Seragam Sekolah Harus Melindungi Semua Anak Negeri
Perilaku yang baik didasarkan pada membangun kesadaran diri anak-anak bukan atas dasar paksaan.
Oleh
Kendar Umi Kulsum
·5 menit baca
Kebijakan aturan tentang seragam sekolah acap kali menjadi polemik di masyarakat. Peraturan terkait seragam sekolah yang dikeluarkan pemerintah pusat sering kali berbeda pelaksanaannya di daerah.
Pada awal 2021, viral sebuah video seorang ayah yang menceritakan pengalaman perihal putrinya yang dipaksa mengenakan jilbab ke sekolah, padahal dia seorang non-Muslim. Video berdurasi 15 menit 24 detik itu tersebut berisi rekaman pertemuan sang ayah dengan Wakil Kepala Sekolah SMKN 2 Padang di Kota Padang, Sumatera Barat.
Video yang diviralkan sebuah akun di Facebook yang berisi adu argumen soal kewajiban siswi termasuk non-Muslim untuk memakai jilbab di sekolah.
Video yang beredar luas pada waktu beberapa hari tersebut akhirnya membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bereaksi dengan menegaskan bahwa sekolah tidak boleh memaksakan seragam sekolah dengan identitas agama. Menteri pun langsung menegur instansi terkait di Kota Padang hingga akhirnya Kepala Sekolah SMKN 2 Padang meminta maaf atas kesalahan yang dianggap bersifat administratif di sekolahnya.
Penggunaan seragam jilbab di Ranah Minang ini sudah berlaku sejak lama, yaitu pada 7 Maret 2005 saat Wali Kota Padang Fauzi Bahar mengeluarkan Instruksi No 451.422.Binsos-iii/2005 salah satunya tentang aturan berpakaian Muslim atau Muslimah bagi siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MAN.
Instruksi tersebut ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang, Kepala Kantor Departemen Agama Kota Padang, Ketua DMI Kota Padang, Camat se-Kota Padang serta Lurah se-Kota Padang.
Pada 30 Maret 2005, semua kepala sekolah di Kota Padang mulai SD, SMP, SMA, SMK Negeri/Swasta menerima Instruksi Wali Kota Padang tersebut. Di sinilah dimulainya masa seluruh siswa menggunakan jilbab baik Muslim maupun non-Muslim.
Peraturan dan implementasinya
Peraturan tentang penggunaan jilbab sebagai seragam sekolah di sekolah sekolah negeri bukanlah menjadi kewenangan pemerintah pusat, melainkan kebijakan setiap daerah. Otoritas pembuatan peraturan daerah di Indonesia dimulai ketika keran Otonomi Daerah dibuka.
Pada saat itu, beberapa wilayah menetapkan kebijakan sendiri. Sejak 2001 tiga Kabupaten di Sumatera Barat dan Jawa Barat mulai mewajibkan jilbab sebagai seragam sekolah.
Pada 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014, tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dalam peraturan ditegaskan ada tiga macam seragam sekolah, yaitu seragam nasional, seragam pramuka dan seragam khas sekolah masing-masing. Pada saat merilis aturan tersebut Menteri juga menegaskan bahwa tidak perlu mempersoalkan jika ada sekolah yang menggunakan atribut keagamaan sebagai seragam sekolah.
Peraturan mengenakan pakaian serba panjang ini sebelumnya telah dikeluarkan oleh Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Azrul Azwar yang menerbitkan instruksi setebal 50 halaman termasuk penggunaan seragam Pramuka putri yang diwajibkan menggunakan jilbab, rok panjang atau celana panjang dan kemeja lengan panjang.
Instruksi yang dikeluarkan pada Desember 2012 ini dilengkapi dengan gambar tentang pakaian seragam yang panjang dengan model tutup kepala dan kain warna coklat muda. Meskipun pada aturan Mendiknas 2014 tidak menyiratkan kewajiban menggunakan seragam Muslim dengan penutup kepala, tetapi faktanya aturan ini dianggap membenarkan penggunaan atribut keagamaan sebagai seragam sekolah.
Sehingga beberapa wilayah di Indonesia kemudian menggunakan jilbab sebagai seragam sekolah. Bahkan, di DKI Jakarta hal itu pernah terjadi. Namun, perda yang mewajibkan seragam jilbab di sekolah negeri tersebut kemudian dihapus oleh Gubernur DKI saat itu Basuki Tjahaja Purnama.
SKB 3 menteri
Terjadinya pemaksaan seragam berjilbab bagi siswa non-Muslim ditanggapi pemerintah dengan dikeluarkannya surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Pada 3 Februari SKB tersebut ditandatangani yang isinya menyatakan tentang kebebasan bagi guru dan siswa untuk menentukan seragam sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan bahwa sekolah negeri tidak boleh mewajibkan atau melarang seragam atribut agama tertentu ke sekolah. Saat itu Wali Kota Pariaman Genius Umar menolak SKB3 Menteri dengan dalih bahwa Kota Pariaman warganya homogen Muslim, non-Muslim hanya sedikit.
Di sisi lain, pemahaman itu juga ditolak oleh Ketua KPAI Susanto yang melihat SKB 3 menteri adalah menolak paksaan untuk berjilbab, tetapi secara intrinsik memiliki pesan sekolah bisa memotivasi anak didik menggunakan jilbab dengan membangun kesadaran bukan dengan keharusan atau paksaan. SKB ini tentunya memberikan jaminan hukum bagi siswa non-Muslim agar tidak mengalami tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penolakan pada SKB 3 Menteri dibawa ke Mahkamah Agung oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (Sumatera Barat). MA mengabulkan gugatan tersebut dengan memutus perkara nomor 17P/HUM/2021 pada 31 Mei 2021.
SKB tersebut dianggap bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Berbagai kalangan menyesali penolakan SKB 3 menteri oleh MA tersebut karena fakta di lapangan menunjukkan, pemaksaan siswa non-Muslim mengenakan jilbab terjadi bukan kali ini saja, tetapi telah terjadi beberapa kali dan di beberapa provinsi.
Pemerintah memiliki aturan seragam dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 Ayat 1 bahwa perilaku yang baik didasarkan pada membangun kesadaran diri anak-anak bukan atas dasar paksaan.
Kesadaran tersebut seharusnya dibangun atas dasar dialog memberikan pengetahuan serta memberikan kebebasan untuk membuat keputusan. Selain itu, pendidikan tidak boleh memiliki unsur paksaan dan harus menghargai ekspresi keagamaan setiap anak didik. (LITBANG KOMPAS)