Jajak Pendapat "Kompas": Publik Ingin Dilibatkan dalam Penjaringan Capres
Hasil jajak pendapat ”Kompas”, Januari lalu, menunjukkan mayoritas publik menginginkan agar parpol melibatkan publik dalam proses penjaringan capres. Mayoritas publik juga setuju jika parpol menggelar konvensi capres.
Oleh
YOHAN WAHYU/Litbang KOMPAS
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Delapan bulan sebelum pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dibuka, upaya partai politik menjaring bakal calon presiden sudah makin meramaikan panggung politik nasional. Publik berharap proses penjaringan ini tidak elitis, dan membuka ruang bagi partisipasi masyarakat.
Harapan ini mengemuka dari hasil jajak pendapat Kompas, akhir Januari 2023. Mayoritas responden (94,7 persen) menginginkan agar upaya partai politik (parpol) menjajaki dan menjaring sosok calon presiden (capres) tetap tidak melupakan partisipasi dari publik.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sejauh ini, secara regulasi memang hanya parpol atau gabungan parpol yang berhak mengajukan pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres). Namun, jika merujuk Pasal 223 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, partisipasi publik semestinya tetap mendapatkan tempat dalam proses partai menentukan bakal calon presidennya.
Di pasal itu menyebutkan, penentuan capres dan/atau cawapres dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal parpol bersangkutan. Kalimat demokratis dan terbuka ini tidak terlepas dari makna berupa pelibatan partisipasi publik dalam penentuan capres dan cawapres yang diajukan parpol.
Memang UU Pemilu tidak menyebutkan mekanisme teknis pelibatan publik dalam penentuan pasangan capres dan cawapres, tetapi parpol sejatinya memiliki fungsi membangun partisipasi untuk melibatkan warga dalam setiap agenda dan kegiatan politik.
Ilmuwan politik Miriam Budiarjo menyebutkan, dengan masyarakat ikut ambil bagian dalam partisipasi politik, diyakini akan memiliki sebuah efek atau political efficacy, yang dimaknai munculnya perasaan berperan individu dalam bidang politik. Pada negara-negara yang demokratis, tingginya partisipasi politik masyarakat menjadi pertanda baik karena masyarakat ikut dan memahami masalah politik.
Dalam konteks inilah, harapan publik yang terbaca dalam jajak pendapat kali ini semestinya ditangkap parpol sebagai kerinduan publik untuk terlibat dalam penentuan bakal capres. Jika mengacu pendekatan ini, boleh jadi parpol memang tidak bisa mengabaikan keinginan publik. Setidaknya hasil sejumlah survei terkait elektabilitas tokoh dalam bursa pemilihan presiden, mau tidak mau, menjadi salah satu pertimbangan partai dalam menentukan capres yang diusung. Survei menjadi cerminan sekaligus mewakili suara publik.
Seleksi terbuka
Dalam Pasal 223 Ayat (1) UU Pemilu juga menyebutkan soal mekanisme internal partai dalam pengajuan capres-cawapres. Artinya, bagian mekanisme itu memang menjadi hak partai. Tindak lanjutnya, ada yang menyerahkan kewenangan penentuan capres kepada ketua umum sebagai amanah kongres, seperti halnya yang terjadi di PDI-P. Ada juga penetapan capres yang diserahkan kepada majelis tinggi atau lembaga di partai yang memang diberi kewenangan untuk itu.
Bendera partai politik dipasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Sementara harapan publik mekanisme penjaringan bakal capres diharapkan terbuka. Salah satunya melalui proses seleksi terbuka atau bisa disebut sebagai konvensi capres. Mayoritas responden setuju dengan konvensi ini, bahkan sebagian besar dari kelompok yang setuju ini mengharapkan konvensi capres ini terbuka diikuti oleh siapa saja, baik itu kader parpol yang bersangkutan maupun bukan kader dari partai mana pun.
