Haruskah Menerima Vaksin Covid-19 Sinovac?
Melihat materi vaksin, cara kerja vaksin, serta kesiapan petugas kesehatan, kiranya masyarakat tidak perlu ragu untuk menerima vaksin Sinovac.
Vaksin Sinovac resmi digunakan pemerintah dalam program vaksinasi massal di Indonesia sejak 13 Januari 2020. Antibodi yang dibentuk oleh vaksin ketika di dalam tubuh diharapkan menjadi pemicu kekebalan masyarakat terhadap Covid-19.
Terlepas dari kontroversi di masyarakat atas pemilihan vaksin Sinovac oleh pemerintah, program vaksinasi massal telah dimulai. Sebelumnya, pada 11 Januari 2020, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) resmi menerbitkan izin penggunaan darurat untuk vaksin Covid-19 Sinovac. Di Indonesia, vaksin Sinovac telah melalui hasil uji klinis di Bandung, Jawa Barat, dan mendapat klaim efikasi sebesar 65,3 persen.
Vaksin Sinovac adalah salah satu vaksin yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/12758/2020, ada enam vaksin lainnya yang diperbolehkan untuk digunakan, tetapi membutuhkan uji klinis lebih lanjut. Keenamnya adalah vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero), vaksin AstraZeneca, vaksin dari National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm), vaksin Moderna, vaksin Pfizer Inc and BioNTech, dan vaksin Novavax Inc.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Juru Bicara Vaksin Covid-19, Siti Nadia Tarmidzi, memastikan masyarakat tidak bisa memilih vaksinnya karena ketersediaannya terbatas. Namun, nantinya, tiap orang akan mendapatkan vaksin yang sama. Misalnya, jika seseorang menerima vaksin Sinovac dalam dua dosis, keduanya berasal dari Sinovac, bukan campuran antarmerek vaksin.
Sejauh ini, Kemenkes tidak akan memberlakukan denda bagi masyarakat yang menolak vaksin dan lebih mengusahakan pendekatan edukatif agar masyarakat mau menerima. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengetahui seluk-beluk vaksin Sinovac yang digunakan saat ini. Begitu pula dengan efek samping ringan yang mungkin dirasakan tubuh setelah menerima vaksin.
Vaksin CoronaVac
Vaksin Sinovac sebenarnya bernama CoronaVac. Vaksin ini dibuat di China dan dikembangkan oleh perusahaan swasta bernama Sinovac. Secara singkat, CoronaVac bekerja dengan mengajarkan sistem kekebalan untuk membuat antibodi yang dapat melawan virus Corona SARS-CoV-2. Antibodi yang terbentuk ini kemudian menempel pada protein virus yang disebut spike proteins.
Untuk membuat CoronaVac, para peneliti Sinovac memulainya dengan pengambilan sampel virus Covid-19 dari pasien di China, Inggris, Italia, Spanyol, dan Swiss. Dari hasil penelitian yang dilakukan, akhirnya satu sampel dari China menjadi dasar pembuatan vaksin CoronaVac.
Selanjutnya, para peneliti menumbuhkan sampel virus Covid-19 tersebut di sel ginjal monyet. Mereka menyiram virus dengan bahan kimia yang disebut beta-propiolakton. Senyawa tersebut menonaktifkan virus Covid-19 dengan terikat pada gennya. Hal ini menyebabkan virus Covid-19 tidak bisa lagi bereplikasi, tetapi protein mereka tetap utuh.
Vaksin CoronaVac bekerja dengan mengajarkan sistem kekebalan untuk membuat antibodi yang dapat melawan virus Corona SARS-CoV-2.
Para peneliti kemudian menarik virus yang sudah tidak aktif itu dan mencampurkannya dengan sejumlah kecil senyawa berbasis aluminium yang disebut adjuvan. Senyawa ini merangsang sistem kekebalan untuk meningkatkan responsnya terhadap vaksin. Penggunaan adjuvan dalam kandungan vaksin juga bertujuan mengurangi efek samping dalam tubuh seseorang, seperti demam, menggigil, dan nyeri pada bagian tubuh tertentu.
Sementara itu, penggunaan virus yang tidak aktif dalam penemuan vaksin sudah digunakan selama lebih dari satu abad. Di era 1950-an, Jonas Salk menggunakan virus yang dinonaktifkan untuk membuat vaksin polio. Cara ini juga menjadi langkah dasar untuk penemuan vaksin rabies dan hepatitis A.
Dalam CoronaVac, kandungan virus Covid-19 yang sudah mati ditelan oleh sel kekebalan yang disebut sel pembawa antigen. Sel yang menyajikan antigen ini merobek virus Covid-19 dan menampilkan beberapa fragmennya di permukaannya. Di sinilah kemudian Sel T Pembantu (Helper T Cells) berfungsi mendeteksi fragmen tersebut. Jika fragmen cocok dengan salah satu protein permukaannya, Sel T menjadi aktif dan dapat membantu merekrut sel kekebalan lain untuk merespons vaksin.
Kemudian, jenis sel kekebalan lain, yang disebut Sel B, juga dapat menghadapi virus Covid-19 yang tidak aktif. Sel B memiliki protein permukaan dalam berbagai bentuk dan beberapa memiliki kecocokan untuk menempel pada virus Covid-19. Ketika Sel B terkunci, ia menarik sebagian atau seluruh virus ke dalam dan menampilkan fragmen virus Covid-19 di permukaannya.
