Eliminasi Karbon di Atmosfer Bumi
Dalam mitigasi krisis iklim perlu menyeimbangkan antara upaya preventif ataupun kuratif. Penyerapan karbon yang lepas ke atmosfer sama pentingnya dengan meminimalisasi keluaran emisi karbon dari setiap kegiatan manusia.
Krisis iklim kian mengancam kehidupan umat manusia. Selain pencegahan, pengendalian krisis iklim dapat juga dilakukan dengan cara menangkap dan mengeliminasi karbon yang telanjur berada di atmosfer.
Upaya menyerap sebanyak mungkin karbon dari atmosfer layaknya usaha untuk membuat langit kembali biru bersih. Penurunan kadar karbon di langit merupakan bukti perbaikan kualitas lingkungan global sehingga momok krisis iklim yang disertai bencana katastropik dapat dihilangkan.
Secara global, karbon di Bumi tersimpan di tiga tempat, yaitu atmosfer (48 persen), sistem lahan (29 persen), dan sistem kelautan (26 persen). Apabila dijumlah, ada lebihan 3 persen yang merupakan perputaran aktif dalam siklus karbon. Sementara emisi karbon disumbang oleh emisi energi fosil (89 persen) dan perubahan penggunaan lahan (11 persen).
Perburukan kondisi iklim dan cuaca makin dirasakan oleh umat manusia. Pergeseran musim hingga banyaknya kejadian ekstrem berkaitan iklim dan cuaca kian meningkat. Terbaru, gelombang panas menyerang wilayah India dan Pakistan hingga mencapai suhu lebih dari 49 derajat Celsius pada April-Mei 2022.
Badan Meteorologi Dunia dan sejumlah lembaga penelitian terkait iklim telah menyebutkan bahwa kejadian ekstrem bencana alam akan lebih sering terjadi dengan intensitas jauh lebih buruk pula. Bumi berada dalam situasi yang mengkhawatirkan, terlebih emisi karbon terus dihasilkan dan memenuhi atmosfer.
Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) telah menyerukan kepada seluruh pihak untuk menghindari kejadian bencana iklim katastropik di masa depan. Untuk mencegahnya, kenaikan suhu permukaan Bumi harus terus dicegah tidak boleh melebihi 1,5 derajat celsius. Saat ini, suhu global tercatat bertambah 1,1 derajat celsius. Pembicaraan tentang membatasi emisi karbon dan perubahan iklim di level negara telah dilakukan hampir selama tiga dekade terakhir, sejak diadakannya konferensi perubahan iklim PBB pertama pada 1995 di Berlin, Jerman.
Ragam usaha dan komitmen negara telah dihasilkan, tetapi suhu global tetap meningkat. Salah satu rumusan pencegahan bertambahnya emisi karbon adalah perdagangan karbon. Skema perdagangan dan pajak karbon telah dijalankan sejumlah negara untuk membatasi emisi karbon oleh kegiatan industri. Sayangnya, target penurunan yang ditargetkan masih jauh dari harapan.
Menangkap karbon
Situasi itu kian mengkhawatirkan pascapandemi Covid-19. Lembaga Global Green Growth Institute mencatat adanya keterkaitan antara ledakan karbon dan masifnya kegiatan ekonomi setelah wabah. Saat terjadi pandemi, aktivitas publik dan kegiatan ekonomi menjadi sangat terbatas bahkan banyak pabrik berhenti beroperasi. Namun, setelah wabah berlalu, kegiatan ekonomi dan pembangunan yang sempat terhenti akan kembali masif bahkan lebih ekspansif untuk mengejar performa usaha yang sempat terjerembab akibat pandemi.
Dalam sejarah peradaban, tercatat ada enam kali krisis kesehatan besar di dunia sepanjang periode 1758 hingga 2018. Apabila dilihat rata-ratanya, kenaikan emisi karbon setelah ada krisis kesehatan mencapai 23,7 persen. Lonjakan tertinggi muncul pascawabah flu Asia (H2N2) pada 1957-1958, yaitu 33,6 persen.
Setelah merebaknya wabah Covid-19, Global Carbon Project mencatat emisi karbon pada 2021 mencapai 36,4 gigaton. Emisi tersebut lebih tinggi 53 persen dibandingkan tahun 1990. Sumber emisi karbon terbesar pada 2021 tersebut berasal dari batubara (14,7 gigaton) dan minyak bumi (11,5 gigaton).
Selama ini, upaya penanganan krisis iklim terlalu berpusat pada upaya preventif, yaitu menekan jumlah emisi karbon dari kegiatan manusia. Padahal pembatasan kadar karbon juga penting dilakukan secara kuratif, yaitu menangkap dan menghilangkan karbon yang telah dilepaskan ke atmosfer Bumi.
Berdasarkan data Global Carbon Project, tren kenaikan karbon di atmosfer Bumi dari tahun 1750 hingga 2020 mencapai 49 persen. Sebelum masa industrialisasi, kadar karbon sekitar 277 ppm, kemudian melonjak tajam hingga 415 ppm di abad ke-21.
