Mengapa di Dunia Ada Teroris?
Kepingan kisah tentang terorisme yang berulang kali terjadi di dunia setidaknya telah memberikan gambaran mengapa aksi teror terus terjadi dan bertahan sebagai sebuah peristiwa lintas massa.
Pada setiap aksi teror, sering kali tebersit satu pertanyaan mendasar, yakni mengapa ada teroris di saat kita memiliki pilihan untuk hidup dalam damai? Untuk menjawab hal ini, kita perlu memahami aksi teror dari sudut pandang sejarah. Begini kisahnya.
Teror, dalam arti kata sebagai sebuah upaya untuk menebar ketakutan dengan cara mengancam atau menggunakan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu, bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan manusia. Tindakan ini telah dilakukan sejak berabad-abad silam.
Cukup sulit untuk mengetahui kapan tepatnya aksi teror pertama kali dilakukan dalam sejarah peradaban manusia. Namun, catatan klasik tentang teror dapat ditemui dari karya sejarawan Yunani kuno, Xenophon (430-349 SM). Saat itu, upaya untuk memberikan rasa takut secara psikologi terhadap musuh telah mulai dilakukan.
Aksi teror juga dilakukan oleh Kaisar Romawi pada abad pertama Masehi. Upaya perampasan harta benda hingga pembuangan dilakukan sebagai wujud teror terhadap musuh. Teror menjadi jalan yang dianggap ampuh untuk menyingkirkan lawan politik.
Dari sini, teror dapat dipahami sebagai sebuah langkah yang digunakan untuk menunjukkan kuasa politik terhadap dominasi yang dimiliki. Artinya, hasrat berkuasa adalah salah satu faktor pendorong untuk melakukan tindakan teror di pada awal-awal peradaban Masehi.
Kondisi inilah yang terus berulang kali terjadi di berbagai belahan dunia. Ancaman psikologis hingga tindakan kekerasan dilakukan secara terbuka demi menancapkan hegemoni.
Pada era penjelajahan samudra atau the age of discovery, misalnya, aksi teror dilakukan oleh para penjelajah untuk memberikan rasa takut kepada penduduk lokal. Tujuannya tak lain adalah untuk menguasai sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu wilayah.
Tragedi ini pernah dialami oleh penduduk di Kepulauan Banda, Maluku, yang dibantai oleh VOC pada pertengahan abad ke-17. Hal ini salah satunya dilakukan dengan maksud untuk menguasai pala yang saat itu menjadi primadona dunia.
Aksi teror juga tampak dalam peristiwa seputar Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, Masa-masa ini juga dikenal dengan sebutan pemerintahan teror atau le gouvernement de la terreur.
Pada periode ini, puluhan ribu orang yang tidak mendukung revolusi ditangkap dan dieksekusi. Saat itulah istilah teror mulai dikenal dalam skala politik yang lebih luas (Adjie, 2005).
Memasuki medio pertama abad ke-20, aksi teror juga dilakukan dalam skala yang lebih luas dan mengerikan, yakni perang dunia. Hasrat politik untuk berkuasa dan melakukan balas dendam turut mendorong banyak negara terlibat dalam aksi ini.
Jika melihat pola dan gerakan yang dilakukan hingga medio awal abad ke-20, aksi teror tampak dilakukan secara terbuka dengan tujuan yang terukur, jelas, dan tegas. Sifat gerakan ini beragam, mulai dari pemberian ancaman untuk menekan psikologis lawan, hingga tindakan kekerasan. Sementara penyebabnya juga tidak jauh dari hasrat politik untuk berkuasa ataupun mempertahankan kuasa.
Akan tetapi, pelaku teror belum disebut sebagai teroris kala itu. Batasan aksi teror pun masih berada di ruang abu-abu antara separatisme, terorisme, dan radikalisme. Kondisi ini terbilang wajar mengingat praktik imperialisme masih jamak dilakukan di berbagai belahan dunia. Artinya, pemberontakan penduduk terjajah bisa saja dinilai sebagai sebuah teror oleh para penjajah. Sebaliknya, para penjajah juga dinilai sebagai pelaku teror oleh penduduk pribumi.
Baca juga: Teror yang Gagal Menebar Rasa Takut di Makassar
Perubahan
Memasuki medio kedua abad ke-20, atau saat perang dunia telah berakhir dan banyak negara yang telah melepaskan diri dari praktik imperialisme, aksi teror masih tetap hidup. Pola dan tujuannya masih tidak jauh berbeda, yakni kekuasaan politik hingga revolusi sosial. Namun, terdapat gerakan yang menyentuh ranah fundamental, yakni ideologi, baik yang mencakup keagamaan maupun nasionalis-separatis.
Pada periode ini, aksi teror mulai dipisahkan pada tiga konsep, yakni separatisme, radikalisme, dan terorisme. Secara sederhana, separatisme dapat dipahami sebagai sebuah upaya pemisahan dari pemerintahan yang berdaulat. Sementara radikalisme adalah sebuah upaya untuk mengubah sistem sosial dan politik secara menyeluruh melalui kekerasan. Adapun terorisme adalah sebuah tindakan yang bertujuan menimbulkan rasa takut kepada publik.
Pada periode inilah banyak muncul penjabaran tentang istilah terorisme dari berbagai rumpun ilmu dan lembaga. Menurut Walter Laqueur, sejarawan dan ahli politik dari Amerika, dalam karyanya berjudul The New Terrorism: Fanaticism and the Arms of Mass Destruction (1999), setidaknya terdapat lebih dari 100 pengertian terorisme yang ada di berbagai belahan dunia.
