Harapan Penanganan Tuntas Badut Jalanan Ibu Kota
Publik setuju ada penanganan khusus untuk mengatur keberadaan badut jalanan di Ibu Kota. Badut jalanan adalah potret kesenjangan di masyarakat perkotaan.

Manusia badut yang mengamen di seputaran Pasar Tanah Abang dan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (16/6/2022). Badut merupakan pilihan paling realistis bagi mereka demi bertahan hidup di Ibu Kota.
Keberadaan badut jalanan semakin menggenapi deretan persoalan sosial Ibu Kota yang sangat kompleks. Upaya penanganan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu mendapatkan dukungan dari seluruh pihak, termasuk masyarakat luas, sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian bersama atas realitas ketimpangan akut di jalanan perkotaan.
Kemunculan badut jalanan menjadi fenomena yang akhir-akhir ini begitu masif terjadi di jalanan. Beragam variasi dandanan mulai dari menggunakan kostum boneka besar, bertopeng, sampai merias tebal wajah memang semakin jamak ditemui dalam keseharian.
Hasil survei jajak pendapat oleh Litbang Kompas kepada 505 responden, mendapati mayoritas (39,5 persen) responden mengaku sangat sering atau setiap hari bertemu dengan badut jalanan. Tidak kurang dari seperempat bagian responden lainnya menyatakan secara konsisten selama beberapa hari dalam seminggu menemukan badut jalanan.
Keberadaan badut jalanan semakin menggenapi deretan persoalan sosial Ibu Kota yang sangat kompleks.
Secara garis besar, badut jalanan tidak jauh berbeda dengan umumnya pengamen jalanan lain. Jika selama ini pengamen selalu lekat dengan mereka yang bernyanyi dan bermain alat musik, badut jalanan memiliki cara berbeda untuk menjajakan hiburannya ke khalayak mulai dari bernyanyi, berjoget, sampai beragam gerakan yang mengundang gelak tawa.
Keberadaan badut tak ubahnya memang seperti pengamen kostum jalanan lainnya, seperti manusia silver sampai ondel-ondel. Sejatinya, tujuan para pengamen memang menghibur para warga yang ditemui dan kemudian mendapat imbalan atas itu.
Namun, tampaknya hal itu kini tak lagi sepenuhnya berlaku. Tentu, terdapat banyak cerita di balik keceriaan para badut jalanan tersebut. Beberapa kali sejumlah kisah viral mengenai badut jalanan yang terpotret dilakoni oleh anak di bawah umur sampai orang tua renta mengundang banyak simpati publik.

Terkait itu, lebih lanjut hasil jajak pendapat juga merekam berbagai perasaan para responden yang kerap bertemu dengan badut jalanan. Lebih dari 26,8 persen responden menyatakan merasa prihatin dan sedih saat menjumpai badut jalanan.
Sementara itu, responden yang merasakan bahagia karena kelucuan tingkah badut diungkap tak lebih dari hanya sepersepuluh bagian responden. Sekalipun tetap dalam porsi yang lebih besar, sepertiga responden merasakan hal yang biasa saja dan bahkan justru terganggu (14,8 persen).
Keberadaan badut jalanan memang kian mudah ditemui saat kondisi krisis pandemi menerpa.
Melihat itu, kehadiran badut yang sedianya sebagai penghibur telah bergeser menjadi sebuah tontonan keprihatinan. Tak hanya sekadar bersimpati, keprihatinan yang besar itu pun menyentuh banyak orang untuk tergerak memberikan uang sumbangan mengapresiasi usaha pengamen badut.
Dalam kondisi dan pertimbangan yang beragam, sembilan dari 10 responden pun sejalan menyatakan akan tergerak memberikan uang sumbangan kepada badut jalanan. Hanya sekitar 9,6 persen responden yang mengaku tidak akan memberikan uang sumbangan jika bertemu dengan badut jalanan.
Baca juga: Badut Jakarta, Kalah Sebelum Bertarung
Persoalan sosial
Derasnya simpati yang mengalir membuat orang tergerak membantu pada satu sisi kian menegaskan adanya persoalan ketimpangan. Badut jalanan yang lebih banyak memanfaatkan belas kasih tak ubahnya menjadi potret kesenjangan sosial yang nyata ada di sekitar keseharian kaum urban Jakarta.
Hal ini tentu menjadi persoalan serius, apalagi kemunculan badut yang mencari penghidupan di jalanan ini terus tumbuh masif di tengah jepitan kondisi perekonomian akibat pandemi.

Badut jalanan berkelliling untuk mengamen di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (21/6/2022). Pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir turut berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan di Jakarta. Badut jalanan, manusia boneka, manusia silver, dan manusia gerobak hanyalah segelintir warga miskin kota yang berupaya mencari remah rupiah untuk tetap bertahan hidup.
Hasil survei jajak pendapat pun dapat memetakan ada berbagai faktor yang menyebabkan orang pada akhirnya memilih untuk menjadi badut jalanan. Terkait ini, sekitar 44,5 persen responden menyoroti minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang menjadi faktor pendorong orang memilih menjadi badut jalanan.
Termasuk pula rendahnya keterampilan kerja yang dimiliki oleh pekerja jalanan. Bertautan dengan itu, faktor kemiskinan hidup juga dinilai sekitar seperempat bagian responden lainnya sebagai penyebab ketiadaan pilihan alternatif untuk mencari nafkah selain di jalanan.
Penelusuran mengenai latar belakang badut jalanan ini mendapati tekanan akibat kehilangan pekerjaan.
Keberadaan badut jalanan memang kian mudah ditemui saat kondisi krisis pandemi menerpa. Dalam situasi serba sulit itu, badut jalanan seolah menjadi pilihan untuk mencari penghidupan.
Penelusuran mengenai latar belakang badut jalanan ini mendapati bahwa tekanan akibat kehilangan pekerjaan dan tekanan ekonomi yang kompleks akibat gelombang Covid-19 yang tak terkendali membuat orang seperti tak lagi punya banyak pilihan untuk bertahan.

