Kemajuan teknologi terkini berhasil membuat chatbot kecerdasan buatan (AI) LaMDA dan ChatGPT. Lantas, apakah AI dapat menggantikan peran para pewarta berita?
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·4 menit baca
AFP/LIONEL BONAVENTURE
Foto yang diambil pada Januari 2023 di Toulouse, Perancis, ini memperlihatkan tampilan logo ChatGPT buatan Open AI. Kemampuan kecerdasan buatan ChatGPT ini bisa menjawab pertanyaan yang diajukan layaknya sebuah percakapan manusia.
Akankah kecerdasan buatan (AI) dapat menggantikan para jurnalis? Pertanyaan ini mencuat setelah kemunculan chatbot AI LaMDA dan ChatGPT. Dengan menuliskan semacam kalimat tanya atau perintah, pengguna disajikan hasil teks buatan perangkat lunak yang dapat disalin dan diubah seturut kebutuhan.
Dalam konteks kerja jurnalistik, penggunaan AI sudah mulai diuji coba dalam pembuatan konten berita. CNET, perusahaan pers asal Amerika Serikat, pada awal November 2022 melakukan uji coba dengan merilis artikel finansial yang dituliskan AI. Di dalamnya, CNET juga memuat penafian berikut, ”Artikel ini dibuat oleh mesin AI, cek fakta dan editorial dilakukan editor berita.”
Setelah dua bulan melakukan uji coba, CNET menghentikan campur tangan AI dalam pembuatan artikel. Pasalnya, redaksi CNET merasa masih banyak temuan kekurangan dari penggunaan AI. ”Kami mengidentifikasikan banyaknya narasi berita yang membutuhkan koreksi substansial,” ungkap Pemimpin Redaksi CNET Connie Guglielmo pada 25 Januari 2023 di laman CNET.
Perusahaan pers Yle asal Rusia menggunakan teknologi bernama Voitto yang didapuk sebagai robot jurnalis dan asisten berita cerdas (smart news assistant). Disebutkan bahwa Voitto telah menghasilkan 100 artikel dan 250 visualisasi dalam satu pekan. Teknologi ini ditanamkan dalam aplikasi berita berbayar Yle yang dapat diunduh dan diakses berdasarkan preferensi konten tiap audiens.
”Tampilan Voitto, nada suara, dan algoritma yang mendukungnya, semuanya dipandu nilai dan misi jurnalistik Yle,” kata Kepala AI dan Personalisasi di Yle News Lab, Jarno Koponen.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan dibuat oleh perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, saat melakukan wawancara khusus dengan media pada CSIS Global DIalogue 2019 di Jakarta (16/9/2019).
Tiga tahun sebelumnya, kantor berita asal China, Xinhua, telah menguji coba menggunakan AI sebagai pembaca berita di kanal televisinya. Hingga kini, Xinhua masih mengembangkan dan menggunakan AI sebagai pengganti pewarta berita. Langkah ini juga diikuti oleh negara lainnya, seperti Korea Selatan yang mulai pada Desember 2020 lalu atau Rusia yang baru saja mulai tahun ini.
Lantas, apakah AI dapat menggantikan para pewarta berita? Dalam kerja teknis jurnalistik semacam ini, AI terbukti telah dapat menggantikan peran manusia.
Akan tetapi, pemanfaatan teknologi rekayasa model tiga dimensi ini juga mendatangkan ancaman bagi masyarakat. Dengan teknologi AI ini, terbuka celah bagi pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan berita palsu dengan tampilan seakan-akan memuat pernyataan asli seorang tokoh (deepfake). Di berbagai negara penggunaan deepfake terbuktipaling rentan jika diterapkan pada isu-isu politik, terutama saat kampanye yang dapat memecah belah masyarakat.
AP PHOTO/NG HAN GUAN, FILE
Dalam foto bertanggal 26 April 2018, sebuah robot yang bisa membantu resepsionis dipamerkan di sebuah stan pabrik otomotif China dalam pameran otomotif China 2018 di Beijing, China.
Peluang AI
Dalam laporan survei “Journalism AI” (2019) oleh para peneliti London School of Economics and Political Science, dituliskan bahwa robot ataupun mesin AI tidak akan dapat menggantikan para jurnalis di lapangan. Survei yang dilakukan di 72 lembaga pers internasional itu menyebutkan penggunaan AI dalam jurnalisme digunakan sebatas membantu kerja jurnalis lebih efisien, membantu menyampaikan konten yang relevan ke audiens, dan mengembangkan sektor bisnis media massa.
Laporan tersebut turut menyebutkan bahwa pemanfaatan AI yang masif di dapur redaksi dapat menggantikan sejumlah bagian pekerjaan, seperti membuat berita cepat serta pengumpulan data atau arsip berita. Namun, biaya yang dikeluarkan sebagai inovasi ini akan sangat besar mengingat teknologi AI saat ini masih butuh banyak pengembangan.
Pemanfaatan AI dalam memproduksi konten berita perlu ditempatkan sebagai pembantu para jurnalis agar dapat mengedepankan liputan yang komprehensif bagi publik. “Ini (penggunaan AI) membebaskan jurnalis kami dari tugas rutin dan memungkinkan kami membuat lebih banyak konten yang melayani pemirsa baru dengan lebih efisien,” ucap Direktur Kemitraan Berita dan Pemimpin Berita AI Associated Press Lisa Gibbs. Saat ini, teknologi AI di ruang redaksi Associated Press secara otomatis menghasilkan sekitar 40.000 berita per tahun.
Sebenarnya penggunaan AI dalam laman berita daring sudah dapat diterapkan dalam bentuk sederhana. Misalnya, AI dapat digunakan untuk melakukan penyaringan di kolom komentar pembaca agar mereduksi pernyataan yang bermuatan kekerasan dan SARA. Selain itu, di banyak laman media massa internasional, AI telah digunakan untuk memancing diskusi yang konstruktif bagi para pembaca yang berkunjung ke laman berita mereka.
Pengajar jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara Ignatius Haryanto mengatakan, adanya teknologi AI adalah suatu tantangan serta peluang bagi perusahaan pers Indonesia ke depannya. “Di Indonesia, belum ada chatbot seperti ChatGPT yang khusus membahas isu seputar Indonesia, misalnya terkait sejarah Indonesia. Apakah bisa dengan AI, media massa menyediakan informasi yang cepat dan akurat sesuai kebutuhan pengguna?” pungkasnya.
Inilah tantangan dan peluang bagi dunia jurnalistik di Indonesia ke depannya. Persaingan bisnis antarperusahaan pers, baik cetak maupun digital, selalu menuntut inovasi. Penggunaan AI bisa jadi salah satu jalan yang patut dicoba. Di samping itu, para pekerja media tetap harus tetap patuh pada etika dan aturan jurnalistik sekalipun cara serta teknologi terus berkembang.(LITBANG KOMPAS)