Masyarakat Berhemat Hadapi Kenaikan Harga BBM
Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa segenap lapisan masyarakat tampak sedang berhemat. Secara nasional, penghematan yang dilakukan masyarakat kota jauh lebih ketat daripada masyarakat perdesaan.

Masyarakat berbelanja kebutuhan pokok di Pasar Petisah, Medan, Sumatera Utara, Senin (5/9/2022). Harga kebutuhan pokok serba naik di Kota Medan menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak.
Respons paling logis yang dapat dilakukan masyarakat untuk menghadapi dampak kenaikan harga BBM adalah berhemat. Menariknya, ada kecenderungan penduduk perkotaan relatif lebih banyak berhemat dibandingkan dengan masyarakat di perdesaan.
Kenaikan harga BBM sontak membuat seluruh penduduk Indonesia merespons. Mulai dari kalangan konsumen, distributor, hingga produsen. Kondisi ini menyebabkan terjadinya rentetan peristiwa penyesuaian harga akibat peningkatan biaya bahan bakar yang berperan dalam proses produksi ataupun distribusi.
Sektor ekonomi di bidang transportasi dan distribusi adalah yang paling cepat terdampak. Tarif kendaraan umum mengalami kenaikan. Di beberapa kota, jamak ditemui selebaran yang ditempelkan di pintu-pintu bus atau angkot untuk memberi tahu penumpang bahwa harga baru angkutan umum mulai diberlakukan.
Efek domino berikutnya menyentuh harga kebutuhan pokok serta harga barang dan jasa lainnya. Sayangnya, pendapatan masyarakat tidak serta-merta naik menyesuaikan harga-harga baru yang berlaku. Situasi demikian menuntut setiap orang untuk melakukan penyesuaian anggaran belanja. Tanpa peningkatan pendapatan yang berarti, langkah yang paling logis dalam penyesuaian ini adalah dengan menghemat belanja harian ataupun bulanan.
Untuk memotret fenomena perilaku masyarakat dalam menghadapi perubahan harga BBM, Litbang Kompas melakukan jajak pendapat pada 6-9 September 2022 dengan melibatkan 504 responden di 34 provinsi di Indonesia. Hasilnya, ditemukan kecenderungan respons yang berbeda di antara penduduk perdesaan dengan perkotaan dalam menghadapi serangkaian kenaikan harga akibat naiknya harga BBM.
Secara umum, 6 dari 10 responden menyatakan bahwa mereka melakukan penghematan untuk beradaptasi dengan dampak kenaikan harga BBM. Sementara itu, 4 dari 10 responden lainnya mengaku tidak melakukan respons khusus atau membelanjakan uang seperti biasanya.
Apabila dipotret berdasarkan kewilayahan, semakin terlihat keberagaman respons masyarakat perdesaan dengan warga kota dalam aspek penghematan. Kewilayahan ini terbagi dalam beberapa region, seperti Sumatera, Jawa, serta luar Sumatera dan Jawa. Pengamatan berdasarkan pengelompokan ini menunjukkan bahwa masyarakat perkotaan di region Sumatera serta luar Sumatera dan Jawa lebih banyak yang berhemat dibandingkan dengan penduduk perkotaan di wilayah Jawa.
Secara tidak langsung, hal ini mengindikasikan bahwa dampak kenaikan harga BBM bisa dikatakan lebih terasa bebannya bagi penduduk perkotaan di luar wilayah Pulau Jawa.
Kondisi ketahanan ekonomi masyarakat perkotaan di Jawa yang relatif baik itu juga berdampak pada kondisi ekonomi warga desa di Pulau Jawa yang juga cenderung baik. Indikasinya terlihat dari hasil jajak pendapat yang menunjukkan 5 dari sepuluh 10 di wilayah perdesaan menyatakan biasa-biasa saja dalam mengelola keuangan pascapenyesuaian harga BBM. Belum ada pengaruh signifikan bagi keuangan masyarakat desa di Pulau Jawa.

