Beratnya Beban Utang pada Generasi Mendatang
Tren peningkatan utang luar negeri belum diiringi dengan tren produktivitas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Tidak ada satupun negara yang terbebas dari utang, termasuk Indonesia. Hal itu karena utang menjadi bagian integral dari pengelolaan negara. Namun, pemanfaatan utang harus digunakan secara produktif agar beban generasi mendatang tidak terlampau berat.
Utang bukanlah hal tabu untuk dilakukan. Utang merupakan salah satu solusi bagi negara ketika sumber-sumber penerimaan keuangan negara masih jauh dari layak. Dalam menutup defisit anggaran, utang digunakan sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan negara.
Saat ini, kebutuhan pembiayaan bertambah seiring dengan dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19. Sementara itu, sumber pendapatan negara tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Terlebih, kontraksi ekonomi membuat sumber pendapatan semakin menipis.
Kondisi ini memaksa pemerintah untuk melebarkan defisit anggaran dalam menangani dampak Covid-19. Pelebaran defisit ini menimbulkan konsekuensi meningkatnya posisi utang dan pembiayaan utang.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah Indonesia hingga September 2020 sebesar Rp 5.756,87 triliun. Postur utang pemerintah ini berasal dari pinjaman dalam negeri (Rp 11,32 triliun), pinjaman luar negeri (Rp 852,97 triliun), SBN domestik (Rp 3.629,04 triliun), dan SBN valas (Rp 1.263,54 triliun).
Sementara itu, BI menunjukkan posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2019, ULN mencapai 403,56 miliar dollar AS, naik 7,5 persen dari 375,43 miliar dollar AS pada 2018. Sementara itu, ULN pada Agustus 2020 yakni 413,39 miliar dollar AS atau naik 5,7 persen (year on year).
Data-data ini membuat Bank Dunia menempatkan utang Indonesia pada 2019 dalam tujuh besar negara berpendapatan kecil menengah dengan utang terbesar. Negara yang berada di posisi atas yakni China, Brasil India, Rusia, Meksiko, dan Turki.
Kenaikan saldo utang ini tak terhindari karena adanya kebutuhan pembiayaan untuk akselerasi pembangunan. Besarnya nilai utang juga merupakan hasil warisan dari proyek pembangunan kepemimpinan terdahulu.
Beban semakin berat karena pembiayaan utang bergantung pada faktor eksternal seperti bunga dan pelemahan nilai tukar rupiah. Kondisi ini terjadi karena utang luar negeri berdenominasi dollar AS.
Warisan
Seiring dengan kondisi pandemi, pemerintahan memberlakukan kebijakan fiskal yang ekspansif. Kebijakan ini digunakan untuk meningkatkan output perekonomian dengan cara menstimulasi perekonomian melalui peningkatan alokasi belanja. Peningkatan belanja yang tidak sebanding dengan pendapatan ini akan menyebabkan negara mengalami defisit.
Menurut UU Nomor 17 Tahun 2003 defisit APBN dalam satu periode anggaran tidak boleh melebihi 3 persen dari PDB. Namun, karena kondisi pandemi, melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 defisit APBN diizinkan melebihi 3 persen dari PDB. Berdasarkan Perpres Nomor 72 Tahun 2020 defisit anggaran 2020 diperkirakan sebesar 6,3 persen dari PDB.
Kebijakan fiskal ekspansif ditempuh saat perekonomian sedang lesu. Pemerintah akan mencari dana dari pihak lain untuk mengambil alih peran swasta dengan cara meningkatkan belanjanya. Kemudian, utang menjadi konsekuensi dari kebijakan tersebut.
Indonesia dalam posisi berutang sejak berumur empat tahun dari kemerdekaan. Utang sebesar 4,3 miliar gulden ini berasal dari pengalihan utang Hindia Belanda sebagai hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada 1949.
Pemerintahan Orde Lama mewariskan utang sebesar 2,4 miliar dollar AS atau 29 persen terhadap PDB. Pemimpin selanjutnya menerapkan sejumlah strategi untuk menurunkan tekanan ekonomi akibat krisis 1965. Strategi tersebut berupa dibukanya keran investasi dan semakin melunaknya penerimaan bantuan dan utang luar negeri.
Utang luar negeri dijadikan sumber dana penyeimbang pelaksanaan APBN yang berimbang pada era Orde Baru. Warisan ULN dijadwalkan kembali dan utang baru diajukan untuk membiayai program sehingga pembiayaan tidak lagi mengandalkan dari Bank Sentral.