Adapun sebagian kecil yang lain lebih memilih seleksi terbuka ini hanya diikuti khusus oleh sosok yang selama ini menjadi kader parpol. Baik itu kader dari internal partai penyelenggara konvensi maupun kader dari luar parpol tersebut. Sisanya, tak lebih dari 10 persen lebih berharap konvensi fokus kepada internal kader partai penyelenggara seleksi terbuka.
Dalam sejarah politik Indonesia pasca-reformasi, mekanisme seleksi terbuka atau konvensi capres ini pernah dilakukan Partai Golkar menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004. Saat itu, konvensi hanya bisa diikuti kader Golkar.
Pemilik suara dalam konvensi saat itu juga internal partai, yakni pengurus pusat, pengurus daerah, dan ormas di bawah naungan Golkar. Peraih suara terbanyak dalam konvensi otomatis menjadi capres Golkar. Tak dimungkiri, langkah Golkar menggelar konvensi ini menarik perhatian publik, termasuk parpol lainnya. Bukan tidak mungkin, konvensi saat itu juga menjadi salah satu faktor kemenangan Golkar di pemilihan anggota legislatif 2004.
Petugas KPU menyiapkan peralatan untuk acara Validasi dan Persetujuan Surat Suara Anggota DPR, Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu 2019, di kantor Pusat KPU, Jakarta, Jumat (4/1/2019).
Sementara konvensi lainnya digelar Partai Demokrat menjelang Pilpres 2014. Namun, berbeda dengan Golkar, Demokrat membuka konvensi untuk kader dan non-kader. Salah satu yang dijadikan ukuran penilaian adalah hasil survei ke masyarakat. Hasil survei ini dilaporkan Komite Konvensi kepada Majelis Tinggi Partai Demokrat untuk kemudian diputuskan capres yang diusung.
Tentu, jika dikembalikan pada realitas politik saat ini, hampir semua partai masih memilih mekanisme yang tertutup.
Pertemuan-pertemuan sejumlah elite parpol intens digelar hingga menghasilkan sejumlah poros, seperti Koalisi Indonesia Bersatu yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. Kemudian ada poros koalisi Demokrat, PKS, dan Nasdem. Poros koalisi yang lain digagas Partai Gerindra dan PKB.
Sementara PDI-P yang sudah memiliki tiket pencalonan capres tanpa harus berkoalisi sampai saat ini belum terlihat membangun kerja sama dengan parpol lain, meski dalam sejumlah kesempatan elite partai itu membuka kerja sama dengan parpol lain karena membangun bangsa tak mungkin sendirian. Sinyal lainnya soal capres dilontarkan saat peringatan Hari Ulang Tahun Ke-50 PDI-P beberapa waktu lalu bahwa capres yang diusung PDI-P dari kader partai.
Presiden Joko Widodo (depan dua dari kanan) didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin (depan dua dari kiri) menerima nasi tumpeng dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (tengah) dalam puncak acara HUT ke-50 PDI Perjuangan, di Jakarta, Selasa (10/1/2023).
Kader partai
Terkait kader partai ini juga mendapatkan perhatian positif dari publik. Separuh lebih responden menyebutkan, sumber stok kepemimpinan itu semestinya memang berasal dari kader parpol. Sebagai institusi dan pilar demokrasi, sumber- sumber daya yang nantinya mengisi lembaga eksekutif dan legislatif, mayoritas memang berasal dari parpol.
Dari separuh lebih responden yang setuju sumber kepemimpinan, termasuk capres harus dari kader partai, sepertiga di antaranya lebih memilih kader dari internal partainya yang diajukan sebagai capres. Adapun sebagian yang lain lebih terbuka, termasuk mengajukan kader partai dari parpol yang berbeda.
Meskipun demikian, dari separuh lebih yang memilih kader partai, sepertiga dari total responden justru melihat sosok-sosok yang selama ini belum pernah menjadi kader partai dinilai memiliki kesempatan yang sama untuk mengisi kebutuhan kepemimpinan ke depan. Pada akhirnya, semua akan berpulang pada kompetensi dan integritas sang tokoh. Tentu, kesempatan itu juga bertumpu pada sejauh mana parpol akan terbuka dalam proses penjaringan calon presidennya.