Analisis Litbang ”Kompas”: Menjaga Keberlangsungan Suplai Pangan
Produksi pangan di setiap negara didorong untuk terus meningkat. Selain menciptakan kedaulatan pangan yang menyejahterakan petani, juga untuk memenuhi asupan gizi seluruh masyarakat.
Gejolak geopolitik dan krisis ekonomi global mengancam krisis pangan di dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mengajak seluruh negara di dunia untuk terus berupaya meningkatkan produksi pangan dan mutu asupan nutrisi bagi seluruh umat manusia.
Dunia sedang mengalami krisis pangan. FAO menyebutkan sekitar 193 juta orang di 53 negara mengalami kerawanan pangan pada 2021. Jumlah penduduk dunia yang dilanda krisis pangan tersebut naik 40 juta orang dibandingkan pada 2020. Wilayah-wilayah yang diklasifikasikan dalam fase darurat dari bencana kerawanan pangan ialah Etiopia, Madagaskar selatan, Sudan Selatan, dan Yaman.
Kondisi rawan pangan ini menurut FAO memerlukan tindakan taktis dan kolaboratif dari negara-negara di dunia untuk mencegah meluasnya kelaparan dan ancaman kematian. Momentum Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2022 kian meneguhkan bahwa kebutuhan pangan di seluruh dunia harus tercukupi secara adil dan merata.
Tema tersebut secara tidak langsung mengingatkan bahwa dunia yang terus berkembang ini harus turut memperhatikan kualitas lingkungan demi keberlangsungan pangan di masa depan. Dengan mengusung tema besar ”Leave No One Behind; Better Production, Better Nutrition, a Better Environment, and a Better Life”, FAO sadar bahwa menjaga keberlangsungan pangan itu membutuhkan serangkaian faktor pendukung yang sangat kompleks.
Di tengah semua negara berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonominya, ada kontribusi pembangunan yang justru berefek negatif bagi lingkungan. Peningkatan emisi karbon yang berlangsung sejak era industrialisasi demi tujuan kesejahteraan masyarakat kini menjadi bumerang yang mengancam keberlangsungan produksi pangan. Terjadinya efek pemanasan global yang mendorong terjadinya anomali iklim dan cuaca di hampir seluruh dunia sehingga membuat produksi pangan dalam bayang-bayang ketidakpastian.
Di sejumlah negara tiba-tiba mengalami penyusutan suplai air bersih, terjadi pergeseran musim hujan dan kemarau, sejumlah lahan pertanian mengalami kekeringan atau juga kebanjiran, serangan hama dan penyakit karena ada perubahan pola tanam akibat pergeseran cuaca, hingga terjadi kelaparan dan kekurangan asupan nutrisi akibat kegagalan panen.
Fenomena tersebut patut menjadi kekhawatiran bersama karena terjadi degradasi faktor alam yang dapat berimbas pada penurunan produksi pangan. Dapat dibayangkan apabila kondisi demikian terjadi secara global, akan terjadi kelangkaan pangan yang memicu gejolak perekonomian dan juga ancaman nasional.
Kelangkaan pangan akan membuat harga pangan kian melambung sehingga mendorong inflasi, memicu pemasalahan antarmasyarakat karena saling berebut bahan pangan, ketidakpuasan pada kebijakan pemerintah, hingga terjadi konflik antarnegara demi menguasai pangan. Untuk menghadapi degradasi lingkungan yang berlangsung secara global tersebut, perlu menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak dan koordinasi lintas negara guna mengatasi krisis iklim.
Baca juga: Jalan Panjang Mewujudkan Kemandirian Pangan
Negara-negara maju harus membantu negara-negara yang lebih miskin untuk meningkatkan kualitas pendidikan, perekonomian, dan juga lingkungan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan, maka kepedulian terhadap lingkungan akan kian baik. Negara-negara maju dituntut terus berinovasi mengembangkan teknologi mutakhir yang ramah lingkungan untuk didistribusikan ke seluruh dunia.