Berdasarkan data Bank Dunia, krisis moneter 1998 membuat Rupiah terdepresiasi 197 persen, pertumbuhan minus 13,1 persen dan inflasi 75,3 persen. Krisis ini berimbas pada peningkatan utang. Pada akhir 1998, rasio utang terhadap PDB sebesar 57 persen dan pada akhir 1999 menjadi sebesar 85 persen.
Rasio utang terhadap PDB berangsur-angsur turun hingga tahun 2011 mencapai 25,03 persen dari PDB. Namun, tren menjadi naik sejak 2012 hingga Agustus 2020. BI melaporkan posisi rasio utang terhadap PDB pada Agustus 2020 sebesar 37,33 persen. Rasio ini mencerminkan kemampuan membayar utang.
Meskipun rasio terhadap PDB menunjukkan masih aman atau tidak melebihi 60 persen, namun negara harus mulai waspada. Kewaspadaan ini perlu ditempuh agar kejadian krisis tidak terulang kembali di Indonesia.
Beban bertambah
Utang memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Penggunaan utang untuk hal yang bersifat investasi akan mendorong pertumbuhan dalam jangka panjang. Sedangkan, penggunaan untuk subsidi hanya akan mendorong pertumbuhan jangka pendek.
Kebijakan penggunaan utang yang tidak produktif membuat pertumbuhan hanya sementara (unsustainability growth). Penambahan utang akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi hingga batas tertentu. Akan tetapi, ketika utang telah melebihi batas, maka akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, utang juga berkontribusi pada kestabilan. Rasio utang terhadap PDB yang melebihi batas aman menandakan bahwa negara tersebut rentan terhadap krisis. Pada kondisi ini, ekonomi negara akan mudah bergejolak. Terlebih apabila pengelolaan utang negara tersebut tidak sesuai tujuan. Hal inilah menjadi ancaman bagi negara yang berutang.
Kementerian Keuangan melaporkan peningkatan realisasi pembiayaan utang hingga akhir September 2020. Peningkatan tersebut karena adanya peningkatan kebutuhan belanja prioritas untuk menangani masalah kesehatan, jaring pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi nasional.
Realisasi pembiayaan utang hingga akhir September 2020 mencapai Rp 810,77 triliun yang terdiri dari realisasi Surat Berharga Negara (neto) sebesar Rp 790,64 triliun dan realisasi pinjaman sebesar Rp 20,13 triliun.
Penelitian Indef mengungkapkan bahwa tren peningkatan utang belum diiringi dengan tren produktivitas. Efektifitas utang dianggap belum signifikan mendorong produktivitas perekonomian seperti meningkatkan nilai tambah ekonomi dan tenaga kerja.
Pertumbuhan ekonomi tidak beranjak naik karena sebagian besar utang digunakan untuk belanja rutin seperti belanja pegawai, barang, dan membayar bunga utang. Bukan digunakan untuk sektor produktif.
Selama periode 2014 hingga 2018, tren pembayaran belanja pegawai naik 40,5 persen, belanja barang naik 80,9 persen, dan belanja pembayaran bunga utang naik 86,9 persen. Sementara, belanja modal yang berkaitan dengan infrastruktur hanya naik 31,4 persen.
Penggunaan utang seperti ini akan memberikan dampak negatif jangka panjang, yakni meningkatkatkan beban bagi generasi yang akan datang. Sebaliknya, jika pemanfaatan utang dilakukan secara produktif maka dapat meringankan beban generasi mendatang. Pada 2020, warisan tumpukan utang per kepala generasi milenial Indonesia diperkirakan sebesar Rp 20,5 juta.
Keberadaan utang memberikan pesan kemampuan pengelolaan dan pengawasan utang dengan bijaksana. Manajemen pengelolaan utang yang baik diperlukan untuk memastikan bahwa utang tersebut pada level yang sehat dan bisa dibayarkan kembali.
Selain berkontribusi terhadap pertumbuhan dan kestabilan ekonomi, utang juga memberikan beban pada lapisan masyarakat baik secara langsung ataupun tidak langsung. Akan tetapi, yang terpenting yaitu produktifitas dari penggunaan utang untuk mencegah risiko utang.
Utang dianggap produktif ketika menunjang pertumbuhan ekonomi jangka panjang disertai dengan peningkatan kesejahteraan. Apabila produktivitasnya rendah, maka pertumbuhan ekonomi pun akan stagnan.
Karena itu, diperlukan evaluasi terkait penggunaan dan pengelolaan utang yang telah berjalan. Pengawasan dan penegakkan hukum penting untuk meminimalkan celah penyimpangan penggunaan utang agar penggunaannya dapat dilaksanakan sesuai tujuan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Di Era Biden, Kurangi Porsi Utang dalam Denominasi Dollar AS