Naiknya angka kemiskinan di tengah kepuasan publik menjadi tantangan bagi pemerintah. Bagaimanapun, kemiskinan menjadi isu yang tidak pernah lepas dari kinerja pemerintah di bidang kesejahteraan sosial.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·5 menit baca
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo menyerahkan bantuan sosial di Pasar Sukamandi, Kabupaten Subang, Selasa (12/7/2022).
Sebagaimana diamanatkan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 alinea keempat yang antara lain menyatakan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pemerintah dengan segala daya upaya berusaha memenuhi hak-hak dasar warganya agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Untuk itu, pemerintah mengupayakan agar masyarakatnya tidak miskin, tidak menderita kelaparan, menikmati pendidikan, dan merasakan fasilitas kesehatan yang baik supaya sejahtera dan bisa menikmati kemakmuran dengan utuh.
Hal tersebut selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang merupakan komitmen global dan nasional dalam upaya untuk menyejahterakan masyarakat, di mana 5 dari 17 tujuannya merupakan pilar sosial, yaitu (1) tanpa kemiskinan, (2) tanpa kelaparan, (3) kehidupan sehat dan sejahtera, (4) pendidikan berkualitas, dan (5) kesetaraan jender.
Pemerintah mengupayakan agar masyarakatnya tidak miskin, tidak menderita kelaparan, menikmati pendidikan, dan merasakan fasilitas kesehatan yang baik supaya sejahtera dan bisa menikmati kemakmuran dengan utuh.
Gejolak ekonomi global yang berimbas pada perekonomian nasional ditambah dengan munculnya wabah pandemi Covid-19 pada awal 2020 membuat beban pemerintahan Presiden Joko Widodo semakin berat dalam memenuhi indikator-indikator kesejahteran tersebut. Hal ini tentu saja berpengaruh pada dinamika kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah di bidang kesejahteraan sosial.
Naik turunnya kepuasan publik atas kinerja pemerintah tersebut tergambar pada hasil Survei Nasional Kompas. Meskipun demikian, kerja keras pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya ini masih mendapat apresiasi positif di angka rata-rata 70 persen selama periode kedua pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Masih di atas kepuasan terhadap kinerja bidang penegakan hukum dan ekonomi, tetapi di bawah kepuasan kinerja bidang politik dan keamanan.
Survei Nasional Kompas terbaru pada Januari 2023 memotret terjadinya perubahan positif atas kinerja bidang kesejahteraan sosial ini dibandingkan dua survei sebelumnya, yaitu survei Juni 2022 dan Oktober 2022.
Derajat kepuasan publik meningkat 3,3 persen sehingga di awal tahun keempat pemerintahan Jokowi-Amin sebanyak 77,3 persen dari 1.202 responden yang tersebar di 38 provinsi menyatakan puas atas kinerja pemerintah di bidang ini. Bahkan terjadi peningkatan yang signifikan sebesar 8 persen pada indikator mengatasi kemiskinan, tertinggi dibandingkan empat indikator lainnya.
Jika ditelisik lebih dalam dari profil responden, kepuasan antara responden laki-laki dan perempuan cenderung berimbang dengan perbandingan 79,4 persen dan 75,3 persen.
Demikian pula jika dilihat dari kategori usia atau generasi, mulai dari generasi Z (17-26 tahun) hingga generasi baby boomers (56-74 tahun) yang menjadi responden, mayoritas (72,1-85,4 persen) menyatakan kepuasan mereka. Namun, jika dilihat berdasarkan latar belakang pendidikan, terlihat semakin tinggi pendidikan responden semakin rendah apresiasi yang diberikan.
Gerak cepat pemerintah dalam memberikan bantalan sosial sebagai mitigasi adanya kenaikan harga bahan bakar minyak dan gejolak sejumlah harga kebutuhan pokok pada September 2022 sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sehingga memengaruhi dan mendongkrak kembali kepuasan bidang kesejahteraan sosial.
