Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Benarkah Manusia Gagal Menjaga Bumi?
Menjaga kelestarian Bumi belum menjadi kesadaran bersama. Aktivitas manusia kerap kali mengabaikan masa depan Bumi. Bagaimana solusinya?
Aktivitas manusia berkontribusi besar dalam penurunan daya dukung Bumi sebagai ekosistem makhluk hidup. Kenyamanan mulai terusik akibat gaya hidup yang belum pro-lingkungan. Benarkah manusia gagal menjaga Bumi?
Penjelajahan manusia untuk mencari ”Bumi” lain sangat menarik ketika dinarasikan dalam layar sinema. Upaya mengungkap misteri kehidupan lain di luar Bumi menjadi salah satu topik yang banyak diangkat dalam film.
Misteri sejauh mana manusia mampu bertahan hidup di planet lain diangkat ke dalam sebuah film, The Martian (2015). Sutradara Scott Ridley mengungkap gagasan bahwa manusia ternyata memiliki peluang untuk bertahan hidup di Mars.
Film lain tentang pencarian planet lain ialah Interstellar (2014) karya Christopher Nolan. Pencarian planet lain dalam film ini didasarkan pada kondisi Bumi yang sudah tak mampu lagi menjadi sumber penghidupan manusia.
Walau menjadi latar belakang film, imajinasi dan narasi kedua film ini bermuara pada keniscayaan yang bakal dihadapi manusia, yaitu bumi yang tak lagi memiliki daya dukung ideal bagi kehidupan.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 502 responden berusia 17-35 tahun dari seluruh penjuru Indonesia mencatatkan, tujuh dari 10 responden sepakat jika dikatakan manusia telah gagal menjaga Planet Bumi. Artinya, generasi muda sadar manusia belum cukup gigih untuk memperjuangkan keselamatan Bumi.
Baru-baru ini, tepatnya pada 14 Oktober 2022, dua aktivis lingkungan melempar sup tomat ke arah lukisan ”Sunflowers” karya Vincent van Gogh di Galeri Nasional London, Inggris.
Mereka meneriakkan ”apa yang lebih penting, seni atau hidup?” dan ”apa akan lebih kamu perhatikan, melindungi lukisan atau melindungi planet dan manusia?” sebagai protes pada upaya setengah hati melindungi Bumi. Aksi yang mendapatkan tanggapan beragam ini setidaknya memantik keresahan pada seberapa besar niat manusia pada upaya melindungi Bumi saat ini.
Manusia menjadi spesies yang mendominasi Bumi di antara jutaan spesies yang ada. Hampir semua masalah global yang saat ini dihadapi merupakan dampak dari aktivitas manusia.
Dengan laju pertumbuhan populasi yang eksponensial, Planet Bumi berada dalam keadaan darurat. Hal ini terjadi jika cara pandang yang dipakai masih untuk terus mengeruk dan memanen sari Bumi tanpa upaya merawat.
Tujuh dari 10 responden sepakat jika dikatakan manusia telah gagal menjaga Planet Bumi.
Aktivitas miliaran manusia di Bumi yang tidak bijaksana berujung pada terusiknya kenyamanan hidup. Jajak pendapat Litbang Kompas pada Agustus 2022 menemukan setidaknya sepertiga responden sudah tidak merasa nyaman pada berbagai aspek hidup yang dirasakan sehari-hari.
Setidaknya tiga dari 10 orang dari generasi muda tidak nyaman dengan kualitas udara di lingkungannya. Pengalaman ini banyak disampaikan oleh responden dari Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Respons tersebut senada dengan situasi nyata kualitas udara yang buruk di beberapa tempat. Pada 17 Oktober 2022 pukul 09.00 waktu setempat, tiga kota di Indonesia tercatat memiliki indeks kualitas udara dan polusi udara buruk, yakni Cileungsi, Jawa Barat (160); Kota Tangerang, Banten (134); dan Serang, Banten (112).
Sementara polusi di Jakarta masih tergolong rendah dari biasanya, yakni di skor 80. Merujuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), angka kualitas udara 0-50 berarti baik, 50-100 sedang, 100-200 tidak sehat, 200-300 sangat tidak sehat, dan 300-500 berbahaya.
Pada 2021, pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan konsentrasi rata-rata PM 2,5 di Indonesia 6,9 kali dari standar WHO. PM 2,5 adalah polutan udara yang berukuran sekitar 2,5 mikrometer yang sebanding dengan 3 persen dari diameter rambut manusia. Bentuk partikel ini seperti debu, kotoran, jelaga, dan asap. Artinya, kualitas udara di Indonesia perlu mendapatkan perhatian.
