Peran kawasan mangrove sangat krusial. Memiliki sejumlah kelebihan yang sulit tertandingi oleh jenis hutan lainnya. Menyerap karbon dan berfungsi sebagai pembentuk dan pelindung habitat kepesisiran.
Oleh
Yoesep budianto
·7 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Hamparan hutan mangrove atau mangi-mangi di Teluk Arguni, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, Selasa (15/6/2021). Mangi-mangi menjadi habibat hidup karaka, sebutan masyarakat setempat untuk kepiting. Untuk mencari karaka, warga mendirikan gubuk di sekitar hutan bakau. Pencarian karaka berlangsung berhari-hari.
Hutan mangrove memiliki peran sangat penting dalam mereduksi emisi karbon di atmosfer. Hutan bakau memiliki kemampuan menyerap sekaligus menyimpan karbon berkali-kali lipat dibandingkan jenis hutan lainnya. Dengan luasan mangrove terbesar di dunia, Indonesia memiliki peran sentral dalam menahan krisis iklim secara global.
Prediksi kenaikan suhu global yang semakin panas kian mendekati kenyataan. Saat ini, tercatat suhu dunia bertambah 1,1 derajat celsius sehingga muncul sejumlah fenomena alam yang mengubah beberapa bagian Bumi menjadi tidak sama lagi dengan kondisi beberapa abad silam. Muncul sejumlah kawasan berisiko tinggi terhadap krisis iklim. Setidaknya ada sekitar 3,6 juta manusia yang bermukim di kawasan berisiko itu.
Apabila tidak segera diantisipasi, krisis iklim itu akan terus meluas dan semakin berdampak buruk bagi kehidupan. Banyak negara berlomba-lomba menahan laju emisi karbon demi meredam kenaikan suhu global serta mereduksi ancaman krisis iklim di masa depan. Meskipun program pengendalian ini membutuhkan waktu lama, akan terus diperjuangkan oleh semua masyarakat dunia guna menghindari ancaman yang sangat kompleks dan berpotensi membinasakan kehidupan.
Hanya saja, perjuangan mereduksi ancaman dari krisis iklim itu tidaklah mudah. Salah satunya adalah aktivitas ekonomi masif atas nama kemajuan ekonomi dan kesejahteraan yang berujung pada alih fungsi lahan hutan atau area hijau untuk berbagai peruntukan. Misalnya, untuk permukiman, pertambangan, dan perkebunan, serta industrialisasi yang berefek pada pelepasan emisi karbon dalam skala besar. Akibat desakan ekonomi, akhirnya mengorbankan ekosistem alam dan kelestarian lingkungan.
Fenomena tersebut perlu segera diantisipasi agar emisi karbon dapat terkontrol dan tereduksi. Dari berbagai macam skema, pengendalian krisis iklim dapat diantisipasi salah satunya dengan pengelolaan karbon biru, yaitu melalui hutan mangrove.
Hutan bakau yang terdapat di sepanjang garis pantai kawasan tropis merupakan salah satu hutan dengan simpanan karbon terbesar di dunia. Simpanan karbonnya mengalahkan berbagai tipe hutan lainnya. Berdasarkan kandungan karbon organik tanah dan biomassa, simpanan karbon di habitat mangrove mencapai 4-5 kali lipat dari hutan tropis.
Serapan karbon yang besar pada hutan bakau itu memiliki arti yang sangat penting dalam pengendalian krisis iklim. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di dunia memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengelola kawasan itu. Secara global, sekitar 23 persen hutan bakau dunia berada di Indonesia.
Data Peta Mangrove Nasional tahun 2021 menunjukkan hamparan mangrove di Indonesia seluas 3,36 juta hektar. Rinciannya, 54,5 ribu hektar berstatus kritis dan 188,36 ribu hektar lainnya membutuhkan rehabilitasi meskipun belum kritis. Rehabilitasi kawasan mangrove ini selain memberi manfaat ekonomi juga akan mendorong perbaikan pada penanganan krisis iklim dan kerusakan ekologi.
Rehabilitasi mangrove itu menjadi bagian penting dalam komitmen terhadap Kesepakatan Paris (2015) untuk perubahan iklim global. Indonesia sebagai salah satu negara yang berkomitmen terhadap deklarasi itu akan berupaya merehabilitasi kawasan bakau secara bertahap. Apalagi, Indonesia juga memiliki target pengurangan emisi di sektor kehutanan hingga 24 persen pada 2030.
Apabila program itu berhasil, Indonesia berkontribusi besar pada reduksi ancaman krisis iklim global. Selain itu, secara nasional, rehabilitasi bakau itu juga mampu menyelamatkan ekosistem kepesisiran. Tanaman mangrove memiliki struktur akar dan batang yang berfungsi sebagai pelindung garis pantai. Erosi karena pukulan ombak mampu diredam sekaligus mengikat lumpur dari aliran sungai.
Lumpur yang terkumpul membentuk sistem ekologi yang memadai untuk menunjang kehidupan biota laut atau payau. Hutan mangrove juga memiliki kemampuan mencegah terjadinya intrusi air laut ke darat. Bahkan, untuk peran lebih besar, kawasan mangrove turut berperan sebagai pelindung dari gelombang tsunami.
Menjaga mangrove
Kawasan mangrove memiliki peran yang sangat krusial. Meskipun luasannya lebih kecil, memiliki sejumlah kelebihan yang sulit tertandingi oleh jenis hutan lainnya. Mampu menyerap karbon dengan jumlah besar dan berfungsi sebagai pembentuk dan pelindung habitat kepesisiran.
