Menguatkan Daya Ikat Kebangsaan
Menguatkan daya ikat kebangsaan dengan empat pilar menjadi sebuah keniscayaan agar bangsa ini lebih cepat pulih dari pandemi dan tentu bisa lebih bangkit dengan lebih kuat lagi.
Ikatan kebangsaan yang kuat menjadi kunci sukses bangsa ini melewati ujian dan guncangan. Di tengah penanganan dan pemulihan ekonomi akibat pandemi sepanjang dua tahun terakhir ini, kohesi bangsa tetap menjadi penopang utama negeri ini sehingga mampu melewati masa-masa yang berat dan tidak mudah.
Kohesi kebangsaan tersebut dibangun dengan empat pilar yang menjadi penopangnya. Merujuk undang-undang UU Nomor 17 Tahun 2014 jo UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, empat pilar tersebut disebutkan, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pancasila dimaknai sebagai dasar dan ideologi negara, Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa.
Ikatan kebangsaan yang kuat menjadi kunci sukses bangsa ini melewati ujian dan guncangan.
Keempat pilar ini menjadi agenda sosialisasi yang menjadi tugas formal dari MPR, seperti yang disebutkan dalam undang-undang di atas. Menariknya, di memori publik, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika cenderung lebih populer dibandingkan dua lainnya.
Hal ini tertangkap dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas awal Agustus lalu. Ketika ditanya dari empat pilar tersebut, mana yang utama menjadi penopang, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika lebih banyak disebutkan oleh responden.
Secara normatif memang keempat pilar di atas sama-sama memiliki peran yang sama sebagai pilar atau penopang dari bangsa ini. Namun, hanya kurang dari seperempat responden yang menjawab semuanya (keempar pilar) yang memiliki kontribusi utama yang membuat Indonesia mampu mempertahankan keberadaannya sebagai sebuah bangsa.
Namun, jika dilihat dari latar belakang pendidikan responden, kelompok responden berpendidikan tinggi cenderung menempatkan Pancasila sebagai faktor yang paling dominan. Hal ini berbeda dengan jawaban dari kelompok responden dengan latar belakang pendidikan rendah yang lebih banyak menjawab Bhinneka Tunggal Ika.
Boleh jadi, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika memang menjadi dua diksi yang sudah akrab di telinga responden, terutama ketika mengenyam pendidikan saat di bangku sekolah dulu. Hal ini berbeda dengan dua lainnya, yaitu UUD 1945 dan NKRI yang cenderung kurang banyak didengar dan membumi di memori publik.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada kelompok responden dengan kategori latar belakang sosial ekonomi bawah yang lebih dekat dengan diksi Bhinneka Tunggal Ika. Sementara di kelompok responden dengan latar belakang ekonomi atas cenderung menempatkan Pancasila sebagai pilar yang paling banyak memenuhi memori mereka ketika dikaitkan dengan isu-isu kebangsaan.
Baca juga : Asa Memajukan Kesejahteraan Umum
Keberagaman
Lebih dominannya Pancasila dan Bhinneka Tunggal ika muncul sebagai dua hal yang menjadi perekat kebangsaan tidak lepas dari dekatnya kedua pilar ini dengan isu keberagaman.
Diksi Pancasila, terutama dalam diskursus publik soal isu-isu politik, selalu dikaitkan dengan pentingnya menguatkan nilai-nilai toleransi karena Indonesia ini dibangun dari banyak kekuatan yang kaya akan beragam etnis, suku, agama, dan budaya.
Pancasila sebagai ideologi bangsa pun telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada peringatan Hari Lahir Pancasila pada Juni 2019, misalnya, menyebutkan, penerimaan publik terhadap Pancasila sebagai ideologi negara relatif absolut. Hampir seluruh responden (95,8 persen) sepakat Pancasila merupakan satu-satunya ideologi terbaik bagi bangsa Indonesia (Kompas, 3/6/2019).
Pancasila juga sekaligus menjadi titik temu dari keberagaman tersebut. Seperti halnya pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 saat mengurai pentingnya dasar negara yang disetujui dan disepakati oleh semua kekuatan bangsa sehingga kemudian Pancasila disepakati sebagai titik pertemuan dari segala perbedaan yang menjadi modal sosial bangsa ini tumbuh besar dan kuat.
Sementara Bhinneka Tunggal Ika yang bagi sebagian besar dari generasi di Indonesia secara sederhana memaknai arti kalimat tersebut sebagai ’berbeda-beda tetapi tetap menjadi satu’, tak lepas dari semboyan yang menguatkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Secara konseptual, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, bahkan kemudian juga diperkuat dengan UUD 1945 dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjadikan empat pilar ini sebagai penyangga sekaligus penopang dari bangunan bangsa dan negeri ini untuk menuju pada kesejahteraaan rakyatnya.
