Luhut Binsar Pandjaitan dan Misteri Hidup “Man of Action”
Luhut Binsar Pandjaitan satu dari sedikit aktor sosial di negeri ini yang mampu merajut tindakan dalam setiap struktur sosial yang kadang mengekangnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F28%2Ff7786a43-85f3-446d-bb11-c3a5eb61cd1c_jpg.jpg)
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membaca buku biografi Luhut Binsar Pandjaitan : LUHUT di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta (28/9/2022). Peluncuran buku LUHUT ini bertepatan dengan hari ulang tahun Luhut Binsar Pandjaitan ke-75.
Membaca biografi sebagai rekam jejak kehidupan seorang tokoh, tidak akan terlepas dari posisi dialektis perspektif ilmu-ilmu sosial yang berkembang selama ini. Bagi kalangan yang bersandar pada cara pandang fungsionalis, misalnya, memahami segenap tindakan subyek, agency, ataupun aktor sosial tidak lepas dari sistem nilai masyarakat berlaku.
Rekam pergulatan dan tindakan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang terasionalisasikan dalam buku biografi setebal 316 halaman ini dimaknai sebatas kapasitasnya dalam menjalankan peran dari fungsi-fungsi sosial yang mengikat.
Begitu pula dalam perspektif kaum strukturalis yang serba dualisme dalam memandang relasi agen dan struktur. Dalam hal ini, posisi eksistensial LBP sebagai human agency ternafikkan dan sepenuhnya dikendalikan struktur sosial yang melingkupinya.
Struktur-struktur sosial masyarakat yang dominan, baik struktur ekonomi, politik, hingga budaya, mendeterminasi jejak tindakan setiap orang. Dalam buku ini, bagaimana sisi-sisi keberhasilan LBP dalam kiprahnya di politik pemerintahan, ekonomi bisnis, sosial kemasyarakatan, hingga keluarga, misalnya, semata-mata justru dibaca sebagai bentuk “ketertundukkan” ataupun “kepatuhan” terhadap struktur yang mengekangnya.
Sebaliknya, cara pandang yang berpijak pada otonomi aktor sosial pun tidak kalah banyak merasuk penulisan biografi. Berkaca pada cara pandang ini, pada hakekatnya, LBP adalah sosok aktor sosial yang bebas berkehendak. Dengan segenap kapasitas dirinya, ia menjadi determinan. Ia tidak terkuasai struktur sosial di sekitarnya dan buah-buah capaiannya itu adalah konsekuensi dari kreasi kemerdekaan dirinya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F10%2F23%2Fc50d7c98-7277-4878-9ad8-6c05eb9a1610_jpg.jpg)
Luhut Binsar Pandjaitan, dan Prabowo Subianto bersiap untuk mengikuti upacara pelantikan menteri oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta (23/10/2019).
Akan tetapi, dalam perspektif lain, relasi aktor sosial terhadap struktur yang terbangun faktanya tidak selalu bersifat fungsionalistis, berpijak pada dualisme strukturalistis, ataupun kehendak bebas manusia. Bagaimanapun celah dualitas dalam setiap relasi kehidupan sosial dapat terjadi, yang memberikan ruang bersama bagi tindakan para aktor dan struktur secara timbal balik.
Ada suatu masa, misalnya, tatkala LBP tunduk dan bahkan terkesampingkan dari struktur politik dominan saat itu. Namun, sebagai aktor yang bertindak, LBP tidak sepenuhnya takluk. Dengan segenap kekuatan dan kelengkapan modal yang dibangunnya, ia mampu beradaptasi dan sekaligus mengendalikan struktur yang semula mengekang.
Menarik menggunakan perspektif relasi dualitas agen dan struktur dalam mengkaji biografi LBP. Sekalipun kesan sisi-sisi glorifikasi sosok tidak terhindarkan dalam buku ini, namun rekam jejak LBP di mata keluarga, sahabat, dan kolega yang digagas adik kandungnya, Dr Nurmala Kartini Pandjaitan-Sjahrir (Antropolog senior yang juga istri ekonom Almarhum Dr Sjahrir) dalam torehan penulis senior Noorca M Massardi, sangat layak menjadi kitab rujukan penting yang menguak pergulatan sosok langka di negeri ini dalam upaya merajut kehidupan di tengah berbagai struktur sosial yang melingkupinya.
Tidak berlebihan jika LBP dikatakan sosok langka di negeri ini. Tidak banyak tokoh yang punya pengalaman panjang dan bersentuhan langsung dengan semua kekuasaan presiden di negeri ini. Semenjak masa kanak-kanak hingga masa keseniorannya kini, sumber-sumber kekuasaan negeri lekat dengannya.