Hal ini tampak dari kepuasan tinggi yang diakui oleh hampir 80 persen masyarakat dari kelompok ekonomi bawah dan 77,5 persen oleh kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Apresiasi tinggi juga diberikan oleh kelompok nonpekerja dan wirausaha/wiraswasta (masing-masing 78 persen) yang turut merasakan tetesan bantalan sosial, termasuk 74,3 persen pekerja, karena pemerintah juga memberikan bantuan subsidi gaji/upah untuk 14,6 juta pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta.
Program bantalan sosial sebagai bagian dari perlindungan sosial bagi masyarakat rentan dan upaya mengatasi kemiskinan tersebut dirasakan merata di seluruh Tanah Air sehingga penilaian kepuasan yang tinggi juga merata dinyatakan oleh masyarakat, bahkan kepuasan masyarakat di luar Pulau Jawa (78 persen) lebih tinggi dibandingkan masyarakat di Pulau Jawa (76,7 persen).
Menariknya, peningkatan kepuasan atas kinerja pemerintah bidang kesejahteraan sosial ini diakui tidak hanya oleh pendukung Jokowi tetapi juga pendukung Prabowo.
Jika dibandingkan survei Oktober 2022, kepuasan pendukung Jokowi atas program-program mengatasi kemiskinan, menigkatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, memberikan bantuan sosial, dan meningkatkan budaya gotong royong ini meningkat signifikan 6 persen, sementara pendukung Prabowo meningkat 4 persen.
Kepuasan yang rata-rata di atas 60 persen dan merata dirasakan oleh responden dengan berbagai karakteristik tersebut menjadi modal sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk bisa mewujudkan kesejahteraan sosial yang lebih baik bagi masyarakat. Apalagi tahun 2023 kondisi perekonomian masih dihadapkan pada persoalan potensi terjadinya resesi global.
Hal ini mengingat data angka kemiskinan September 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik masih mengalami peningkatan meski tipis (0,03 persen) dibandingkan Maret 2022, yaitu sebesar 0,20 juta orang sehingga jumlah penduduk miskin menjadi 26,36 juta orang. Dari sisi jumlah, sebagian besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa (13,94 juta orang) dan terendah berada di Pulau Kalimantan (0,99 juta orang).
Di samping itu, persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.
Indeks kedalaman kemiskinan adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pemulung menggunakan pelampung mencari barang yang tercecer di Sungai Ciliwung di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (7/2/2023). Badan Pusat Statistik Jakarta mencatat posisi kemiskinan ekstrem di Jakarta per Maret 2022 mencapai 0,89 persen atau sejumlah 95.668 jiwa. Kenaikan harga bahan bakar minyak mendongkrak harga pangan dan nonpangan penyumbang garis kemiskinan.
Pada periode Maret 2022–September 2022, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan mengalami penurunan. Indeks Kedalaman Kemiskinan pada September 2022 sebesar 1,562, turun dibandingkan Maret 2022 yang sebesar 1,586. Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan pada September 2022 sebesar 0,379, turun dibandingkan Maret 2022 yang sebesar 0,395.
Meski demikian, fenomena kemiskinan di Indonesia masih menjadi hal serius yang harus ditangani mengingat angka kemiskinan di 16 provinsi (47 persen) masih di bawah angka kemiskinan nasional. Tantangan lainnya yaitu angka kemiskinan di perdesaan, karena persentase angka kemiskinan di perdesaan masih lebih tinggi dibanding perkotaan di semua pulau.
Melanjutkan pemberian bantuan perlindungan sosial dengan terus meningkatkan pelayanan kesehatan dan kualitas pendidikan menjadi benteng untuk menjaga supaya tren angka kemiskinan kembali menurun dan bisa mencapai kondisi sebelum pandemi di titik terendah 9,22 persen pada September 2021.
Pada akhirnya, bisa mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan menjaga peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan demi generasi selanjutnya. (LITBANG KOMPAS)