Dengan begitu, Sel T Pembantu yang diaktifkan melawan virus Covid-19 dapat menempel pada fragmen yang sama. Ketika itu terjadi, Sel B menjadi aktif dan berkembang biak, serta mengeluarkan antibodi yang memiliki bentuk yang sama dengan protein permukaannya.
Sampai pada tahap ini, antibodi dalam tubuh seseorang yang menerima vaksin telah terbentuk. Antibodi tersebut yang menargetkan spike proteins dan mencegah virus memasuki sel dalam tubuh. Jenis antibodi lain dapat memblokir virus dengan cara yang lain pula.
Di samping kemampuan vaksin ini, pihak CoronaVac belum mengeluarkan rilis resmi terkait durasi lamanya perlindungan tersebut dapat bertahan. Mungkin saja tingkat antibodi dapat turun selama beberapa bulan, maka diperlukan vaksin berkala. Akan tetapi, sistem kekebalan juga mengandung sel khusus yang disebut Sel B Memori yang dapat menyimpan informasi tentang virus Covid-19 selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun.
Efek dan penanganan
Efek samping yang mungkin dirasakan tubuh setelah menerima vaksin Sinovac hampir sama dengan vaksin Covid-19 merek lainnya. Ada tiga reaksi gejala, yakni reaksi lokal (nyeri kemerahan atau bengkak pada bekas suntikan), reaksi sistemik (demam, nyeri otot di seluruh tangan, nyeri sendi, atau melemahnya badan), dan reaksi lainnya (biduran, pembekakan, pingsan, atau reaksi alergi lainnya). Semua reaksi ini disebabkan bertemunya sistem kekebalan tubuh penerima dengan kandungan antigen dalam vaksin.
Oleh karena itu, penerima vaksin tidak diperkenankan langsung meninggalkan lokasi penyuntikan. Para penerima vaksin perlu menunggu sekitar 30 menit untuk melihat reaksi yang mungkin muncul setelahnya. Semua efek samping atau reaksi yang muncul setelah penyuntikan disebut kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI).
Untuk mengantisipasi munculnya kejadian efek samping, petugas kesehatan yang melakukan vaksinasi sudah dibekali petunjuk penanganan bila KIPI ditemukan pada penerima vaksin. Untuk reaksi ringan lokal, petugas kesehatan dapat menganjurkan penerima vaksin melakukan kompres dingin pada lokasi tersebut dan meminum parasetamol sesuai dosis.
Sementara untuk reaksi ringan sistemik, penerima vaksin dianjurkan minum air putih lebih banyak, menggunakan pakaian yang nyaman, kompres, mandi air hangat, dan meminum obat parasetamol sesuai dosis.
Jika KIPI masih berlanjut, masyarakat dapat melaporkan kepada puskesmas atau fasilitas layanan kesehatan terdekat. Laporan tersebut akan ditindaklanjuti oleh Komisi Nasional (Komnas) KIPI yang memiliki perwakilannya di tiap daerah. Penerima vaksin atau masyarakat juga dapat melaporkannya secara daring melalui laman keamananvaksin.kemkes.go.id yang disediakan Kemenkes.
Harus vaksin
Kunci keberhasilan penghentian pandemi Covid-19 melalui vaksin terletak pada cakupan vaksin atau jumlah penduduk yang menerimanya. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan penerima vaksin minimal sebanyak 70 persen populasi Indonesia atau sekitar 181,5 juta jiwa. Untuk itu dibutuhkan waktu sekitar 3,5 tahun untuk vaksinasi massal mengingat ketersediaannya yang terbatas.
Besar kecilnya jumlah penerima vaksin dalam suatu wilayah begitu penting untuk membentuk kekebalan kelompok di masyarakat (herd immunity). Menurut Anthony S Fauci, epidemiolog asal Amerika Serikat, dibutuhkan sekitar 85 persen agar vaksin sungguh efektif untuk menghentikan pandemi. Maka, dengan menyadari adanya resistensi terhadap vaksin di banyak negara, Fauci meminta penerimaan sukarela (voluntary acceptance) dari masyarakat untuk divaksin demi tercapainya tujuan tersebut.
Baca juga : Langkah Cepat Dunia Menemukan Vaksin Covid-19
Hanya saja, program vaksinasi ini tetap harus didukung penerapan protokol kesehatan yang ketat. Setelah mendapat vaksin, bukan berarti bisa bebas keluyuran tanpa menggunakan masker, tidak mencuci tangan, serta tidak menerapkan jaga jarak. Tanpa diimbangi disiplin untuk menerapkan protokol kesehatan, orang yang sudah divaksin masih berpotensi terpapar virus korona.
Dengan melihat kandungan, cara kerja vaksin Sinovac, serta kesiapan petugas kesehatan, kiranya masyarakat tidak lagi ragu untuk menerima vaksin. Lagipula, kandungan antibodi vaksin sekecil apa pun dalam tubuh seseorang tentu akan lebih berguna dibandingkan sama sekali tidak divaksin. Penerimaan akan vaksin dalam diri tiap orang perlu terus diperjuangkan demi tercapainya bonum commune (kebaikan bersama). (LITBANG KOMPAS)