Jejak Sejarah Alkohol Di Hindia Belanda
Minuman beralkohol turut mewarnai jejak sejarah Hindia Belanda. Minuman ini menjadi salah satu penanda kasta sosial di masyarakat kala itu. Bagaimana kisahnya?
Minuman berkadar alkohol melintas kelas di masa Hindia Belanda. Tidak hanya orang Eropa, kalangan pribumi turut terekam sebagai peminum alkohol meski jenis yang dinikmati berbeda.
Sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi Hindia Belanda, Jawa tempo dulu dihuni oleh masyarakat pribumi, orang Eropa, China, Arab, dan etnis Timur lainnya. Tak pelak, Jawa juga menjadi pusat penyebaran budaya yang dibawa oleh etnis pendatang.
Pada tahun 1885, populasi di Jawa dan Madura tercatat sebanyak 21,5 juta jiwa. Dua dekade berselang, populasi bertambah menjadi 30,1 juta jiwa atau tumbuh 40,2 persen. Penduduk pribumi menempati proporsi mayoritas hingga 98,7 persen. Disusul dengan suku bangsa Tionghoa (1 persen), Eropa (0,2 persen), dan Arab (0,1 persen).
Minuman berkadar alkohol melintas kelas di masa Hindia Belanda.
Meski bangsa pendatang berjumlah amat sedikit, tetapi budaya yang dibawa memiliki pengaruh yang kuat pada penduduk lokal. Salah satunya adalah budaya minum alkohol impor. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, budaya minum alkohol memang telah ada. Namun, alkohol yang diminum merupakan alkohol yang dibuat oleh pribumi maupun orang China.
Di masyarakat Jawa, mereka membuat minuman berkadar alkohol yang dikenal dengan sadjeng dan badeg. Orang Betawi membuat berem dan tjijoe atau ciu. Sementara itu, orang China memproduksi arak. Catatan VOC bertahun 1674 telah menyebut adanya penjual alkohol di Batavia (Kompas, 15/6/2022).
Minuman alkohol impor dibawa oleh orang Eropa dan juga China. Sebagian besar jenis minuman impor berharga mahal dan hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas dan menengah. Meski demikian, sebagian kecilnya masih ada yang dapat dibeli oleh golongan rendahan.
Laporan statistik Pemerintah Belanda berjudul Alcohol=Enquéte 1915 mencatat secara rinci konsumsi minuman alkohol di tahun 1912 dan 1914. Di tahun 1912, konsumsi minuman alkohol di Jawa dan Madura mencapai 7,06 juta liter. Dengan jumlah penduduk 32,2 juta jiwa, rerata konsumsi alkohol setara dengan 0,2 liter/kapita/tahun.
Populasi yang dipakai hanya terdiri dari penduduk pribumi, etnis China, dan orang Eropa. Hal ini disebabkan orang Arab yang beragama Islam tidak minum alkohol.
Jenis alkohol yang paling banyak diminum adalah bir. Konsumsi bir mencapai 2,9 juta liter atau 40,5 persen dari total minuman yang dikonsumsi di Jawa dan Madura. Di posisi kedua ada gin dan anggur dengan jumlah masing-masing dikisaran 1,4 juta liter.
Minuman seperti bir dan anggur adalah minuman mahal yang hanya mampu dijangkau oleh kelas atas maupun menengah.
Meski demikian, angka ini tidak serta merta menunjukkan bahwa semua entitas di masa pendudukan Belanda mengonsumsi minuman alkohol impor. Minuman seperti bir dan anggur adalah minuman mahal yang hanya mampu dijangkau oleh kelas atas maupun menengah. Kalangan itu tak lain adalah bangsa Eropa.
Dapat dibayangkan, dengan populasi yang amat sedikit, jumlah yang dikonsumsi sangatlah tinggi. Jikapun golongan elit pribumi atau Tionghoa dapat menjangkau minuman tersebut, jumlahnya amat sangat sedikit.
