Mengapa Negara-negara Berlomba Menjadi Tuan Rumah Olimpiade?
Keberhasilan menjadi tuan rumah Olimpiade dapat menjadi ajang promosi di mata internasional dan bekal untuk berpartisipasi dalam percaturan dunia.
Olimpiade kerap kali diperebutkan negara-negara di dunia untuk menjadi tuan rumah. Ajang perlombaan olahraga sejagad itu sering dimanfaatkan untuk menunjukkan eksistensi negara di mata dunia.
Olimpiade Tokyo 2020 akhirnya terlaksana setelah sempat ditunda satu tahun akibat pandemi Covid-19. Jumat, 23 Juli 2021 menjadi penanda dimulainya pesta olahraga terbesar di dunia tersebut. Suasanya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dengan tanpa penonton umum, upacara dilakukan secara sederhana tapi sarat makna.
Upacara pembukaan yang berlokasi di Stadion Olimpiade Tokyo tersebut mengusung tema ”Unity in Diversity”. Kemunculan petenis putri Jepang Naomi Osaka, perempuan berdarah campuran dan berkulit hitam sebagai penyulut kaldron Tokyo 2020 menjadi simbol keberagaman.
Sebelumnya, pada 2013, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menetapkan Tokyo menjadi kota tuan rumah Olimpiade Musim Panas ke-32. Tokyo terpilih sebagai tuan rumah setelah mengalahkan Istambul (Turki) dan Madrid (Spanyol) dalam pemilihan suara yang dilaksanakan pada 7 September 2013 di Buenos Aires, Argentina.
Selain ketiga kota tersebut, masih ada Baku (Azerbaijan), Doha (Qatar), dan Roma (Italia) yang turut mengajukan diri sebagai calon tuan rumah Olimpiade 2020. Dengan terpilihnya Tokyo sebagai tuan rumah Olimpiade kali ini, Jepang telah memperoleh hak menggelar pesta olahraga bergengsi itu untuk kedua kalinya. Tokyo tercatat juga pernah menjadi menjadi tuan rumah Olimpiade 1964.
Sukacita ”Negeri Sakura”
Menjadi tuan rumah ajang olahraga internasional memang kerap kali diperebutkan oleh negara-negara di dunia. Alasannya adalah perhelatan tersebut dianggap sebagai momentum untuk menunjukkan eksistensi di mata dunia.
Bagi Jepang sendiri, Olimpiade Tokyo 2020 menjadi momentum untuk menunjukkan kebangkitan Jepang. Sebab sebelumnya, Jepang memiliki memori suram dalam bidang ekonomi. Memasuki tahun 1990-an, Jepang mulai mengalami kemunduran ekonomi sebagai akibat berantai dari penguatan nilai tukar yen yang cukup tajam. Penurunan investasi dan daya saing ekspor juga turut melemahkan kinerja ekonomi Jepang.
Merespons situasi tersebut, Pemerintah Jepang melakukan stimulus dengan menggunakan instrumen fiskal. Namun nyatanya, defisit anggaran justru mengancam, yakni mencapai 2,5 persen pada tahun 1993.
Gejolak ekonomi global pun turut memperparah kondisi ekonomi Jepang. Krisis keuangan Asia tahun 1998 berdampak pada kontraksi ekonomi Jepang sebesar minus 2,1 persen. Masalah semakin kompleks saat krisis yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2001 turut menghampiri Jepang. Dilanjutkan dengan naiknya defisit hingga mencapai 11,2 persen dari PDB pada 2008.
Ibarat jatuh tertimpa tangga, saat ekonomi masih belum stabil, Jepang dilanda gempa bumi dahsyat pada tahun 2011. Gempa berkekuatan 9,0 skala Richter tersebut mengakibatkan gelombang tsunami setinggi 10 meter. Sejumlah kota porak-poranda, termasuk Tokyo.