Baca Juga: Bersiap Menghadapi Lonjakan Inflasi dan Penurunan Laju Ekonomi
Penduduk desa yang sudah mengeluhkan dampak kenaikan harga BBM itu sebagian besar berasal dari region Sumatera. Warga perdesaan di Sumatera yang merespons kondisi sekarang secara biasa saja ada 3 dari 10 responden. Artinya, sekitar 70 persen lainnya merasa tidak biasa atau cenderung berat dengan penyesuaian harga-harga sekarang. Angka ini sedikit lebih tinggi dari luar wilayah Sumatera dan Jawa yang rata-rata sebesar 60 persen masyarakat desanya menyatakan tidak biasa dalam mengelola keuangannya saat ini. Jadi, untuk sementara, masyarakat desa yang paling terdampak dari kenaikan harga BBM ini berada di wilayah Sumatera.
Secara keseluruhan, dari hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa segenap lapisan masyarakat tampak sedang berhemat. Hanya saja tingkatan dalam upaya penghematan itu beragam. Secara nasional, penghematan yang dilakukan masyarakat perkotaan jauh lebih ketat daripada masyarakat perdesaan. Responden perkotaan yang menyatakan berhemat dalam menyikapi situasi sekarang hampir sebanyak 65 persen, sedangkan responden perdesaan yang menyatakan sikap serupa sebesar 58,5 persen. Perbedaan tingkat penghematan ini salah satunya akibat perbedaan pola konsumsi masyarakat kota dan desa dalam memenuhi kebutuhan makanan ataupun nonmakanan.
Pola konsumsi
Melalui data BPS tentang nilai pengeluaran per kapita masyarakat perdesaan dan perkotaan dapat terlihat perbedaan yang menarik terkait pola konsumsi berdasarkan tempat tinggalnya. Proporsi belanja penduduk perdesaan lebih besar untuk keperluan makanan daripada belanja nonpangan.
Komoditas makanan yang dimaksud terdiri dari beras, umbi-umbian, ikan, daging, sayuran, minyak goreng, serta rokok. Adapun belanja nonpangan misalnya pakaian, alas kaki, kendaraan, barang pakai tahan lama, dan berbagai barang serta jasa lainnya.
Dalam data tahun 2021, sebesar 56,2 persen anggaran belanja penduduk desa untuk kebutuhan makanan, sedangkan sisanya untuk bahan nonmakanan. Adapun masyarakat perkotaan lebih banyak berbelanja kebutuhan selain makanan. Alokasi belanja pangan warga kota sebesar 45,8 persen. Selisih belanja makanan antara warga desa dengan warga kota mencapai 10 persen.
Secara prioritas, pangan atau makanan adalah kebutuhan yang tidak bisa ditiadakan, sedangkan untuk belanja nonpangan bisa disesuaikan dengan kondisi perekonomian terkini. Berbedaan pola konsumsi antara masyarakat desa dan kota turut berpengaruh pada tingkat kekhawatiran masyarakat terhadap dampak kenaikan harga BBM. Apakah turut berimbas pada kebutuhan terpenting kehidupan mereka sehari-hari?.
Melalui jajak pendapat ditemukan bahwa penduduk desa sebesar 65,8 persen lebih mengkhawatirkan kenaikan harga BBM akan membuat harga pangan melonjak. Angka tersebut sedikit lebih tinggi dari kekhawatiran penduduk kota. Selain pangan, kekhawatiran berikutnya adalah terkait kemiskinan. Responden yang tinggal di perdesaan sekitar 12 persen menyatakan khawatir tentang kemungkinan lonjakan kemiskinan di desanya. Berbeda dengan responden perkotaan yang sepertinya tidak terlalu mengkhawatirkan hal itu. Hanya sekitar 9 persen responden yang khawatir tentang lonjakan kemiskinan di perkotaan.

Pedagang di Pasar Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalteng, menjajakan sejumlah dagangannya pada Senin (12/9/2022). Kenaikan harga sejumlah barang terjadi sejak harga BBM naik.
Baca Juga: Harga BBM Naik, Inflasi Bertambah 1,14 Persen dan PDB Terkikis 0,28 Persen
Kekhawatiran masyarakat desa terkait pangan dan kemiskinan itu bukanlah tanpa sebab. Pasalnya, sebagian besar pendapatan mereka dibelanjakan untuk kebutuhan pokok, yaitu makanan. Apabila harga pangan naik, akan sulit bagi mereka untuk mengompensasi pengeluaran dengan cara berhemat. Pos anggaran selain makanan pun jumlah relatif tidak banyak sehingga tidak lentur untuk tambal-sulam pengeluaran makanan yang meningkat. Apabila kebutuhan makanan sulit terpenuhi, dikhawatirkan jumlah penduduk miskin akan kian banyak di perdesaan.
Berbeda halnya dengan responden di wilayah perkotaan yang menghadapi kondisi perekonomian yang lain daripada desa. Melalui perhitungan data belanja bulanan per kapita dari BPS, didapatkan bahwa selisih biaya hidup di perkotaan dengan perdesaan terpaut sekitar 35 persen dari sisi tingkat kemahalan biaya hidup. Dengan demikian, warga kota dengan penduduk desa memiliki tantangan hidup masing-masing yang cenderung berbeda.
Respons masyarakat kota dan desa terhadap kenaikan harga BBM menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi. Warga desa lebih sedikit yang berhemat karena anggaran belanjanya sudah minim dan sulit untuk dipangkas lagi. Itu pun sebagian besar hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok atau pangan sehingga sangat dikhawatirkan akan mendorong ke jurang kemiskinan yang semakin dalam.
Bagi warga kota, berhemat menjadi langkah untuk memenuhi biaya hidup yang lebih tinggi. Skala prioritas harus disusun, anggaran belanja selain pangan sedapat mungkin dikurangi supaya anggaran belanja makanan dan kebutuhan pokok tidak terganggu.
Dalam situasi demikian, baik penduduk desa maupun kota perlu menyiasati kenaikan harga BBM secara bijak. Efisiensi belanja adalah langkah paling masuk akal agar mampu bertahan melewati masa ”sulit” ini. Meskipun bagi sebagian kalangan masyarakat dengan anggaran belanja yang begitu mepet, opsi berhemat menjadi suatu kemewahan. Berhemat demi tetap bertahan hidup dan tidak tergelincir dalam jurang kemiskinan. (LITBANG KOMPAS)