Negara-negara berkembang yang umumnya memiliki sumber daya alam dan hutan pun juga dituntut untuk mengedepankan prinsip kelestarian lingkungan dalam mendorong kemajuan ekonomi negaranya. Tentu saja, hal ini juga membutuhkan kolaborasi dan juga bantuan dari negara-negara maju baik dari segi pendanaan, ilmu pengetahuan, dan juga teknologi.
Selain itu, kolaborasi dunia juga diperlukan untuk membentuk badan atau organisasi bersifat global yang berupaya membangun visi dan misi untuk mengatasi persoalan lingkungan. Tujuannya ialah membangun visi yang sama terhadap target mitigasi reduksi emisi yang akan diraih dunia dalam beberapa tahun mendatang. Selanjutnya, diterjemahkan dalam misi-misi yang dilakukan setiap negara untuk membuat tahapan reduksi emisi karbon berdasarkan karakteristik kontributor gas rumah kaca di setiap negara.
Oleh sebab itu, sejak tahun 1989 terbentuk Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang menjadi langkah konkret negara-negara maju dalam menjaga stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca. Upaya ini salah satu tujuannya untuk mengantisipasi perubahan iklim agar ekosistem dunia tetap kondusif dalam meningkatkan produksi pangan. Dengan demikian, akan tercipta keamanan suplai pangan yang berguna mendorong pertumbuhan ekonomi dunia yang berkesinambungan.
Impor pangan
Produksi pangan di setiap negara harus didorong terus meningkat agar tercipta kedaulatan pangan yang dapat menyejahterakan petani sekaligus memenuhi asupan gizi seluruh masyarakat. Namun, tidak semua negara memiliki karakteristik lahan yang kondusif untuk optimalisasi produksi pertanian pangan. Selain itu, kebutuhan pangan manusia yang kian kompleks, tetapi tidak didukung oleh diversifikasi bahan pangan yang memadai membuat suatu negara memiliki ketergantungan yang tinggi dengan negara lainnya. Impor menjadi solusi guna memenuhi kuantitas pangan berikut asupan nutrisinya.
Data dari Chatham House, The Royal Institute of International Affairs tahun 2020 menunjukkan bahwa penguasa produk pertanian dunia berada di Benua Amerika. Pada tahun 2020, dari sekitar 1,6 miliar ton produk pertanian yang di ekspor ke seluruh negara di dunia, Benua Amerika menyumbang sekitar 563 juta ton atau hampir 49 persen.
Baca juga: Membangun Asa Ketahanan Pangan di Negeri Petani
Komposisinya terdiri dari ekspor negara Amerika Serikat sebesar 203 juta ton, Brasil 185 juta ton, Argentina 99 juta ton, dan Kanada 76,1 juta ton. Kondisi demikian mengunjukkan bahwa keempat negara ini memiliki tingkat kedaulatan pangan yang tinggi. Mereka bukan hanya mampu memenuhi permintaan domestik, melainkan juga mampu mengekspor untuk memenuhi konsumsi luar negeri.
Ada sejumlah komoditas pertanian produksi Benua Amerika yang sangat dibutuhkan pasar dunia, di antaranya gandum, kedelai, jagung berikut turunannya, gula, sorgum, kacang, produk kelapa sawit, dan beras. Komoditas ini sangat dibutuhkan oleh berbagai tingkatan ekonomi dunia, mulai dari negara miskin hingga negara-negara maju. Kondisi ini menunjukkan besarnya ketergantungan dunia terhadap Benua Amerika ini.
Dapat dibayangkan, apabila terjadi penurunan produksi pertanian pangan di benua tersebut, akan berimbas besar bagi dunia secara global. Terjadi lonjakan harga pangan di sejumlah negara pengimpor, terutama importir komoditas pangan terbesar di dunia, seperti China, Jepang, dan kawasan Eropa. Akibatnya, dapat terjadi resesi ekonomi di negara-negara ekonomi kuat tersebut yang turut berimbas pada negara-negara lain yang berada pada level ekonomi yang lebih rendah. Ujung-ujungnya, dapat memicu gejolak perekonomian secara global.