Belum juga berusia setahun, misalnya, dalam kapasitasnya sebagai bagian dari rakyat kebanyakan, LBP kecil sudah mendapatkan perhatian Presiden Soekarno yang kala itu tengah berkunjung ke Balige, Sumatera Utara, 15 Juni 1948. Bung Karno mengusap kepala LBP dan mengatakan, “Suatu hari anak ini akan jadi orang besar” (Hal 37).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F04%2F22%2Fa76ee8b5-2920-4a7d-865c-75aead1c8992_jpg.jpg)
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta (22/4/2019). Luhut ditunjuk Jokowi untuk bertemu calon presiden Prabowo Subianto pasca Pilpres 2019.
Jejak-jejak menjadi “orang besar” yang diucapkan Bung Karno seolah termateraikan dalam setiap karir yang dijalani. Dunia kemiliteran mengawali semua itu. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, karir militer LBP sebagai peraih Adhi Makayasa, lulusan terbaik Akabri Angkatan Darat 1970, bertunas, berkembang cepat, dan sekaligus tersendat.
Menurut nara sumber yang menjadi rujukan buku ini, seperti Letjen TNI (Purn) Sintong Pandjaitan atasan LBP dan Letjen TNI (Purn) Johny Lumintang, rekan seangkatan LBP (Hal 173-194), semua tidak lepas dari dinamika perubahan peta politik TNI-AD yang kala itu menampilkan dominasi sosok Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani (Benny Moerdani).
Menjadi pertanyaan, apa kaitannya Benny Moerdani dengan LBP dan kemudian disinggung pula kehadiran sosok Prabowo Subianto? Semua tersatukan dalam relasi mutual sekaligus konfliktual. Prabowo, misalnya, kala itu menjadi wakil LBP di Datasemen 81 Antiteror Kopassus, unit khusus bentukan Benny Moerdani setelah sukses Operasi Woyla.
Keduanya perwira muda berkualitas yang sangat disegani. Menurut Sintong Pandjaitan, yang saat itu sebagai Danjen Kopassus, sempat terjadi gesekan yang bermula dari penolakan Prabowo terhadap surat pemindahan tugasnya dari Kopassus ke Kostrad. LBP, sebagai atasan Prabowo, menjadi sosok yang memediasi keberatan Prabowo kepada Sintong Pandjaitan.
Sebagai komandan, Sintong Pandjaitan menganggapnya pembangkangan (Hal 182). Terdapat pula tuduhan rencana Prabowo melakukan coup terhadap para petinggi militer pada Maret 1983 (Hal 176), dan masih menurut Sintong Pandjaitan, LBP satu-satunya tentara yang paling disegani Prabowo (Hal 183). Sayangnya, dalam buku ini tidak terkonfirmasikan pandangan Prabowo terkait relasinya dengan LBP.

Bagi Johny Lumintang, dalam konteks yang lebih luas, pada masa itu gesekan dalam TNI-AD tidak lepas dari kemunculan “ABRI Hijau” yang diidentikkan kemunculan kekuatan Islam dan kubu “ABRI Merah Putih” berisi kaum Muslim nasionalis dan non-Muslim. Kehadiran kedua kubu tidak lepas pula dari kebijakan Presiden Soeharto yang sebelumnya tergolong keras menjadi melunak terhadap kelompok Islam.
Kehadiran kedua kubu, menurut Lumintang “Tidak tertulis, tapi kita rasakan” (Hal 186). Dalam setting politik semacam itu, LBP yang ditempatkan sebagai bagian dari Benny Moerdani (non Muslim), harus menepi sejalan dengan proses “de-Benny-sasi”. Karir militer LBP yang sebelumnya pesat, menjadi terhambat. Pangkat Letnan Kolonel yang disandangnya sejak 1983, misalnya, baru 7 tahun kemudian (1990) beralih menjadi Kolonel.
LBP dalam berbagai gesekan politik TNI AD yang terjadi sejak pertengahan era 1980-an itu, terkesan tidak berdaya. Di tengah perubahan struktur politik kemiliteran era Presiden Soeharto, sebagai aktor sosial LBP tersingkirkan. Namun menariknya, semenjak itu pula, posisinya sebagai aktor sosial yang bertindak, tidak redup dan tetap bertahan hingga berperan kembali dalam merajut struktur yang dijalani.
Tahun 1995, pangkatnya beralih menjadi Brigadir Jenderal. Selanjutnya, jelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soeharto, pangkat Mayor Jenderal (1996) dan Letnan Jenderal (1997) ia gapai. Bahkan, masa kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman Wahid, pada 1 November 2000, kala ia sudah pensiun dalam dinas kemiliteran, pangkat kehormatan sebagai Jenderal ia raih.
Pada jejak-jejak kehidupan non militer yang dijalani, LBP tidak kalah spektakuler. Siapa pula yang menebak, jika masa berakhirnya karir militer justru bersambung menjadi Duta Besar RI untuk Singapura (1999-2000) era kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Selanjutnya, mendapatkan kepercayaan Presiden KH Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI (2000-2001).

Tangkapan layar saat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menggelar konferensi pers bersama Menteri Energi dan Infrastruktur Uni Emirat Arab (UEA) Suhail Al Mazroui (5/3/2021).