Dengan dipilihnya Tokyo sebagai tuan rumah Olimpiade 2020, seolah membangkitkan kembali semangat Negeri Sakura tersebut. ”Ini memotivasi kami agar tak larut dalam kesedihan yang mendalam. Jepang akan bekerja keras untuk membayar kepercayaan dunia,” ujar Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang kala itu, seusai Presiden IOC mengumumkan keputusan tuan rumah Olimpiade 2020.
Berlomba
Tak hanya Olimpiade 2020 yang diperebutkan oleh negara-negara di dunia. Sejarah mencatat, setiap menjelang pemilihan tuan rumah olimpiade, sejumlah negara mencalonkan diri untuk menjadi tuan rumah pergelaran olahraga bergengsi tersebut.
Pada Olimpiade 2016, sebanyak tujuh negara mengikuti seleksi tuan rumah olimpiade. Persaingan tersebut dimenangkan oleh Rio de Janeiro, Brasil. Bahkan, pada Olimpiade 2004, kota Athena, Yunani, harus melawan sepuluh negara lainnya yang berjuang untuk menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas ke-28.
Hingga Olimpiade Musim Panas yang akan datang pun terus diupayakan beberapa negara untuk menjadi tuan rumah. Indonesia turut berperan aktif dalam pencalonan sebagai tuan rumah Olimpiade 2032.
Apalagi saat diumumkan bahwa Olimpiade Tokyo 2020 ditunda selama setahun karena adanya pandemi, Komite Olimpiade Indonesia lebih optimistis dan mendapatkan fleksibilitas lebih untuk promosi. Indonesia bahkan menggalang dukungan dari negara-negara di Asia demi meraih kemenangan menjadi tuan rumah Olimpiade ke-35 tesebut.
Meski demikian, optimisme tersebut harus luruh seiring dengan dikukuhkannya Brisbane, Australia, sebagai tuan rumah Olimpiade ke-35 tersebut. Brisbane disebut-sebut sebagai lawan terdekat Indonesia saat itu.
Selain Indonesia dan Brisbane, sejumlah negara, seperti Qatar dan Jerman, turut menyatakan keinginannya menjadi tuan rumah. Kini, Indonesia bersiap untuk mengikuti penawaran tuan rumah olimpiade ke-36 yang akan dilaksanakan pada 2036.
Tidak heran jika negara-negara berlomba menjadi tuan rumah ajang perlombaan kelas dunia, sebab sejumlah manfaat dapat diperoleh. Merujuk publikasi Britannica, setidaknya ada tiga alasan mengapa sejumlah negara ingin menjadi tuan rumah pesta olahraga.
Pertama, olimpiade disebut-sebut mampu mendorong kegiatan pariwisata yang dapat meningkatkan ekonomi lokal. Sebagai contoh, Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro mampu mendorong hadirnya 6,6 juta turis asing ke Brasil. Lebih dari separuhnya tercatat sebagai pengunjung baru.
Selain Brasil, Inggris juga menyambut lebih dari satu pengujung setiap detik pada Juni 2013 setelah Olimpiade London 2012. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlahnya meningkat 12 persen.
Faktor kedua, olimpiade juga dinilai mampu meningkatkan perdagangan global dan status negara tuan rumah. Dengan dipilihnya suatu negara menjadi tuan rumah olimpiade, negara tersebut akan cenderung lebih sering diundang dalam perkumpulan atau organisasi ekonomi global yang cukup bergensi. Hal tersebut menjadi momentum untuk mempromosikan suatu negara di kancah internasional.
Setelah sukses menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 1960 di Roma, Italia bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan memulai negosiasi Messina yang mengarah pada pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
Faktor terakhir adalah terciptanya rasa kebanggaan nasional atau nasionalisme saat suatu negara menjadi tuan rumah olimpiade. Menurut Moorad Choudhry, Bendahara Divisi Perbankan Korporat Royal Bank of Scotland, faktor perasaan senang yang sejati saat menjadi tuan rumah Olimpiade bisa sangat berdampak positif bagi perekonomian. Tidak hanya dalam hal pengeluaran yang lebih tinggi, tetapi juga dalam produktivitas di tempat kerja, yang pada gilirannya meningkatkan output.