Sayangnya, Indonesia kini dihadapkan pada kerusakan kawasan mangrove yang melaju cukup besar. Hingga saat ini, sedikitnya 637 ribu hektar hutan mangrove rusak dan perlu dilakukan rehabilitasi. Banyak kawasan dikonversi menjadi tambak, tambang, dan pembangunan permukiman.
Estimasi kehilangan karbon akibat kerusakan hutan mangrove itu mencapai 182,56 metrik ton dalam periode 2009-2019. Jumlah tersebut tentu akan bertambah hingga tahun 2022 ini. Apalagi, laju perubahan alih fungsi lahan masih terjadi di banyak lokasi di Indonesia.
Sebagai contoh, sejak tahun 2019 lalu, terjadi pembabatan secara liar 80 hektar kawasan hutan mangrove di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Praktik tersebut diduga dilakukan oleh oknum dari sebuah perusahaan. Selain itu, pembangunan Tol Semarang-Demak juga berimbas pada relokasi 46 hektar mangrove.
Hal serupa terjadi di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, di mana sedikitnya 20 ribu hektar hutan mangrove diubah menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2000-an. Banyak praktik alih fungsi lahan mangrove terjadi di Indonesia sehingga mengancam kesehatan kawasan mangrove.
Berdasarkan SNI 7717-2020, ada tiga klasifikasi kesehatan kawasan mangrove yang didasarkan pada kerapatan tutupan vegetasi. Kondisi sehat apabila tutupan tajuk lebih dari 70 persen, kondisi sedang tutupan tajuknya berkisar 30-70 persen, dan kategori tidak sehat apabila tutupan tajuk kurang dari 30 persen.
Berdasarkan data Peta Mangrove Nasional 2021, wilayah dengan kondisi mangrove tidak sehat terluas berada di Sumatera Utara dengan luasan hampir 9.000 hektar. Wilayah kedua berada di Papua Barat sekitar 5800 hektar, dan berikutnya disusul Sulawesi Tenggara, Riau, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, Jawa Barat, dan Aceh.
Penyebab alih fungsi kawasan mangrove di Indonesia sangat beragam. Namun, berdasarkan penelitian di jurnal Global declines in human-driven mangrove loss (2020) dan Mangrove deforestation and CO2 emissions in Indonesia (2021), faktor terbesar alih fungsi lahan adalah komoditas. Konteks komoditas di Indonesia tentu tidak jauh dari tambang minyak dan gas serta perkebunan kelapa sawit.
Perkuat komitmen
Kawasan mangrove yang sehat memiliki manfaat yang sangat besar. Sebaliknya, akan berimbas negatif sangat parah apabila terjadi kerusakan pada kawasan tersebut. Perlu upaya pendataan dan penilaian manfaat ekologi yang runtut, lengkap, dan komprehensif. Hal ini untuk memperkirakan besarnya manfaat positif ataupun eksternalitas negatif yang bakal diterima suatu wilayah dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, komitmen Pemerintah Indonesia untuk merehabilitasi mangrove adalah langkah yang patut mendapat apresiasi dan dukungan. Melalui PP Nomor 120/2020, pemerintah meresmikan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang bertujuan untuk memulihkan kawasan tertentu seperti halnya mangrove agar memberi efek positif di masa mendatang.
Target pemulihan kawasan mangrove direncanakan mencapai 600.000 hektar yang tersebar di sembilan provinsi prioritas. Terdiri dari Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, dan Papua Barat. Target tahunan luas lahan yang dipulihkan mencapai 1.250 hektar.
Pembentukan BRGM itu harapannya dapat memperkuat aturan yang sudah ada sebelumnya. Misalnya saja, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian ditindaklanjut dalam PP No 121/2012 dan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No 4/2016, yaitu rehabilitasi kawasan pesisir dan pulau kecil yang di dalamnya ada mangrove.
Selain itu, juga memperkuat regulasi lainnya lagi seperti PP No 26/2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Regulasi ini mengatur salah satunya tentang penyelamatan mangrove sehingga hutan mangrove masuk dalam topik bahasan penting. Aturan lainnya tentu masih banyak lagi, baik di level pusat maupun daerah.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Anakan bakau tumbuh subur di salah satu tambak milik warga Kampung Muara Pegah, Kelurahan Muara Kembang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pada Selasa (5/7/2022) pagi.
Dengan terbentuknya lembaga khusus dan juga regulasi-regulasi yang sudah ada tersebut, sudah sepatutnya apabila kawasan mangrove harus kembali dilestarikan dan terus diperluas. Bagi wilayah yang hutan mangrovenya mengalami kerusakan yang sangat luas sudah sepantasnya menguatkan kembali komitmen untuk merehabilitasi kembali.
Keberadaan hutan mangrove jelas memiliki nilai tangible berupa benefit yang berperan menjaga keseimbangan iklim Bumi. Terlebih, cadangan karbon di kawasan mangrove di Indonesia sangatlah besar. Apabila dihitung, total stok karbon mangrove mencapai 3,14 miliar metrik ton atau setara dengan emisi dari 2,2 miliar kendaraan bermotor.
Selain memiliki kemampuan besar mereduksi emisi karbon di atmosfer, hutan bakau juga dapat diandalkan untuk menekan laju abrasi. Jika mangrove hilang, laju abrasi akan naik sekitar 1.950 hektar per tahun di pantai sepanjang 420 kilometer.
Oleh sebab itu, upaya rehabilitasi dan moratorium alih fungsi lahan saat ini penting dilakukan untuk menjamin keselamatan ekologi dan keberlangsungan hidup masyarakat di wilayah bersangkutan. (LITBANG KOMPAS)