Bahan Bakar Nabati Turut Menopang Kemandirian Energi
Biodiesel merupakan bahan bakar nabati yang sangat masif dikembangkan saat ini. Indonesia memiliki bahan baku yang berlimpah serta dukungan regulasi yang bersifat ”mandatory”.
Demi meningkatkan bauran energi sekaligus mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak, Indonesia terus mendorong optimalisasi produksi bahan bakar nabati. Peningkatan produksi biofuel ini merupakan salah satu cara memperkuat ketahanan energi nasional.
Transisi penggunaan sumber energi nasional terlihat dari data Handbook of Energy Economic Statistic of Indonesia (HEESI) 2021. Konsumsi energi final dari energi fosil menyusut sedikit demi sedikit dan konsumsi energi dari sumber energi baru terbarukan (EBT) bertambah secara perlahan.
Pada 2011, konsumsi energi fosil berupa produk minyak bumi, batubara, dan gas alam mencapai 96,24 persen. Konsumsi energi dari EBT kala itu masih sangat minim, yakni sebesar 3,77 persen. Satu dekade kemudian, pada 2021, bauran energi nasional sedikit mengalami pergeseran.
Konsumsi energi secara final yang bersumber dari fosil menurun menjadi sebesar 87,84 persen dan bauran energi dari EBT secara akumulatif naik cukup tinggi menjadi 12,16 persen. Rerata bauran EBT di Indonesia hanya bertambah sekitar 0,8 persen per tahun. Meskipun relatif kecil, pertambahan bauran energy mix ini menunjukkan bahwa transisi menuju energi ramah lingkungan tengah berlangsung di Indonesia.
Peningkatan bauran energi dari EBT itu sejalan dengan Perpres Nomor 5 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang mendorong peningkatan bauran energi dari EBT. Melalui regulasi ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil dan sekaligus mengembangkan potensi sumber daya energi di daerah-daerah. Selain itu, juga bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengurangi subsidi energi fosil yang terus bergerak dinamis.
Baca Juga: Sulitnya Meraih Target Bauran Energi
Sejumlah langkah akan dilakukan pemerintah untuk meningkatkan bauran energi dari EBT itu. Di antaranya, dengan mendorong substitusi bahan bakar minyak (BBM) dengan bahan bakar nabati (BBN) serta mengembangkan pembangkitan listrik yang bersumber dari EBT.
Mengacu pada data HEESI 2021, dari sekitar delapan jenis EBT yang sudah dikembangkan di Indonesia ternyata hanya satu jenis saja, yakni biofuel, yang mengalami peningkatan produksi secara signifikan. Pada 2011, persentase suplai biofuel hanya sekitar 0,19 persen. Angka ini terpaut cukup jauh dengan dua kontributor EBT terbesar, yakni pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang mencapai 2,32 persen dan pembangkit listrik panas bumi (PLTP) yang sebesar 1,26 persen.
Sepuluh tahun kemudian, kondisi tersebut berubah cukup drastis ketika biofuel meningkat pesat dan menyumbang bauran EBT terbesar di Indonesia. Pada 2021, bauran EBT dari biofuel mencapai 4,41 persen, sedangkan PLTA dan PLTP cenderung stagnan. Tenaga air (hydropower) hanya naik sedikit dengan kontribusi sekitar 3 persen dan energi geothermal tetap di bawah 2 persen.
Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa BBN yang bersumber dari biomassa kemungkinan besar akan menjadi EBT yang sangat diandalkan di Indonesia. Produksinya akan terus meningkat secara akseleratif mengalahkan sumber EBT lainnya.
BBN biomassa
BBN biomassa adalah sumber energi terbarukan dan berkelanjutan yang dapat digunakan secara langsung melalui proses pembakaran atau secara tidak langsung setelah mengubahnya menjadi berbagi bentuk biofuel. Contoh biomassa untuk pembakaran secara langsung di antaranya adalah briket biomassa, serpih kayu, arang kayu, biomassa (bentuk) gas, dan biomassa (bentuk) cair. Selanjutnya, contoh biomassa untuk pembakaran secara tidak langsung berupa biofuel yang terdiri dari biodiesel, bioetanol, dan green fuels.