Kualitas udara dipengaruhi oleh sumber emisi yang berasal dari transportasi, residensial, industri, dan tidak terkecuali keadaan bencana, seperti kebakaran hutan. Fenomena ini pun diperparah dengan adanya stagnasi pergerakan udara.
Dalam tingkat yang sama dengan kualitas udara, generasi muda juga mulai merasa tidak nyaman dengan kebersihan lingkungan dari sampah. Kondisi ini dirasakan merata oleh setiap lapisan masyarakat di sejumlah tempat.
Gaya hidup bijaksana sampah perlu diterapkan, misalnya saja dengan mengadopsi perilaku nol sampah. Konsep nol sampah menekankan pada upaya untuk meminimalkan buangan sampah, mulai dari hulu saat produksi hingga hilir saat digunakan sehari-hari. Prinsip yang terus coba digalakkan adalah 5R, yakni reduce (mengurangi), reuse (menggunakan ulang), recycle (mendaur ulang), replace (mengganti) dan rot (membusukkan sampah).
Ketidaknyamanan yang langsung dirasakan harapannya mendorong manusia semakin sadar pada perilaku sehari-hari. Perilaku yang masih condong pada pemborosan energi, produksi jejak karbon yang berlebih, hingga produksi sampah yang tidak terolah menjadi penyebab awal dari bencana lingkungan.
Baca juga : Gaya Hidup Nol Sampah Kian Populer
Perubahan iklim
Perubahan iklim menjadi momok terbesar dalam isu lingkungan saat ini. Kenaikan suhu Bumi turut mengubah sistem iklim yang memengaruhi berbagai aspek penyokong kehidupan. Peningkatan suhu Bumi telah bertambah dua kali lipat dibandingkan satu abad lalu. Sejak 1880, temperatur Bumi meningkat 0,08 derajat celsius per dekade. Namun, sejak 1981, temperatur telah naik 0,18 derajat celsius per dekade.
Di Indonesia, BMKG mencatat secara umum tren suhu mengalami kenaikan 0,03 derajat celsius tiap tahun. Kenaikan suhu ini telah membuat setidaknya empat dari 10 responden tidak nyaman dengan kondisi iklim, cuaca, dan suhu udara saat ini. Generasi muda dari Banten dan DKI Jakarta terpantau paling banyak menyuarakan hal ini.
Perubahan iklim juga berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas air. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara sederhana menjelaskan kenaikan suhu mengakibatkan adanya klorin dalam air bersih.
Pemanasan global akan meningkatkan jumlah air pada atmosfer atau meningkatkan curah hujan yang memperbesar kemungkinan air langsung mengalir ke laut tanpa sempat tersimpan di sumber air bersih.
Persoalan kualitas air pun sudah dirasakan oleh 13,6 persen responden. Kelompok ini mengatakan tidak nyaman, bahkan sangat tidak nyaman, dengan kualitas air di daerahnya. Seruan ini tebal dirasakan oleh responden yang berasal dari Banten, DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Barat, dan Maluku Utara.
Di tengah rasa tidak nyaman, niatan untuk memperlambat laju perubahan iklim perlu diperkuat. Individu diyakini sebagai agen yang paling mampu mengubah situasi saat ini.
Separuh generasi muda meyakini kesadaran individu mampu memperlambat laju perubahan iklim. Sementara itu, 28,5 persen responden percaya pada gerakan yang berasal dari kelompok sosial atau masyarakat. Hanya 17 persen yang memiliki kepercayaan pada pemerintah.
Kini, niatan untuk menjaga Bumi perlu dibuktikkan pada level keseharian. Sayangnya, lebih dari separuh responden generasi muda terpotret belum mempraktikkan kebiasaan yang berdampak baik pada lingkungan.
Kebiasaan menghemat penggunaan produk plastik, menggunakan moda transportasi publik, dan bijaksana memilah baju belum menjadi gaya hidup yang meningkat popularitasnya.
Perhatian perlu dialamatkan untuk mengakselerasi penerapan gaya hidup nol sampah dan rendah emisi. Sebagai spesies paling inovatif, manusia tidak boleh gagal menyelamatkan Bumi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Sudah Saatnya Kita Memiliki UU Perubahan Iklim