Pancasila menjadi titik temu dari keberagaman.
Untuk mencapai tujuan itulah, bagaimana kemudian keempat pilar tersebut semestinya tidak sekadar jargon dan slogan, tetapi juga menjadi praktik dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Pemikir kebangsaan, Yudi Latif, menyebutkan, problem yang dihadapi bangsa ini adalah bagaimana mendekatkan idealitas Pancasila itu pada realitas. Menurut Yudi, keampuhan Pancasila sebagai ideologi menuntutnya menjadi ”ideologi kerja” (working ideology) dalam praksis pembangunan.
Seperti yang ia tulis dalam artikelnya, ”Pancasila di Era Disrupsi”, Yudi menjelaskan, ideologi Pancasila harus menjadi kerangka paradigmatik dalam pembangunan nasional dalam ranah tata nilai dan kualitas manusia, ranah tata kelola kelembagaan sosial-politik dan kebijakan pemerintahan, tata ekonomi kesejahteraan berkeadilan dan berkemakmuran; yang didukung kedalaman penetrasi praksis ideologi Pancasila yang menyentuh dimensi keyakinan, pengetahuan, dan tindakan (Kompas, 31/5/2022).
Tindakan nyata menjadi kata kunci bahwa pilar-pilat kebangsaan itu terwujud dan faktual hadir di tengah-tengah masyarakat kita sehingga bangsa ini juga merasakan bahwa keempat pilar kebangsaan di atas benar-benar menjadi solusi atas problem bangsa ini.
Baca juga : Presiden Jokowi: Kita Dipandang Berbeda Dibandingkan 5-7 Tahun Lalu
Solidaritas
Salah satu bentuk solusi saat bangsa ini menghadapi problem besar adalah ikatan solidaritas sesama warga negara yang cukup besar ketika menghadapi guncangan pandemi Covid-19 sepanjang dua tahun terakhir ini. Mengutip jajak pendapat Litbang Kompas pada Maret 2022 yang menyebutkan, solidaritas publik menjadi kekuatan yang tidak bisa dianggap sepele dalam menanggulangi pandemi.
Setidaknya di tengah situasi pandemi yang mencekam, terutama di awal-awal tahun 2020, jajak pendapat Kompas merekam bagaimana sikap publik yang masih menyimpan optimisme bahwa bangsa ini akan mampu melalui ujian pandemi, yang dampaknya tidak hanya dirasakan di sektor kesehatan masyarakat, namun juga melumpuhkan ekonomi.
Di tengah situasi genting saat itu, responden meyakini masyarakat Indonesia memiliki kekuatan bertahan dalam situasi darurat karena memiliki semangat gotong royong.
Keyakinan tersebut mewujud dalam bentuk meningkatnya inisiatif publik membantu pemerintah memerangi Covid-19. Mulai dari penggalangan dana untuk membelikan alat perlindungan diri bagi petugas medis yang merawat pasien Covid-19, membuat cairan pembersih tangan (hand sanitizer), dan kampanye kesehatan, baik di ranah luar jaringan maupun dalam jaringan.
Inilah wujud dari solidaritas publik yang menjadi rekam jejak bagaimana bangsa ini melalui dua tahun terakhir masa pandemi dengan relatif baik. Termasuk di antaranya upaya pemerintah dalam penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.
Seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 2022, pemerintah relatif sudah berhasil melalui pandemi ini, meskipun belum benar-benar pulih. Mulai dari tingginya partisipasi vaksinasi Indonesia dan mulai pulihnya ekonomi dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di atas rata-rata negara-negara Asia dan negara maju lainnya.
Tentu, ini tidak lepas dari modal sosial bangsa ini, yakni ikatan kebangsaan yang tetap dijaga dan dirawat sebagai satu kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan.
Empat pilar kebangsaan akan tetap menjadi benteng pertahanan bangsa ini dalam menghadapi tantangan apa pun.
Empat pilar kebangsaan Indonesia, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, akan tetap menjadi benteng pertahanan bangsa ini dalam menghadapi tantangan apa pun.
Pada akhirnya menguatkan daya ikat kebangsaan dengan empat pilar tadi menjadi sebuah keniscayaan agar bangsa ini lebih cepat pulih dari pandemi dan tentu bisa lebih bangkit dengan lebih kuat lagi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Merajut Kemerdekaan dari Kampung Transmigran