Dari seluruh produk biomassa itu, komoditas biofuel akan terus didorong menjadi produk andalan Indonesia. Selain untuk meningkatkan aspek bauran EBT nasional, biofuel merupakan komoditas BBN yang memiliki unsur kimia dan fisika yang mendekati BBM dari fosil. Bioetanol dapat untuk substitusi BBM jenis bensin, biodiesel untuk menggantikan BBM jenis solar, dan green fuels dapat menyubstitusi BBM jenis bensin ataupun solar. Dari ketiga jenis biofuel ini, biodiesel merupakan BBN yang sangat masif dikembangkan di Indonesia. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi tingginya produksi biodiesel itu.
Baca Juga: Mengubah Pola Konsumsi Energi Transportasi
Pertama, banyaknya bahan baku nabati untuk memproduksi asam lemak ester metil atau etil sebagai produk biodiesel. Bahan baku itu di antaranya berasal dari minyak kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kacang suuk, kapuk atau randu, kelor, nimbas, randu alas, dan kesambi. Apalagi, Indonesia sebagai salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia membuat penyediaan bahan baku untuk biodiesel relatif sangat mudah.
Kedua, adanya sejumlah regulasi dari pemerintah yang sifatnya mandatory penggunaan biodiesel. Terdiri dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain. Lewat aturan ini, pada 2009-2014, pemerintah melakukan mandatory secara bertahap mulai dari B2-B7,5 hingga B10.
Selanjutnya, muncul kembali Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Perubahan regulasi ini mendorong peningkatan kadar biodiesel dalam campuran BBM solar, yakni B15 pada 2015 dan B20 pada kurun 2016-2019.
Mulai Januari 2020, mandatory biodiesel ditingkatkan lagi sebagai bahan bakar campuran diesel sebesar 30 persen atau B30. Bahkan, pada tahun ini, tepatnya pada Juli lalu, pemerintah kembali melakukan pengujian menggunakan B40 pada sejumlah kendaraan untuk mendapatkan rekomendasi teknis sebelum mengaplikasikan kebijakan mandatory lebih lanjut.
Dengan implemetasi mandatory yang terus meningkat tersebut produksi biodisel terus bertambah pesat setiap saat. Pada 2011-2021, produksi biodisel rata-rata meningkat sekitar 840.000 kiloliter setahun sehingga pada 2021 output-nya mencapai 10,24 juta kiloliter. Nominal ini hampir enam kali lipatnya tahun 2011, yang kala itu produksi biodiesel nasional baru berkisar 1,8 juta kiloliter.
Biodiesel dan bioetanol
Peningkatan produksi biodiesel tersebut menjadi salah satu cara yang cukup efektif dalam meningkatkan ketahanan energi nasional. Pemerintah secara bertahap dapat mengurangi impor produk BBM jenis solar dari luar negeri. Berdasarkan HEESI 2021, impor BBM jenis solar telah menyusut drastis seiring dengan meningkatnya produksi biodiesel dari dalam negeri. Pada 2011, impor gasoil atau solar dari luar negeri masih sekitar 2,1 juta kilo liter. Namun, pada 2021, impor solar telah susut menjadi 507.000 kiloliter.
Keberhasilan peningkatan produksi BBN jenis biodiesel tersebut tampaknya akan memperkuat kontribusi biofuel dalam capaian target bauran EBT tahun 2025. Hingga tahun 2021, bauran EBT nasional baru sebesar 12,16 persen atau masih kurang hampir 11 persen dari target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RPTUL) PT PLN tahun 2021-2030, target kontribusi biofuel dalam bauran EBT tahun 2025 sebesar 4,7 persen. Target ini sepertinya akan relatif mudah diraih karena pada 2021 kontribusi biofuel dalam bauran EBT sudah mencapai 4,41 persen. Hanya kurang 0,3 persen lagi untuk mencapai target 4,7 persen.