Hingga pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo justru menjabat berbagai jabatan strategis, mulai dari Kepala Staf Kepresidenan (2015-2015), Menko Politik, Hukum, dan Keamanan (2015-2016), Menko Bidang Kemaritiman (2016-2019), dan sejak 2019 menjabat Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, serta diberi berbagai tugas dan tanggung jawab strategis dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa. Tidak mengherankan jika ia kerap mendapat julukan “Menteri Segala Urusan” atau “Super Minister” (Hal 56).
Sebagai sosok yang selanjutnya berkecimpung dalam dunia bisnis, LBP pun punya pengalaman yang menarik diungkap. Selepas bertugas menjadi menteri di era kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid yang berlangsung singkat, LBP bergumul dengan kelanjutan masa depan ekonominya dan misi sosial Politeknik Informasi DEL yang ia kelola.
Ia memang sempat ditawari masuk kabinet pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, namun ia menampik lantaran rasa solider pada KH Abdurrahman Wahid yang dimakzulkan MPR dalam Sidang Istimewa 23 Juli 2001 (Hal 146). Saat itulah LBP memulai peruntungan dalam berbisnis.
Semakin menarik, melihat sepak terjangnya dalam berbisnis yang ia akui tidak lepas dari relasinya dengan Aburizal Bakrie yang mengangkatnya sebagai penasehat kelompok usaha Bakrie. Kompensasi yang ia terima saat itu sejumput saham Bumi Resources (Hal 147).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam keterangannya di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, 4 April 2022, selepas mengikuti rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.
Selanjutnya, kembali dengan modal jaringan yang ia kuasai, antara lain perjumpaannya dengan Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM era Presiden KH Abdurrahman Wahid, LBP mendapatkan konsensi tambang batubara di Kalimantan. Singkat cerita, inilah awal mula kejayaannya mendirikan PT Toba Bara Sejahtra, yang selanjutnya dalam waktu relatif singkat berkembang biak menjadi grup usaha yang merambah tidak hanya pertambangan dan energi, namun perkebunan, hingga properti (Hal 155-157).
Bahkan, melalui dunia bisnis ini pula perjumpaan dengan Joko Widodo yang kala itu masih sebagai Walikota Solo terjadi, selanjutnya bersepakat dalam pendirian usaha bersama PT Rakabu Sejahtra yang bergerak dalam perkayuan.
Dalam setiap gerak langkah LBP, termasuk perjumpaan-perjumpaan dengan beragam tokoh seperti Joko Widodo, Aburizal Bakrie, Purnomo Yusgiantoro, atasan militer, rekan seangkatan dan bawahannya dalam kemiliterannya, ataupun setiap sosok presiden di negeri ini terbangun secara mutualistis dan tampak tidak sia-sia dalam mewarnai jalan hidupnya. LBP kerap menyebutnya sebagai jalinan “misteri kehidupan” yang tak ia duga (Hal 170).
Baca Kompaspedia: Profil Luhut Binsar Pandjaitan
Membaca buku yang terdiri delapan pembabakkan ini, memang beragam warna kehidupan tersampaikan. Akan tetapi, tidak semua tegangan-tegangan yang dialami LBP sebagai aktor sosial dalam berbagai konstrain struktur sosial yang melingkupinya disampaikan.
Memahami bagaimana sosok LBP berhadapan dalam struktur sosial adat Batak yang mengikat, struktur sosial keagamaan yang ia anut, ataupun pergulatannya dalam memperluas kapasitas modal simbolik, sosial (networking), maupun ekonomi hingga kelak menjadi sandaran kekuatannya dalam berhadapan dengan setiap struktur tersebut belum banyak terurai.

Pada sisi lain, sebagaimana penggambaran buku ini yang terangkum dalam wawancara dengan rekan seangkatan LBP, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dan pengusaha Boy Thohir, tepatlah “man of action” dilekatkan pada LBP. Sekalipun, konsekuensi terhadap hal ini tidak kurang banyak pula persinggungan dan tegangan yang muncul.
Bagaimana dalam beberapa aksi bisnisnya sempat diperdebatkan kalangan aktivis kemasyarakatan, misalnya, menjadi catatan tersendiri yang belum banyak diungkap. Begitu pula terkait sosoknya yang dalam pandangan publik cukup dominan, hingga di satu sisi mengundang simpati kekaguman namun di sisi lain dalam proporsi yang sama besar justru kurang menyukainya.
Hanya saja, terlalu berharap semua pergulatan LBP terurai dalam buku ini agak berlebihan memang. Apa yang tertulis, sudah sedemikian rupa menyiratkan pesan kegigihan dan keberhasilan sang aktor sosial dalam merenda kehidupan. Berharap lebih jauh dari itu, tampaknya hanya LBP sendiri yang membuka dan menuturkan kitab kehidupannya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Luhut Bertemu Elon Musk di Austin, Texas