Optimisme Autoimun pada Vaksin Covid-19
Peluang penyintas autoimun untuk mendapat vaksin Covid-19 tidak sama dengan mereka yang normal atau dalam kondisi sehat. Masih ada harapan dan optimisme bagi penyandang penyakit ini untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19.
Penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuhnya sendiri. Dalam laman Alodokter disebutkan, terdapat lebih dari 80 penyakit yang digolongkan penyakit autoimun. Di antaranya memiliki gejala serupa, seperti kelelahan, nyeri otot, dan demam.
Pada kondisi orang normal, sistem kekebalan tubuh berfungsi menjaga tubuh dari serangan organisme asing, seperti bakteri atau virus. Ketika terserang organisme asing, sistem kekebalan tubuh akan melepas protein yang disebut antibodi untuk melawan dan mencegah terjadi penyakit.
Namun, pada penderita penyakit autoimun kondisi itu terbalik, yang terjadi adalah pelepasan sejumlah protein, yang disebut autoantibodi, yang menyerang sel-sel sehat. Sebagian ada yang menyerang organ tertentu, sebagian lain menginvasi seluruh sistem tubuh secara sistemik. Dengan kata lain, sistem kekebalan tubuh melihat sel tubuh yang sehat sebagai organisme asing sehingga antibodi yang dilepaskan sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat itu.
Berdasarkan American Autoimmune Related Diseases Association, ada sekitar 100 penyakit autoimun di dunia. Untuk Indonesia, jenisnya ialah rheumatoid arthritis, sindrom sjögren, systemic lupus erythematosus (SLE), ankylosing spondiyitis, myasthenia gravis, penyakit Crohn, kolitis ulseratif, trombositopenia autoimun (ITP), anemia hemolitik autoimun (AIHA), hepatitis autoimun, dermatomyositis, sindrom Guillain Barre, ensefalitis NDMA, dan berbagai kondisi autoimun lainnya.
Systemic lupus erythematosus (SLE) terbilang banyak diderita penduduk di beberapa negara. Penyakit ini pada awalnya lebih banyak terjadi di kawasan nontropis, tetapi sekarang juga banyak melanda wilayah tropis. Mengacu pada Lupus Foundation of America, diperkirakan ada sekitar 5 juta penduduk dunia yang mengalami penyakit ini.
Sejumlah referensi umumnya menyebut faktor genetik individu, lingkungan, dan hormonal sebagai penyebab systemic lupus erythematosus ini. Dalam konteks autoimun, ada juga faktor lain, seperti diet tinggi inflamasi. Contohnya, makanan ultra proses yang kaya dengan gula, lemak jenuh, gluten, dan berbagai zat inflamatorik lainnya.
Beragam penelitian tentang kasus infeksi kronik, seperti epstein barr dan cytomegalovirus, menunjukkan bahwa ketidakseimbangan mikrobiom saluran cerna, kekurangan faktor nutrisi penting, seperti Vitamin D, stres berkepanjangan, dan merokok berperan dalam timbulnya autoimun.
Vaksinasi dan autoimun
Perjalanan Indonesia dalam vaksinasi Covid-19 masih panjang. Data laman covid19.go.id per 12 Juli 2021 menunjukkan vaksinasi dosis tahap pertama mencapai 36.368.191 orang dan vaksinasi dosis kedua telah mencapai 15.036.468 orang. Pemerintah menargetkan angka vaksinasi secara nasional sebesar 181.554.469 orang. Jika mengacu angka ini, posisi penerima vaksin secara lengkap atau dosis kedua baru mencapai 8,2 persen. Perjalanan vaksinasi masih jauh dari target untuk mencapai kekebalan komunal atau herd immunity.
Di tengah belum meratanya target tersebut, target vaksinasi juga sempat menjadi perdebatan. Pertengahan Juni lalu, pemerintah mengatakan bahwa vaksin hanya diberikan kepada orang sehat. Ada sederet kriteria bagi yang tidak bisa menerima, salah satunya adalah yang menderita autoimun (AI).
Penderita disarankan untuk menunda atau tidak langsung divaksin. Berbagai kalangan di masyarakat berpendapat, vaksinasi justru melemahkan dan membuat penyandang autoimun lebih rentan terinfeksi virus korona.
Meskipun demikian, sejumlah dokter memberikan alasan yang berbeda apakah penderita autoimun bisa mendapat kesempatan yang sama. Perlu diketahui, salah satu hal mendasar dalam masalah penderita autoimun adalah konsumsi obat-obatan penekan sistem kekebalan tubuh atau imunosupresan. Dengan ditekannya respons imun, berarti imunitas rendah. Faktor inilah yang diperlukan tubuh untuk merespons vaksin.