Termasuk pula para anak jalanan dan pengamen yang lebih dulu eksis, beberapa terpantik pula untuk terbawa tren ikut beralih model mengamen menjadi badut jalanan.
Segenap kondisi yang melatari itu, badut jalanan tetaplah dipandang menjadi bagian dari fenomena persoalan sosial perkotaan. Pandangan berkaitan dengan hal ini pun diungkap oleh lebih dari 78 persen responden yang menilai keberadaan badut jalanan perlu ditertibkan oleh petugas berwenang.
Sebagian besar kelompok responden ini memang menganggap bahwa aktivitas badut jalanan telah banyak mengganggu lalu lintas yang dapat merugikan pengendara.
Baca juga: Ke Jakarta Ku Terus Kembali
Penanganan
Jakarta sebagai megapolitan memang tetap akan menjadi gula yang menggiurkan bagi para pengadu nasib. Tekanan ekonomi di tengah ketidakpastian pandemi secara langsung memang telah memiliki andil besar mencetak para pekerja jalanan, termasuk para pengamen badut.
Langkah penanganan yang dilakukan pihak berwenang pun menjadi sorotan, mengingat persoalan sosial di jalanan Ibu Kota ini sulit untuk diurai. Sejalan dengan itu, sekitar tiga perempat bagian responden berpandangan bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta belum optimal dalam menangani persoalan sosial, termasuk badut jalanan tersebut.

Pengamen beratribut baju badut menggandeng seorang bocah berkelana di jalanan Kalimalang, Duren Sawit, Jakarta Timur, Selasa (21/6/2022). Menjadi badut jalanan di Ibu Kota madi pilihan bagi sebagian orang untuk menopang hidup mereka sehari-hari.
Sejauh ini, dalam menyikapi dan realisasi penanganan masalah sosial jalanan, Pemprov DKI Jakarta berlandaskan pada amanat Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Pasal 40 perda ini secara tegas melarang berbagai aktivitas jalanan mulai dari pengemis, pengamen, hingga pedagang asongan. Alasan utamanya jelas, karena berpotensi mengganggu kenyamanan dan ketertiban ruang publik.
Upaya penertiban pun dilakukan dengan berbagai langkah penanganan. Informasi yang diperoleh dari Dinas Sosial DKI Jakarta, ada empat tahapan yang dilakukan pemprov untuk menegakkan ketertiban di ruang umum yang menyangkut kelompok pekerja jalanan ini.
Tahap awal tentu dengan melakukan razia, kemudian para gelandangan, pengamen, termasuk badut jalanan dan lain sebagainya yang terjaring operasi penertiban akan ditampung di panti dinas sosial.
Setelah itu, akan diberikan pembekalan keterampilan ataupun bakat selama enam bulan untuk dapat berkarya dengan lebih baik. Bahkan, bagi mereka yang berasal dari wilayah luar Jakarta, akan dipulangkan ke daerah asal keluarganya.
Di luar penertiban langsung kepada pekerja jalanan, upaya edukasi dan pendisiplinan juga sebetulnya difokuskan pada masyarakat secara luas.

Badut melintas di hunian pemulung di sekitar Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/7/2020).
Dalam perda tersebut diamanatkan pula larangan untuk memberikan sumbangan kepada pengemis, pengamen, dan pekerja jalanan lain. Ancaman sanksi pelanggarnya pun tak main-main, mulai dari kurungan penjara 10 sampai 60 hari dan berupa denda Rp 100.000 sampai paling besar Rp 20.000.000.
Meski demikian, aturan untuk berdisiplin menyikapi persoalan sosial jalanan itu tampaknya tak tersosialisasi apik kepada masyarakat.
Terbukti, sekitar separuh lebih bagian responden mengaku tak mengetahui adanya aturan daerah yang melarang untuk memberikan uang sumbangan pada pencari nafkah jalanan. Sekitar 24 persen responden lainnya bahkan mengaku tahu, tetapi tak bersedia untuk mematuhi peraturan itu.
Penyikapan yang tak jauh berbeda pun terbaca dalam hal aturan pemberian sanksi bagi warga yang melanggar disiplin itu. Mayoritas responden (73,6 persen) berpandangan tidak sepakat terhadap adanya upaya penertiban dengan cara pemberian sanksi tersebut.

Badut jalanan membawa anak meminta belas kasihan warga di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (9/5/2021). Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan berdampak besar bagi perekonomian masyarakat yang kian terpuruk. Masyarakat kelas bawah, terutama yang mengandalkan penghasilan harian, melakukan berbagai cara agar bertahan hidup.
Pada akhirnya, keberadaan badut jalanan sebagai bagian dari potret kesenjangan dan persoalan berlarut di jalanan Ibu Kota memang menyisakan ruang dilematis. Di satu sisi keberadaan dapat menyentuh simpati dan memantik tergeraknya rasa untuk saling menolong bagi sesama.
Namun, di sisi lain, apa pun itu persoalan jalanan di Ibu Kota tetap harus mendapatkan penanganan yang tuntas, tentu dengan andil seluruh pemangku kepentingan, termasuk pula menegakkan kedisiplinan warganya dalam menyikapi persoalan ini. (LITBANG KOMPAS)