MInuman menyematkan status sosial seseorang. Di era Hindia Belanda, keberadaan minuman bir melekat dengan perjalanan sejarah perubahan situasi sosial di Nusantara.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Bir menjadi minuman berkadar alkohol terpopuler pada awal abad ke-20. Bir mampu memberikan status sosial terhormat dengan harga yang dapat dijangkau kalangan menengah Hindia Belanda.
Minuman berkadar alkohol memiliki tempat penting dalam sejarah Indonesia era kolonial. Kepopuleran bir di awal abad ke-20 sekaligus menandai perubahan situasi sosial di Hindia Belanda. Kelas menengah sebagai konsumen utama mengalami peningkatan seiring munculnya kelompok elite baru di kalangan pribumi.
Jumlah konsumsi minuman beralkohol di Jawa telah terekam sejak tahun 1889. Laporan berjudul Alcohol-Enquette 1915 merinci jumlah impor alkohol berbagai jenis, seperti brandewijn (brendi), cognac, gedistilleerd (minuman sulingan), jenever (gin), rum, whiskey (wiski), dan wijn (anggur) baik dalam bentuk op fust (tong) maupun afgetapt.
Minuman berkadar alkohol memiliki tempat penting dalam sejarah Indonesia era kolonial.
Pada tahun 1889, gin dan anggur menjadi jenis minuman alkohol yang paling banyak diekspor ke Jawa, masing-masing mencapai 1,3 juta liter. Di posisi berikutnya ada brendi sebanyak 448.000 liter dan bir sebanyak 125.000 liter. Minuman jenis lainnya masih tergolong sedikit, yakni di bawah 10.000 liter.
Konsumsi gin cenderung stabil dalam kurun waktu lima belas tahun. Pada 1914, impor gin dari Eropa, China, dan negara lainnya berada di kisaran 1,6 juta liter. Sementara itu, wine yang digandrungi di akhir abad ke-19 justru menunjukkan penurunan.
Kepopuleran kedua minuman ini tergeser oleh bir. Peredaran bir terus meningkat hingga mencapai 3,5 juta liter pada 1914. Artinya, konsumsi bir meningkat 30 kali lipat dalam kurun waktu 15 tahun.
Pada 1899, data spesifik konsumsi alkohol di pusat-pusat perekonomian dan pemerintahan Hindia Belanda mulai ditampilkan. Di Batavia, anggur menjadi minuman alkohol yang dikonsumsi paling banyak mencapai 650.000 liter.
Sementara di Surabaya sebanyak 300.000 liter dan Semarang 210.000 liter. Jenis anggur yang dikonsumsi, yakni mousseerende, afgetapt, dan op fust.
Bir menjadi minuman terpopuler kedua. Ekspor bir ke Batavia dan Surabaya mencapai lebih dari 450.000 serta 250.000 liter ke daerah Semarang. Konsumsi bir meningkat pesat jika dibandingkan dengan jenis minuman alkohol lainnya.
Di Batavia, permintaan bir meningkat hampir dua kali lipat dalam kurun satu dekade. Peningkatan paling drastis tercatat pada tahun 1905 mencapai 42,3 persen dari tahun sebelumnya atau setara dengan 726.000 liter bir. Pada 1914, bir yang beredar di Batavia mencapai 1,5 juta liter atau mengambil lebih dari separuh peredaran bir di Jawa.
Peredaran bir di Jawa tidak bisa dilepaskan dari peningkatan produksi bir di Eropa pada masa Revolusi Industri. Kondisi ini beriringan dengan perubahan paradigma Belanda yang tak lagi menjadikan Hindia Belanda sebagai negara jajahan, tetapi juga sebagai pasar produk Eropa.
Modernisasi dan perubahan sosial di Hindia Belanda sendiri turut menyuburkan bisnis alkohol. Merujuk buku Kenikmatan dalam Minuman: Bir di Batavia 1900-1942 (2021) setidaknya ada empat hal yang dapat disarikan sebagai faktor pendukung kepopuleran bir.
Pertama, kehadiran listrik pada akhir abad ke-19 mendorong peningkatan industri modern. Salah satunya adalah berdirinya pabrik es, seperti di Petojo, Molenvliet (saat ini Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk), dan pabrik Batten di daerah Pasar Baru.
Pabrik es memproduksi barang mewah baru yang melengkapi kenikmatan dari segarnya bir impor. Kombinasi aijer batoe dan bir sangat diminati oleh kalangan atas, menengah, dan turis di tengah iklim tropis Hindia Belanda.
Kedua, bir hadir dengan harga yang dapat dijangkau kelas menengah. Harga bir berada di ambang tengah, tidak murah seperti arak dan tidak juga mahal.
Sebotol bir dapat dibeli dengan membayar 30 sen. Harga ini tidak lebih mahal dari anggur, brendi, atau wiski. Meski terjangkau, bir tetap memberikan status sosial yang tinggi karena juga dinikmati oleh kalangan atas di Batavia.
Ketiga, bir lebih digemari karena kandungan alkohol yang sedikit berkisar antara 3 dan 7 persen. Bir tidak memberikan efek memabukkan sehingga dapat dinikmati dalam acara apa pun, termasuk untuk acara makan a la rijstaffel.
Keempat, proporsi kelas menengah di Batavia sebagai konsumen bir juga mengalami peningkatan seiring dengan hadirnya pribumi terdidik.
Sejak diberlakukannya Politik Etis pada 1901, kalangan pribumi mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang sekaligus membentuk strata sosial baru di antara kelas menengah kota.
Dalam ”Minuman Keras di Batavia Akhir Abad XIX” (2016), tahun 1873 disebut sebagai tahun awal keterlibatan Pemerintah Hindia Belanda dalam produksi dan perdagangan minuman keras (miras).
Di Batavia, minuman berkadar alkohol sudah dikenal luas sejak abad ke-17. Laporan VOC bertahun 1674 mencatat adanya 53 orang di Batavia yang menjual alkohol. Di permukiman Tionghoa di Batavia juga ditemukan ”pabrik” untuk memproduksi arak.
Jumlah konsumsi arak sangat kecil jika dibandingkan dengan minuman beralkohol impor. Minuman ini hanya diminum oleh kalangan bawah karena harganya yang murah, tetapi memberikan efek memabukkan yang instan.
Pada 1889, tercatat jumlah arak yang dikonsumsi di seluruh Jawa adalah 2.211 liter. Angka ini terpaut jauh dengan jenis minuman lain yang berada di kisaran ratusan liter. Demikian halnya pada tahun 1914, jumlah arak yang tercatat hanya 53.031 liter.
Selain arak yang umumnya diproduksi masyarakat Tionghoa, masyarakat bumiputra pun disebut membuat minuman alkohol sendiri. Duma D Antoro (2021) menjelaskan, di masyarakat Jawa minuman tersebut dikenal dengan sadjeng dan badeg. Sadjeng merupakan minuman untuk kaum bangsawan sementara badeg untuk kalangan bawah.
Orang Betawi membuat alkohol lokal dari ketan hitam bernama berem dan dari beras bernama tjijoe atau ciu. Di kemudian hari, Orang Betawi juga membuat bir pletok untuk meniru sensasi bir beralkohol dari Eropa. (LITBANG KOMPAS)