Tak terkecuali Indonesia, yang hingga saat ini juga memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap sejumlah komoditas tertentu. Kebetulan juga sebagian komoditas impor terbesar Indonesia juga berasal dari Benua Amerika, seperti tepung terigu, kedelai, jagung, dan gula. Pada tahun 2020, impor ketiga komoditas ini mencapai 24,6 juta ton senilai 7,7 miliar dollar AS.
Jumlah ini meningkat hampir satu setengah kali lipatnya dari tahun 2010. Kala itu, total impor ketiga komoditas tersebut baru sebesar 15,2 juta ton dengan nilai sekitar 5,47 miliar dollar AS. Peningkatan ini salah satunya dipicu oleh kian masifnya industri atau usaha pengolahan makanan di Indonesia. Selain itu, juga mengindikasikan kian variatifnya jenis asupan makanan yang di konsumsi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, kesejahteraan masyarakat Indonesia kian membaik sehingga membutuhkan berbagai alternatif makanan lainnya selain makanan pokok.
Indonesia
Ketergantungan yang tinggi terhadap sejumlah komoditas tersebut mengindikasikan kerentanan ketahanan pangan. Celah kekurangan ini dapat menjadi bumerang yang dapat menimbulkan gejolak ekonomi apabila tidak segera dikurangi permintaan impornya. Oleh sebab itu, pemerintah harus berupaya seoptimal mungkin untuk menciptakan kemandirian pangan, terutama komoditas yang jumlah impornya sangat besar.
Komoditas pertanian yang dapat dibudidayakan di Indonesia, seperti kedelai, jagung, dan gula, produksinya perlu untuk dimaksimalkan. Dengan luasan lahan pertanian nasional yang masih dapat terus ditingkatkan, sudah sewajarnya apabila pemerintah harus serius mendorong peningkatan produksi sejumlah komoditas itu. Untuk komoditas yang sudah memiliki produktivitas yang sangat tinggi, seperti kelapa sawit, perlu tetap dijaga keberlangsungan produksinya agar terus memperkuat neraca perdagangan internasional.
Baca juga: Diversifikasi Nonberas untuk Ketahanan Pangan
Terlebih, Indonesia saat ini menjadi eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan suplai ke pasar global hingga sekitar 34 juta ton setahun. Devisa yang diperoleh dari kelapa sawit pada 2020 mencapai kisaran 20,3 miliar dollar AS atau sekitar 57 persen dari total nilai ekspor komoditas pangan nasional. Jadi, bisa dikatakan bahwa kelapa sawit menjadi tulang punggung ekspor nonmigas dari kelompok bahan makanan.
Karakteristik komoditas pangan Indonesia tersebut perlu menjadi bahan evaluasi bersama demi memperkokoh kedaulatan pangan nasional. Komoditas yang memiliki tingkat ketergantungan impor yang tinggi, seperti terigu, kedelai, jagung, dan gula, perlu segera dicari solusinya agar kuantitas impor dapat terus diminimalkan. Komoditas seperti kedelai, jangung, dan gula masih sangat mungkin ditingkatkan produksinya dengan mengoptimalkan berbagai alternatif kebijakan dan juga dukungan dari berbagai pihak.
Untuk kelapa sawit, perlu carikan solusi pengembangan budidaya yang baik agar tidak berstigma negatif sebagai biang deforestasi lahan hutan yang berimplikasi sangat besar bagi emisi karbon. Harapannya, dengan evaluasi produksi dan pembenahan tata kelola ini akan tercipta produksi bahan pangan bermutu yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan asupan nutrisi nasional. (LITBANG KOMPAS)