Baca juga : Tren Minum Bir Tempo Dulu
Pribumi
Dalam struktur sosial di masa Hindia Belanda, pribumi menempati kelas sosial paling rendah. Hanya segelintir pribumi yang memiliki jabatan di pemerintahan maupun pribumi terdidik yang dapat disebut golongan elit. Itupun masih di strata tengah dan tetap di bawah kelas atas yang dihuni bangsa Eropa.
Meski demikian, alkohol impor nyatanya dapat melintas kelas. Hal ini setidaknya terekam dari hasil survei pada tahun 1914. Jenis alkohol impor seperti gin, brendi, cognac, dan wiski dilaporkan dikonsumsi juga oleh kalangan pribumi.
Total konsumsi minuman alkohol pribumi di Jawa dan Madura adalah 2,5 juta liter. Dengan populasi sekitar 31,8 juta jiwa, konsumsi alkohol per kapita setara dengan 0,08 liter/tahun. Jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi adalah gin dengan 1,4 juta liter atau 57 persen dari total kuantitas alkohol.
Gin atau dalam Bahasa Belanda disebut jenever merupakan minuman yang amat terjangkau. Dalam buku Kenikmatan dalam Minuman: Bir di Batavia 1900-1942 (2021) harga segelas gin hanya 4 sen. Sementara untuk segelas wiski dan brendi perlu merogoh saku sebesar 15 sen. Bir, sebagai minuman favorit kelas atas, dibanderol 30 sen per botol.
Di Jawa dan Madura, terekam dua kota dengan konsumsi minuman alkohol yang sangat tinggi. Dari data populasi pribumi yang tersebar di 17 kota, golongan pribumi di Batavia dan Surabaya merupakan yang paling banyak menegak alkohol.
Di Batavia tercatat rerata konsumsi minuman alkohol per tahun adalah 0,3 liter/kapita. Artinya, konsumsi alkohol di kota ini hampir empat kali lipat dari rerata di seluruh Jawa dan Madura. Di Surabaya, konsumsi alkohol mencapai 0,2 liter/kapita/tahun.
Sementara tiga kota lainnya juga tercatat tinggi meskipun masih setara dengan rerata keseluruhan, yakni Semarang, Surakarta, dan Kediri. Tingginya konsumsi di Batavia dan Surabaya tidak bisa dilepaskan dari status keduanya sebagai pusat pemerintahan sekaligus ekonomi Hindia Belanda.
Baca juga : Mengenal Budaya Minum Nusantara
Masa kini
Badan Pusat Statistik (BPS) merekam tingkat konsumsi minuman alkohol di Indonesia menurun dari tahun ke tahun. Pada 2021, konsumsi alkohol adalah 0,36 liter/kapita/tahun. Angka tersebut turun dari tahun 2015 yang tercatat sebesar 0,48 liter/kapita/tahun.
Penurunan konsumsi alkohol disumbang oleh penurunan yang signifikan dari wilayah perkotaan. Di tahun 2021, konsumsi minuman alkohol di wilayah perkotaan hanya 0,18 liter/kapita/tahun atau turun setengah dari tahun 2015. Sementara di pedesaan, konsumsi cenderung stabil dalam tujuh tahun terakhir, yakni di kisaran 0,6 hingga 0,9 liter/kapita/tahun.
Konsumsi minuman alkohol di wilayah pedesaan terekam lebih tinggi dibandingkan di wilayah perkotaan. Pada tahun 2017 misalnya, rerata konsumsi alkohol di perkotaan setara dengan 0,27 liter/kapita/tahun. Sementara itu, konsumsi di pedesaan mencapai 0,85 liter/kapita/tahun.
Di masa kini, peredaran dan konsumsi alkohol semakin diregulasi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari faktor stigma alkohol yang semakin lekat dengan kriminalitas. Alkohol juga dipandang sebagai perilaku konsumsi yang tidak menyehatkan.
Makna minuman alkohol sebagai identitas sosial yang terekam dalam sejarah semakin pupus. Kini, praktik minum alkohol yang diaplikasikan dalam adat istiadat pun turut terdesak dan terancam kehilangan makna. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kisah Panjang Minuman Lokal Nusantara