Laqueur kemudian mencoba merumuskan suatu benang merah dari berbagai pengertian dan peristiwa sejarah terkait terorisme. Menurut dia, terorisme selalu berkaitan dengan ancaman dan tindakan kekerasan yang didorong oleh motivasi politik hingga persoalan keagamaan, atau, lebih tepatnya kesalahpahaman dalam memahami ajaran agama.
Pengertian terorisme yang telah dirumuskan oleh Laqueur dapat dipertegas dengan definisi yang digunakan oleh The Institute for Economics and Peace, sebuah lembaga penelitian di Australia, dalam menyusun indeks terorisme global. Dalam menyusun indeks, pengertian terorisme dibatasi sebagai sebuah ancaman, intimidasi, dan tindakan dengan menggunakan kekerasan secara ilegal oleh aktor nonnegara untuk mencapai tujuan politik, ekonomi, agama, atau sosial.
Kembali ke pembahasan sejarah, jika berkaca pada pengertian ini, jelas terlihat bahwa pelaku teror atau yang disebut sebagai teroris telah mulai jamak ditemui pada medio kedua abad ke-20.
Pada 1980-1987, misalnya, secara keseluruhan terdapat lebih dari 3.000 aksi yang dilakukan oleh para teroris di dunia. Aksi utama yang dilakukan adalah peledakan bom yang mencapai 1.364 aksi. Saat itu, aksi teroris banyak menyasar negara-negara di Eropa Barat, Timur Tengah, dan Amerika Latin.
Aksi ini jelas bertujuan untuk menimbulkan kekacauan. Beberapa literatur juga menyebut tindakan ini sebagai sebuah upaya untuk mengimbangi eksistensi pemerintahan yang sah.
Hingga kini, aksi teror masih terus dilakukan pada sejumlah negara. Dalam indeks terorisme global 2020, tampak kawasan Asia dan Afrika mendominasi 10 besar negara dengan indeks terorisme tertinggi. Indonesia juga termasuk ke dalam 40 besar negara dengan indeks terorisme tertinggi di dunia. Kondisi ini berbeda dibandingkan dengan tahun 1980-an saat aksi terorisme banyak terjadi di kawasan Eropa Barat dan Amerika Latin.
Baca juga: Peta Perempuan dalam Terorisme
Faktor
Jika melihat sejarah aksi teror sejak periode Yunani kuno hingga saat ini, tampak bahwa aksi teror tidak terlepas dari adanya tujuan politik yang hendak dicapai. Aksi teror yang dilakukan jelang abad ke-19 lebih menitikberatkan tindakan dengan motif penguasaan.
Sementara pada abad ke-20 dan abad ke-21, aksi teror tidak hanya dilakukan dengan alasan dan target tunggal. Di balik aksi yang dilakukan pada sejumlah negara, terselip tujuan politik, motif keagamaan, penguasaan wilayah, hingga penguasaan ekonomi.
Akan tetapi, sejarawan Inggris, Michael Burleigh, dalam karyanya berjudul Blood & Rage: A Cultural History of Terrorism (2009) mengungkapkan ada faktor lain yang menyebabkan aksi teror tetap dilakukan hingga saat ini.
Selain persoalan klasik yang sering disebut sebagai faktor politik dan penguasaan wilayah, aksi teror juga disebabkan oleh persoalan moralitas dan kebencian yang teramat dalam pada suatu hal. Hal ini bahkan dinilai lebih berpengaruh sebagai faktor pendorong dibandingkan dengan persoalan ideologi dan keyakinan semata.
Menurut Burleigh, teroris adalah subyek yang memiliki persoalan dari segi moralitas. Hal ini juga sejalan dengan sejumlah penelitian tentang psikologi teroris yang kerap menyinggung bahwa teroris memiliki persoalan secara pribadi dari segi moral meskipun secara klinis tidak mengalami gejala psikotik.
Hal inilah yang kemudian mendorong sejumlah orang untuk melakukan tindakan teror dengan tujuan untuk menciptakan kekacauan secara sistematis. Persoalannya, kondisi ini berbuntut pada sasaran yang dituju.
Jika pada sebelum abad ke-19 aksi teror memiliki sasaran yang tegas, pada abad ke-20 dan abad ke-21, sejumlah teror dilakukan dengan sasaran masyarakat luas. Hal ini dilakukan agar target untuk menciptakan kekacauan dan publikasi media dapat tercapai.
Terorisme, dari sudut pandang sejarah, memang tidak cukup dipahami sebagai sebuah tragedi atau gerakan tunggal. Berdasarkan analisis dari beberapa sejarawan tentang aksi teror, selalu ada sebab dan target yang beragam dari setiap aksi yang dilakukan.
Apalagi, jika terorisme dikaitkan dengan organisasi teroris yang memiliki kader aktif, pendukung pasif, hingga simpatisan, tentu hal ini harus dipahami secara lebih kompleks.
Tentu tak cukup memahami aksi teror dari kacamata sejarah semata. Namun, beberapa kepingan kisah tentang terorisme yang berulang kali terjadi di dunia setidaknya telah memberikan gambaran mengapa aksi ini terus terjadi dan bertahan sebagai sebuah peristiwa lintas massa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?