Menegakkan Pelindungan bagi Anak Narapidana Terorisme
Pemerintah telah memiliki landasan hukum dalam upaya melindungi anak korban jaringan terorisme. Hanya saja, implementasi dari setumpuk aturan ini belum terlihat sepenuhnya di lapangan.
Oleh
YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS
·3 menit baca
JOHANES GALUH BIMANTARA
Polisi memeriksa dan menggeledah tempat tinggal terduga teroris di Jalan Raya Cikarang-Cibarusah, Desa Sukasari, Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, Senin (29/3/2021).,
Aksi teroris di Indonesia telah terjadi berulang dalam beberapa dekade terakhir. Berbagai kelompok ekstrem dan radikal juga bermunculan. Akibatnya, banyak anggota keluarga yang ikut terpengaruh oleh paham radikal, termasuk anak-anak. Tak heran, jika dalam beberapa aksi teroris, anak-anak ikut menjadi korban karena ”dilibatkan”.
Risiko tindak terorisme di Indonesia terbilang cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan Global Terrorism Index 2022, posisi Indonesia berada di urutan ke-24 dari 163 negara dengan tingkat kerusakan dan korban yang banyak. Laporan itu menyebutkan, meskipun rata-rata kejadian terorisme menurun hingga 24 persen pada tahun 2021, nyatanya angka kematian naik hingga 85 persen.
Tingginya risiko itu dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu korban terdampak langsung dan tidak langsung. Konteks korban tidak langsung salah satunya adalah anak-anak dari narapidana terorisme yang akan mengalami berbagai bentuk perundungan dan diskriminasi pascaaksi orangtuanya.
Mereka berpotensi besar mengalami diskriminasi dan mendapat stigma dari publik. Bentuk diskriminasinya beragam, seperti putus sekolah, dikucilkan, gangguan psikis dan mental, hingga diasingkan dari semua bentuk kegiatan.
ABDULLAH FIKRI ASHRI
Suasana penggeledahan tempat tinggal tersangka teroris berinisial S di Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (20/11/2019). Dalam tiga hari terakhir, Tim Densus 88 Antiteror Polri menangkap 7 tersangka teroris di Cirebon.
Akibatnya, anak-anak dari teroris menjadi lebih rentan terpapar radikalisme ekstrem atau melanjutkan aksi orangtuanya sebagai teroris. Hal ini tentu saja membahayakan. Terlebih, catatan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada sekitar 1.500 narapidana terorisme di tahun 2017-2021 yang setidaknya memiliki sekitar 4.500 anak. Diasumsikan tiap narapidana terorisme memiliki 3-4 anak.
Hak anak
Maka, menjadi penting bagi anak-anak yang terjebak dalam pusaran aksi terorisme dan radikalisme untuk bisa memperoleh penanganan yang tepat.
Pemerintah telah memiliki landasan hukum dalam upaya melindungi anak korban jaringan terorisme, yang tertuang dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pelindungan dimaksud berupa edukasi pendidikan formal, ideologi dan nilai nasionalisme, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial. Upaya pelindungan ini diperkuat melalui Peraturan Pemerintah No 78/2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak. Pelindungan khusus meliputi hak pengasuhan dan pemulihan kesehatan psikis, rehabilitasi medis, reedukasi dan reintegrasi sosial, serta jaminan kesehatan fisik dan mental.
Hanya saja, implementasi dari setumpuk aturan ini belum terlihat sepenuhnya di lapangan. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa nasib anak dari pelaku terorisme terabaikan.
Ilustrasi
Pemerintah dan berbagai pihak terkait pun didorong untuk memperkuat upaya deradikalisasi yang menimpa anak-anak. Pendekatan-pendekatan yang digunakan harus bersifat personal dan spesifik, sesuai tingkat trauma dan dalamnya doktrin yang diterima. Sebuah penelitian di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Medan, menemukan sedikitnya empat langkah untuk memutus rantai radikalisme bagi anak-anak.
Pondok pesantren yang didirikan eks narapidana terorisme, Khairul Ghazali, ini mempraktikkan konsep pendidikan berbasis kegiatan ekstrakurikuler. Anak-anak diajak untuk aktif melakukan kegiatan di lapangan, seperti menanam pohon dan membuat kerajinan. Mereka juga diajari cara-cara bertahan hidup, seperti bercocok tanam, budidaya perikanan, hingga beternak ayam dan kambing. Semua hal itu bertujuan agar anak-anak memiliki kemampuan bersosialisasi dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya selepas masa pendidikan di pondok pesantren.
Selain itu, anak-anak rutin menerima materi tentang nilai-nilai moral dan sosial. Desain pendidikan yang diterapkan adalah interaktif antara guru dan siswa. Pendalaman nilai-nilai keagamaan juga rutin digelar.
Pendidikan di pesantren pun memperhatikan stabilitas psikis dan mental anak-anak. Artinya, sepanjang proses pendidikan yang ditempuh, anak-anak dipulihkan dari traumanya. Fase pemulihan trauma jadi bagian terpenting dalam upaya memutus rantai radikalisme yang ada dalam pikiran mereka.
KOMPAS/AGNES SWETTA PANDIA
Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin saat penyerahan tujuh anak teroris kepada Kementerian Sosial disaksikan Wali Kota Surabaya Tri Rismarinidi Mapolda Jatim, Selasa (12/6/2018).
Peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (UGM), Erin Gayatri, menilai penguatan implementasi upaya deradikalisasi oleh pemerintah sangat penting. Prosedur operasional standar penanganan anak teroris perlu dibentuk dengan melibatkan berbagai unsur lembaga terkait, mulai di pusat hingga daerah.
Pemerintah sudah selayaknya serius. Pasalnya, anak-anak pada dasarnya hanyalah korban dari setiap kegiatan radikalisme dan terorisme oleh orangtua ataupun keluarga terdekatnya.