Menurut Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio, jika kondisi autoimun tidak berat, sebaiknya hentikan dulu imunosupresan. Kalau tetap mengonsumsi, vaksin tak bermanfaat dan tidak bekerja.
Persoalan ini juga ditekankan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia pada 9 Februari, yang kemudian direvisi pada 18 Maret lalu. Dalam lampiran rekomendasi, disebutkan bahwa yang memenuhi kriteria tidak layak divaksinasi coronavac adalah individu dengan imunodefisiensi primer atau disebut sebagai sistem kekebalan tubuh yang bekerja tidak benar terkait dengan penyebab komposisi genetik individu.
Kondisi terkontrol
Sebetulnya penyintas autoimun merupakan kelompok yang justru harus didorong untuk divaksinasi. Kondisi autoimun merupakan keadaan yang menahun, dan sampai sekarang belum ditemukan metode pengobatan yang bisa menyembuhkan. Di samping itu, penyintas autoimun juga berisiko tinggi terinfeksi Covid-19.
Penyakit autoimun banyak menyerang wanita, terutama usia produktif, sehingga hal ini memang sangat berbahaya. Pada beragam kondisi, autoimun biasanya menyebabkan kerusakan sel jaringan dalam tubuh, peradangan, gangguan pada persendian, saraf, kelenjar, dan organ penting lainnya.
Namun, dengan diagnosis segera, pengobatan yang tepat, pengaturan gaya hidup yang sesuai dan dukungan keluarga serta sesama penyintas, sebagian besar orang dengan autoimun (ODAI) bisa menjalani hidup dengan sehat, produktif, dan kondisi penyakit yang terkontrol. Nyatanya cukup banyak yang bisa mencapai remisi (autoimun tidak aktif) dengan obat minimal atau bahkan tanpa obat.
Untuk kasus seperti systemic lupus erythematosus (SLE), pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini juga bisa dibilang sudah lebih baik. Setidaknya ini bisa dilihat dari banyaknya edukasi sejumlah komunitas, seperti Yayasan Lupus Indonesia, Yayasan Syamsi Dhuha, dan Marisza Cardoba Foundation. Namun, harus diakui, masih banyak misinformasi terkait dengan autoimunitas secara umum, termasuk faktor-faktor penyebab, pencetus, cara diagnosis, dan pengobatannya.
Dalam konteks vaksin Covid-19, sampai sekarang memang belum ada pilihan khusus untuk penderita autoimun. Menurut dokter Stevent Sumantri, konsultan alergi imunologi Klinik RS Pendidikan Siloam, vaksinasi bisa diberikan kepada penyintas autoimun. Dengan catatan, sejauh kondisinya terkontrol dan tergantung dari jenis penyakitnya sehingga definisi terkontrol pada penyakit yang diderita bisa sangat berbeda. Dengan kata lain, layak tidaknya vaksinasi Covid-19 dikembalikan kepada dokter yang merawat.
Cukup efektif
Studi Lupus Europe Survey Center (Vacolup) berjudul ”Tolerance and Consequences of Vaccination Against Covid-19 in Lupus Patients” pada Mei 2021 menunjukkan respons yang cukup baik. Mayoritas pasien penyandang systemic lupus erythematosus (SLE) yang divaksin dengan Pfizer (55 persen), Moderna (8 persen), Astra-Zeneca (10 persen), Sinovac (26 persen), Janssen (1 persen), dan lainnya (0,6 persen) tidak banyak mengalami efek samping, baik pada tahap pertama maupun kedua.
Berdasarkan sejumlah data riset di Eropa, profil keamanan, efek samping, dan efektivitas sama seperti pada populasi pada umumnya. Studi Vacolup itu memperlihatkan, tidak ada kekambuhan lebih tinggi pada penyintas systemic lupus erythematosus saat divaksin. Bahkan, sebelum Covid-19, vaksinasi influenza dan pneumonia sudah menjadi bagian esensial dalam pengendalian kekambuhan dan komplikasi pada pasien AI.
Dari sisi komorbid, kondisi autoimun bisa dibilang sejajar dengan pasien dengan kondisi kronik, seperti kanker, diabetes melitus, gangguan ginjal, dan jantung. Ini juga berarti harus ada kontrol teratur dari dokter yang merawat, termasuk memastikan tidak ada kontraindikasi spesifik dari vaksin yang mungkin tidak terdeteksi sebelumnya. (LITBANG KOMPAS)