Desa Wisata, Perekonomian Diusung Keberagaman Dijunjung
Keberadaan desa wisata mulai menemukan pasar yang potensial. Pengalaman berlibur secara otentik dalam suasana perdesaan makin menjadi tren. Keberagaman dan keunikan desa pun dijunjung seiring perbaikan ekonomi desa.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F08%2F17%2Facba536f-e716-4e2e-aed6-62aa7b081cdd_jpg.jpg)
Jalan kampung menuju jembatan gantung Sasak Mare di Desa Kertarahayu, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (17/8/2020). Wisata desa terus bermunculan seiring keberadaan media sosial yang mempromosikan berbagai tempat dengan keindahannya.
Cita-cita pemerintah, melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah dan Transmigrasi, dalam mengembangkan program desa wisata ialah demi mempercepat pembangunan desa. Percepatan pembangunan ini diarahkan pada berbagai segi, mulai dari potensi ekonomi hingga pemberdayaan masyarakat desa.
Desa wisata merupakan wilayah adminstratif desa yang memiliki potensi dan keunikan daya tarik wisata yang khas yaitu merasakan pengalaman keunikan kehidupan dan tradisi masyarakat di perdesaan dengan segala potensinya. Melihat definisi tersebut desa wisata harus memiliki potensi daya tarik wisata baik itu wisata alam, budaya, maupun buatan atau karya kreatif.
Namun di luar potensi wisata, ada sejumlah kriteria lain yang disematkan pada desa wisata seperti memiliki komunitas masyarakat, memiliki sumber daya manusia yang dapat mengembangkan desa wisata, memiliki kelembagaan pengelolaan, serta memiliki dukungan ketersediaan fasilitas dasar untuk mendukung kegiatan wisata. Program pengembangan desa wisata ini harus memerhatikan aspek keaslian, keterlibatan masyarakat, menjaga norma yang dianut masyarakat, serta memerhatikan nilai konservasi lingkungan.
Program pengembangan desa melalui desa wisata ini dapat pula dilihat sebagai usaha untuk melengkapi fokus pembangunan negara. Di tengah industrialisasi yang masif, ada potensi pembangunan yang mengedepankan kemajuan kota. Di sisi lain, desa bisa menjadi makin tersingkir dengan modernitas. Desa wisata menawarkan pemajuan desa tanpa harus mematok standar pada modernisasi ini.
Belum lagi salah satu keunggulan desa wisata adalah pelibatan partisipasi masyarakat setempat dalam pengelolaannya. Desa wisata dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang di dalamnya bisa terjadi kerja sama antara dua atau lebih desa maupun kelurahan. Potensi ini terus dielaborasi oleh Kemendesa PDTT melalui kegiatan-kegiatandan promosi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F06%2F23%2Fb08bae78-c815-4ee7-a332-9b969fd3b79f_jpg.jpg)
Penginapan yang menyatu dengan hunian penduduk di Desa Tosari, Pasuruan, Jawa Timur (16/6/2018). Maraknya wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menjadikan desa-desa yang mengelilinginya ramai oleh penginapan, warung dan persewaan kendaraan.
Persepsi publik
Dari sisi publik, kehadiran desa wisata juga semakin mendapat tempat. Jajak pendapat Litbang Kompas merekam, sebanyak 66,1 persen responden mengaku sudah pernah mendengar atau mengetahui adanya desa wisata. Persepsi publik tentang desa wisata pun memperlihatkan program ini sudah dipahami sesuai dengan semangat yang diusung oleh pemerintah dan lembaga terkait.
Ketika ditanya saat mendengar kata “desa wisata” sebanyak 54,8 persen responden mengaitkan desa wisata dengan wisata, liburan, piknik, rekreasi, dan jalan-jalan. Pada urutan berikutnya, dengan nada yang mirip, 13 persen responden menghubungkan desa wisata dengan bersenang-senang, gembira, dan self healing. Dua kategori respons publik yang dominan ini menunjukkan bahwa desa wisata sudah dipahami kaitannya dengan kata kunci rekreasi dan wisata.
Menariknya, persepsi publik tentang desa wisata juga dikaitkan dengan pemahaman geografis. Sekurangnya 10,3 persen responden mengaku lokasi yang jauh dari kota muncul dalam benak dan 9,6 persen yang lain mengaitkan desa wisata sebagai wisata dalam negeri (terjangkau).