Secara global, stok karbon di Bumi berada di tiga lokasi, yaitu atmosfer, lahan, dan lautan. Kadar karbon di atmosfer konsisten bertambah 18,6 gigaton setiap tahun dengan proporsi 48 persen dari total stok. Sementara di sistem lahan dan lautan, karbon yang tersimpan masing-masing bertambah 11,2 gigaton dan 10,2 gigaton per tahun.
Dalam sudut pandang eliminasi karbon yang lepas ke atmosfer Bumi, penambahan karbon di sistem lahan dan lautan merupakan kabar baik. Semakin banyak karbon yang terserap di tanah dan laut, maka kadar di atmosfer dapat diturunkan. Sayangnya, laju penyerapan karbon di lahan dan lautan belum mampu mengimbangi penambahan karbon di atmosfer yang terlampau besar.
Hingga saat ini, emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer mencapai 89 persen dari total emisi global. Berdasarkan situasi tersebut, penyerapan karbon di atmosfer menjadi prioritas utama dalam penanganan krisis iklim melalui upaya-upaya kuratif. Dibutuhkan metode yang relevan untuk mengurangi kadar karbon yang dilepaskan ke atmosfer.
Dari riset yang sudah dilakukan selama ini, setidaknya ada sembilan cara untuk mengurangi kadar karbon di atmosfer, yaitu penyerapan karbon di tanah, restorasi habitat/ekosistem, penghutanan kembali, pemakaian beton karbon-negatif, biochar, biomaterial, pemilahan dan peningkatan pelapukan batuan, serta pengikatan udara langsung dengan teknologi (DAACS) dan secara bioenergi (BECCS).
Teknologi
Berdasarkan hasil analisis lembaga AFRY, penghutanan kembali menjadi metode dengan skala dampak yang paling signifikan terhadap pengurangan karbon di atmosfer Bumi. Dari sisi waktu pelaksanaan, penghutanan ini juga merupakan metode yang tepat untuk program jangka pendek hingga menengah. Waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program hingga mendapatkan hasil yang diharapkan juga terbilang singkat.
Metode lain yang memiliki dampak besar terhadap pengurangan karbon adalah direct air capture with carbon storage (DACCS), yaitu teknologi yang menggunakan proses kimia untuk menangkap dan memisahkan karbon dioksida langsung dari udara kemudian diinjeksi ke reservoir geologi.
Berbeda dengan skema penghutanan, metode ini membutuhkan waktu yang sangat lama atau bersifat jangka panjang. Aspek waktu menjadi pertimbangan penting dalam upaya eliminasi karbon global. IPCC menekankan bahwa untuk menjaga suhu global kurang dari 1,5 derajat celsius dibutuhkan standar minimum eliminasi karbon dalam tiga periode. Periode pertama berjalan hingga tahun 2021 sebesar 0,02 gigaton per tahun. Kemudian dilanjutkan periode kedua sepanjang tahun 2022 hingga 2030 dengan target eliminasi karbon sebesar 1,4 gigaton. Terakhir, dilakukan selama dua dekade hingga tahun 2050. Target akhir yang harus dipenuhi adalah 9,3 gigaton per tahun karbon harus diserap dari atmosfer.
Namun, upaya preventif pengurangan emisi karbon di atmosfer ini tetap harus dilakukan secara hati-hati karena rentan pada perburukan situasi. Upaya pengendalian emisi karbon menuju ketahanan iklim bisa saja memiliki kerentanan tinggi di sisi lainnya.
Risiko malaadaptasi dapat terjadi pada upaya-upaya kuratif pengurangan karbon di atmosfer sehingga berdampak pada perburukan kondisi lingkungan dan sosial masyarakat, termasuk ketahanan pangan. Salah satu contohnya adalah pemilihan jenis vegetasi pada proses penghutanan kembali.
Tidak semua tanaman memiliki kualitas penyerapan karbon yang sama. Ini artinya, kurang tepat dalam memilih jenis tanaman tidak hanya membuat upaya penyerapan karbon terhambat, tetapi tumbuhan juga dapat tidak berkembang dan berpengaruh terhadap ekosistem alam sekitar.
Contoh lain adalah penggunaan teknologi dalam penyerapan karbon. Teknologi tinggi yang dipakai tentu membutuhkan daya listrik dan bahan lain yang memiliki emisi karbon. Kecenderungan penggunaan bahan baku energi yang digunakan negara-negara di dunia saat ini masih dominan berasal dari energi fosil, terutama batubara. Padahal, batubara merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi karbon.
Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan dan ukuran presisi agar tidak memperburuk upaya pengurangan karbon di atmosfer. Diferensiasi upaya menekan dampak krisis iklim perlu dibuat imbang dari dua sisi, baik preventif maupun kuratif. Penyerapan karbon yang telah dilepaskan ke atmosfer tidak kalah penting dari menekan emisi karbon. Keduanya merupakan ikhtiar untuk terhindar dari bencana katastropik akibat krisis iklim. (LITBANG KOMPAS)