yakni 22 persen.
Selain di ranah kerja, publik juga mengkhawatirkan sejumlah aspek yang dianggap belum memenuhi asas keadilan. Sebanyak 32,5 persen responden jajak pendapat menyoroti persoalan belum meratanya akses pada bahan pokok yang murah dan terjangkau. Sementara itu, 20,3 persen menyoal belum meratanya akses pada bahan bakar minyak dan gas yang terjangkau.
Tidak bisa dimungkiri, kelangkaan dan melambungnya harga bahan pokok sejak tahun lalu menjadi isu besar bagi rumah tangga Indonesia. Harga bahan pokok seperti beras dan minyak terus meningkat dari hari ke hari.
Merujuk Sistem Informasi Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan pada 15 Februari 2023, harga rata-rata nasional beras medium adalah Rp 11.800 atau meningkat 0,8 persen dari hari sebelumnya. Harga ini masih di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan wilayah, yakni Rp 9.450-Rp 10.250 per kilogram.
Adapun harga rata-rata nasional Minyakita yang sempat mencapai titik tertinggi Rp 15.300 per liter kini turun tipis menjadi Rp 15.200 per liter. Harga minyak goreng juga masih di atas HET, yakni Rp 14.000 per liter (Kompas, 13/2/2023).
Selain bahan pokok dan bahan bakar minyak, 20,3 persen responden juga menyuarakan belum meratanya akses untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Sebanyak 15,5 persen menyoal pemerataan pelayanan kesehatan dan 10,2 persen memiliki perhatian pada akses air bersih dan perumahan layak. Temuan jajak pendapat di atas menyumbang pemahaman terkait apa yang menjadi keresahan masyarakat Indonesia saat ini.
Memperkuat keadilan sosial demi memperkukuh ekonomi nasional juga perlu dibarengi dengan praktik bernegara yang menjunjung kesetaraan. Namun, perilaku diskriminatif masih dirasakan masyarakat Indonesia dalam keseharian. Tindakan yang masih sarat akan kepentingan partisan masih tampak dalam pelayanan publik dan kehidupan bermasyarakat.
Di ranah pelayanan publik, lebih dari separuh responden merasakan adanya perlakuan yang membeda-bedakan oleh aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan publik.
Sebanyak 36,2 persen pernah melihat petugas pelayanan publik mendahulukan kepentingan kalangan dengan latar belakang ekonomi atas dibandingkan dengan yang berasal dari kalangan bawah. Sebanyak 23,1 persen responden menyatakan pernah mengalaminya sendiri fenomena tersebut.
Berikutnya, 40,2 persen responden pernah melihat pelaksana pelayanan publik mendahulukan kepentingan orang yang berasal dari keluarga terpandang yang memiliki koneksi. Hal ini bahkan dirasakan langsung oleh 17,7 persen responden.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Warga mengurus dokumen kependudukan di Pasar Pelayanan Publik Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (19/12/2019). Layanan ini memudahkan warga di sekitar Kecamatan Rogojampi yang ingin mengurus sejumlah dokumen kependudukan dan perizinan tanpa harus ke pusat kota yang berjarak 17 kilometer.
Pengalaman diskriminasi juga terlihat dalam hal kesukuan dan agama. Setidaknya 2 dari 10 responden pernah mendapati adanya pengutamaan pelayanan publik pada masyarakat dengan suku dan agama yang sama dengan penyelenggara pelayanan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan dengan jelas, penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif. Asas ini juga berlaku dalam memeriksa materi pengaduan.
Adapun dalam kehidupan bermasyarakat, tercatat 25,1 persen responden mengaku pernah melihat ketidakadilan perlakuan antar masyarakat karena perbedaan latar belakang suku, agama, dan ekonomi. Sebanyak 10,1 persen responden menyebut pernah mengalaminya secara langsung.
Pengalaman ini selaras dengan citra masyarakat Indonesia yang dianggap belum sepenuhnya menjunjung kesetaraan. Hal ini tecermin dari 35,4 persen responden yang menilai keadilan sosial di tengah masyarakat masih belum baik.
Temuan ini menjadi kritik penting untuk membangun masyarakat yang semakin berkeadilan. Komunitas global, penyelenggara negara, hingga masyarakat luas perlu kembali merefleksikan nilai kesetaraan dan berkeadilan sehingga menetes menjadi praktik baik seutuhnya. Hal ini penting untuk bersama-sama mengupayakan keadilan sosial demi kemajuan bangsa. (LITBANG KOMPAS)