Dari sini nampak bahwa publik memahami desa wisata dengan cirinya dan letaknya yang dikotomis dengan kota. Selain itu desa wisata diasumsikan sebagai cara ekonomis dalam memilih rekreasi.
Makin menarik lagi mencermati persepsi berikutnya yang muncul. Sekitar 8,5 persen responden memiliki persepsi tentang desa wisata dalam kaitannya dengan budaya, adat istiadat, dan cara hidup lokal. Ini menunjukkan bahwa desa wisata tak hanya dilihat secara fisik dan geografis saja. Desa wisata juga dilihat dari sisi esensialnya terkait budaya, adat istiadat dan cara hidup lokal yang tentunya berbeda dengan persepsi tentang modernitas.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F07%2F12%2F1448470f-a715-433a-9eca-5d7970ca353f_jpg.jpg)
Sesaji di sudut Desa Mangesta, Penebel, Tabanan, Bali, Rabu (2/2/2011).
Pemahaman awal publik soal desa wisata ini tentunya bersumber dari informasi yang diperoleh. Mencermati sisi ini, 26,7 persen responden mendapat paparan informasi dari media sosial. Dengan angka yang sama responden mengaku mendapat informasi tentang desa wisata dari lingkungan sekitar.
Dari dua sumber informasi yang paling banyak diakses ini nampak bahwa promosi dari obrolan di media sosial maupun dengan lingkungan sekitar sama-sama berpotensi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat soal desa wisata.
Akan tetapi, ada satu catatan yang bisa dilihat secara kritis. Dilihat dari latar belakang sosial ekonomi responden, porsi responden yang tahu tentang desa wisata masih didominasi kelompok kelas atas. Tak kurang dari 92,9 persen responden kelas atas mengetahui perihal desa wisata.

Suasana di Desa Wisata Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (30/9/2021). Desa ini masuk dalam jajaran 50 Desa Wisata Terbaik di tahun 2021.
Di urutan berikutnya, dengan selisih yang cukup signifikan, 69,3 persen responden kelas menengah bawah mengetahui desa wisata. Sementara itu, persentase responden kelas bawah yang mengetahui desa wisata sebanyak 64,6 persen. Kelompok responden kelas menengah atas menjadi yang paling kecil derajat pengetahuannya, hanya 58,2 persen saja yang tahu adanya desa wisata.
Angka ini menunjukkan adanya pekerjaan rumah yang mesti diperhatikan oleh pemerintah maupun pelaku desa wisata. Jika mengasumsikan kelas atas yang saling rela dalam mengeluarkan biaya untuk rekreasi, maka nampak keterpaparan kelas atas soal rekreasi lebih tinggi.
Dengan begitu, tantangannya adalah bagaimana mengemas informasi desa wisata dengan kampanye rekreasi yang ekonomis untuk ditawarkan kepada masyarakat dengan status sosial ekonomi menengah dan bawah.

Pengalaman
Apa yang terekam dalam tataran persepsi responden cenderung konsisten dalam tindakannya. Tak kurang dari 53,8 persen responden sudah pernah mengunjungi desa wisata. Sekitar 45,6 persen lainnya belum pernah. Hal ini tak hanya sekadar tahu saja responden juga sudah pernah mengunjungi desa wisata
Lebih menarik lagi 56,7 responden bersedia memasukkan desa wisata sebagai destinasi wisata dalam liburan terdekat. Sebanyak 34,1 masih berpikir untuk mempertimbangkannya, dan hanya 9,2 persen yang tidak bersedia. Sampai di titik ini makin terlihat besarnya potensi pasar yang dimiliki desa wisata.