Olimpiade Tokyo 2020 yang diselenggarakan di masa pandemi menjadi tantangan menghadirkan kisah suskes dari sisi ekonomi. Mengutip pemberitaan The Japan Times, seorang profesor kehormatan di Universitas Kansai memprediksi bahwa penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo tanpa penonton akan mengakibatkan kerugian ekonomi hingga 2,4 triliun yen Jepang. Nilai tersebut setara dengan 21,71 miliar dollar AS.
Keuntungan ekonomi dari acara olahraga dan budaya promosi yang biasanya diperoleh tuan rumah usai pertandingan pun diperkirakan akan berkurang setengahnya menjadi 7,7 dollar AS. Tidak adanya penonton juga akan menyebabkan permintaan pariwisata yang lebih lemah dan peluang bisnis yang lebih sedikit.
Meski demikian, prediksi tersebut tak menyurutkan kans negara-negara untuk menjadi tuan rumah di ajang Olimpiade berikutnya. Keyakinan bahwa pandemi sudah berakhir empat tahun mendatang dan rekam jejak kesuksesan penyelenggaraan di luar masa pandemi, boleh jadi membangkitkan optimisme tersebut.
Pengalaman Indonesia
Bagi Indonesia, perjuangan untuk menjadi tuan rumah olimpiade boleh jadi tak lepas dari kisah sukses saat menjadi tuan rumah Asian Games tahun 2018 silam. Dalam sebuah survei yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB Universitas Indonesia tercatat sejumlah dampak positif dari kegiatan tersebut.
Ajang perlombaan se-Asia pada 2018 tersebut tercatat sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Asian Games. Sebanyak 11.478 atlet datang dari 45 negara. Jumlah atlet tersebut melampaui Asian Games Incheon 2014 (Korsel), Guangzhou 2010 (China), atau Doha 2006 (Qatar).
Penonton internasional yang hadir sebanyak 78.854 orang, Bersama dengam lebih kurang 10 ribu jurnalis internasional. DItambah lagi dengan sekitar 13 ribu panitia lokal dan relawan dan 1.149 pejabat negara.
Survei yang diikuti 2.618 responden itu terdiri atas 73,1 persen responden internasional, 16,1 persen responden nasional, dan 10,8 persen UMKM. Dari seluruh responden internasional, panitia penyelenggara menjadi kelompok dengan pengeluaran terbesar selama Asian Games 2018, yakni sebesar 2.661,44 dollar AS (setara Rp 38,27 juta).
Sementara atlet menjadi kelompok dengan pengeluaran terbesar untuk responden nasional. Besaran pengeluarannya sekitar Rp 8,8 juta. Dari total pengeluaran tersebut, pengeluaran untuk makanan dan minuman serta cenderamata menjadi yang terbesar.
DKI Jakarta dan Palembang sebagai lokasi diselenggarakannya Asian Games 2018 pun turut merasakan dampaknya. Bappenas memperkirakan produk domestik regional bruto (PDRB) riil DKI Jakarta bertambah sebesar Rp 14 triliun untuk jangka waktu 2015-2019.
Baca juga: Menjaga Asa Kebangkitan Jepang sebagai Tuan Rumah Olimpiade Tokyo 2020
Sementara PDRB riil Palembang diperkirakan naik Rp 4,2 triliun untuk periode yang sama. Kegiatan pembangunan infrastruktur, pengeluaran pengunjung, hingga investasi konstruksi turut mendorong pergerakan ekonomi tersebut.
Bagaimanapun, kegiatan olaharaga bukan hanya semata-mata pertandingan untuk memperebutkan kemenangan. Perhelatan akbar tersebut setidaknya menghidupkan empat hal, yakni sosial, budaya, politik dan ekonomi. Apalagi, keberhasilan menjadi tuan rumah pertandingan dapat menjadi ajang promosi di mata internasional dan bekal untuk berpartisipasi dalam percaturan dunia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kisah Sukses Negara Maju di Olimpiade