Prestasi biofuel yang mayoritas ditopang oleh biodiesel itu akan kian optimal lagi apabila juga ditopang oleh tingginya produksi bioetanol. Apabila hal ini terwujud, ketahanan energi nasional akan semakin kuat sehingga ketergantungan impor BBM dapat terus dikurangi. Tidak hanya pada komoditas BBM jenis solar, tetapi juga BBM jenis bensin karena mendapat substitusi dari bioetanol.
Apalagi, ketergantungan Indonesia pada impor BBM jenis bensin sangatlah tinggi. Pada 2021, impor BBM jenis bensin berkisar 2,8 juta kiloliter atau menguasai sekitar 82 persen impor bahan bakar nasional. Angka ini terpaut sangat jauh dari impor BBM jenis solar yang hanya sebesar 507.000 kiloliter atau sekitar 14 persen dari seluruh impor bahan bakar.
Baca Juga: Terbiasa Menikmati Murahnya Harga BBM Bersubsidi
Hanya saja, impian untuk memproduksi bioetanol tersebut tentu saja tidak semudah memproduksi biodiesel. Bioetanol merupakan bahan kimia cair yang berasal dari hasil fermentasi karbohidrat (pati) dengan bantuan mikroorganisme. Bahan baku yang dapat digunakan untuk menghasilkan senyawa etanol atau ethyl alcohol di antaranya adalah jagung, ubi kayu, umbi-umbian, tebu, aren, sorgum, kulit cokelat, kopi, dan sejumlah komoditas lainnya yang mengandung karbohidrat atau gula.
Dilihat dari bahan bakunya mengindikasikan bahwa biaya produksi bioetanol sangatlah mahal. Pasalnya, hampir sebagian besar merupakan komoditas pangan yang juga dibutuhkan oleh manusia. Apalagi, Indonesia belum memiliki kemampuan swasembada pada sejumlah komoditas yang menjadi sumber bahan baku bioetanol itu. Masih perlu waktu untuk dapat menyediakan bahan baku yang mendukung seperti layaknya negara Amerika Serikat (AS) dan Brasil. Kedua negara ini merupakan produsen bioetanol terbesar di dunia karena berlimpahnya produksi jagung di AS dan tebu di Brasil.
Kondisi itu bertolak belakang dengan Indonesia yang masih sangat kekurangan pasokan komoditas tersebut. Indonesia memiliki ketergantungan impor yang tinggi terhadap gula dan jagung dari asing. Jadi, impian untuk bisa mendorong produksi bioetanol secara masif dan mandiri tampaknya masih sangat sulit untuk saat ini. Tidak heran, apabila Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 yang juga mengamanatkan penggunaan bioetanol E5 yang mulai diwajibkan pada 2020 pun tidak kunjung terealisasi. Bahkan, di revisi turun menjadi E2 atau 2 persen etanol dan 98 persen bensin juga belum mampu dilaksanakan hingga saat ini.
Oleh sebab itu, untuk mendorong peningkatan produksi biofuel khususnya bioetanol masih memerlukan sejumlah tahapan pendukung lainnya. Salah satunya pengembangan areal produksi tanaman budidaya yang mengandung gula atau pati sehingga sesuai untuk produksi bioetanol. Selain itu, mendorong peningkatan produksi biodiesel karena komoditas ini memiliki produk sampingan berupa gliserin yang juga dapat dikonversi menjadi etanol.
Selama pemerintah memiliki peta jala yang jelas serta didukung kebijakan politik yang solid, bukan mustahil kemandirian energi dari sisi bahan organik akan dapat terus ditingkatkan. Apalagi, dengan potensi sumber daya alam yang subur dan luas, sangat memungkinkan bagi Indonesia untuk membangun kemandirian energi dari bahan bakar nabati suatu saat nanti. (LITBANG KOMPAS)