Bagi responden yang pernah mengunjungi desa wisata, 23,8 persen mengaku kekhasan atau keunikan menjadi hal yang berkesan di desa wisata. Sementara 21,1 persen responden mengungkapkan kenyamanannya yang paling berkesan. Setelahnya berturut-turut kebersihan (18,8 persen), keramahan (15,1 persen), pengalaman baru (8 persen), kuliner (7 persen), serta pemandangan (4,2 persen) yang paling berkesan saat berkunjung ke desa wisata.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F07%2F14682fe8-2c43-46db-b28e-ce9a417a310f_jpg.jpg)
Sejumlah wisatawan menikmati suasana saat Gunung Rinjani tertutup kabut dari Bukit Pegasingan di Desa Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, NTB (4/9/2022). Lokasinya yang berada di kaki Gunung Rinjani, membuat Desa Sembalun yang sejak 2016 menjadi desa wisata,
Kesan yang diperoleh ini sejalan juga dengan apa yang diharapkan. Lingkungan alam yang indah menjadi harapan terbesar yang ingin diperoleh dengan persentase 36,3 persen. Keindahan alam diikuti kuliner yang enak (19,5 persen), keramahan masyarakat setempat (19 persen) dan budaya lokal yang menarik (17,3 persen)
Melihat kesan dan ekspektasi publik mengenai desa wisata nampak bahwa ciri khas desa wisata adalah perbedaannya dengan wilayah kota. Semakin terlihat pula bahwa keunikan desa wisata baik dari segi alam, kuliner, maupun budaya lokal yang menarik menjadi hal penting untuk diperhatikan.
Mengingat betapa kayanya alam Indonesia dan beragamnya budaya masyarakat di berbagai wilayah, menjadi jelas bahwa ekspektasi publik tentang desa wisata sangat mudah dibangun pemuasannya. Desa-desa di Indonesia yang punya potensi alam dan budaya yang kuat tidak perlu khawatir akan ketinggalan pembangunan yang modern. Malah otentisitas dan lokalitas menjadi potensi yang harus terus digali dan dikembangkan.

Pengunjung Pasar Kampoeng Osing menyaksikan pertunjukan kesenian musik gedogan di Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur (17/4/2021). Desa Kemiren merupakan salah satu Desa Wisata Berkelanjutan yang dipilih oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Pengelolaan
Dengan konsep pengembangan desa beserta masyarakatnya, sudah pada tempatnya jika pemerintah PDTT menyerahkan pengelolaannya kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Namun, dukungan pemerintah dalam promosi dan pelatihan kepada pengelola desa wisata tetap menjadi krusial. Tanpa pengelolaan yang profesional, desa wisata akan kesulitan untuk terorganisir untuk jangka panjang.
Sementara itu, peran Kemendesa PDTT untuk memfasilitasi pengembangan desa wisata melalui dana desa dan promosi digital melalui aplikasi Desa Wisata Nusantara harus diteruskan demi menghidupkan desa wisata. Sejalan dengan konsep yang dirancang pemerintah, publik setuju dengan rancangan pengelolaan ini.
Mayoritas responden, yakni 96,6 persen, menyatakan setuju jika desa wisata dikelola oleh BUMDes. Muncul perbedaan signifikan saat responden ditanya jika pengelola dana desa berasal dari luar desa.
Hanya 37,6 persen responden yang setuju desa wisata dikelola oleh perusahaan dari luar desa. Setali tiga uang, 34,1 persen saja responden yang setuju jika desa wisata dikelola oleh orang dari luar.
Pada akhirnya, baik pemerintah, potensi desa, maupun persepsi publik sudah satu frekuensi dalam memandang desa wisata. Tentu hal ini diharapkan akan makin mewujudkan percepatan kemajuan ekonomi desa. Tak hanya perkara ekonomi tetapi juga apresiasi dan keunikan alam dan budayanya yang harus diperjuangkan
Baca juga: Upaya Warga Pesisir Utara Batam Menjaga Mangrove Berbuah Penghargaan Desa Wisata
Desa wisata menuju pembuktian bahwa perkembangan kebudayaan dan peradaban tidak melulu menjadikan modernisasi sebagai patron pembangunan. Desa-desa, sebagai simbol kebudayaan asli masyarakat, berkembang tidak linier dalam satu model saja melainkan sesuai dengan konteks budayanya masing-masing.
Dengan begitu, keberagaman dapat dipahami dalam berbagai bentuk kebudayaannya. Dalam agenda modernisasi, keberagaman dan keunikan desa pun dapat dijunjung bersamaan dengan sisi perbaikan ekonomi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Penglipuran, Desa Wisata di Bali yang Tertata dan Bersih