Wakil Rakyat Perlu Menjamin Demokrasi
Momentum Hari Parlemen mengingatkan kembali esensi demokrasi Indonesia yang turut disandarkan pada lembaga parlemen sebagai tempat suara rakyat disalurkan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F84bf2e9c-3911-4ee7-b38d-e9c5bde66543_jpg.jpg)
Sejumlah mahasiswa dari berbagai aliansi saat menggelar aksi memprotes disahkannya UU Cipta Kerja berjalan kaki di Jalan Sudirman, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/10/2020). Aksi para mahasiswa ini menyerukan penolakan UU Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR, Senin (5/10/2020).
Esensi dari demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia meletakkan MPR, DPR, dan DPD pada posisi yang luhur. Fungsinya jelas, menyalurkan aspirasi rakyat dan mengawal jalannya pemerintahan.
Ide terbentuknya parlemen sudah digagas sejak Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pertama oleh para pendiri bangsa. Muhammad Yamin menyampaikan bahwa bentuk negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat itu adalah suatu Republik Indonesia yang tersusun atas paham unitarisme. Maksudnya, negara kesatuan dengan desentralisasi dan dekonsentrasi agar tenaga pengajar dan kaum terpelajar tidak terpusat di Jawa kala itu.
Hingga kini, Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) yang telah berubah sebanyak empat kali telah meletakkan ketatanegaraan Indonesia sebagai negara hukum yang kuat. Implikasi lain dari amandemen UUD 1945 ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki kapasitas legitimasi yang kuat meski berbeda dari segi derajat keterwakilan. Adapun MPR merupakan gabungan dari keduanya seturut logika konstitusi.
Dari sisi substantif, DPR dan DPD dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum. Akan tetapi, DPR mewakili konstituen yang direpresentasikan melalui partai politik sehingga disebut sebagai perwakilan politik (political representative), sedangkan DPD adalah perwakilan teritorial (territorial representative) sehingga memungkinkan anggota independen atau nonpartai.
Inilah dasar konsep terbentuknya lembaga parlementer dalam bingkai demokrasi di Indonesia. Seturut gagasan Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945, demokrasi Indonesia berbeda dengan demokrasi yang diterapkan di negara-negara Barat. Tertulis demikian, ”Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politie–ecomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!”
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2FFC-07943-II-30-ROS020.jpg)
Massa mahasiswa di halaman Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta (21/5/1998). Hari itu, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran diri dari jabatannya.
Lanjutnya, Soekarno mengulang lagi istilah politie–ecomische democratie dalam bagian lainnya di pidato tersebut untuk menekankan bahwa demokrasi ini semata-mata demi kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan golongan. Soekarno tidak menerjemahkan sosialisme secara harfiah, melainkan dikawinkan dengan nilai luhur kebhinekaan Indonesia ke dalam konsep gotong royong. Di sini, Pancasila (yang waktu itu belum bulat disetujui) menjadi dasar dan demokrasi adalah sarana demi kesejahteraan rakyat.
Demokrasi modern yang ada saat ini adalah demokrasi perwalian dan karena itulah sendi utama dari demokrasi adalah perlementarisme. Prinsipnya, meskipun kedaulatan di tangan rakyat, karena tidak mungkin seluruh rakyat ambil bagian dalam menjalankan pemerintahan, diperlukan lembaga perwakilan yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat.
Sistem demokrasi semacam ini bukan hanya diterapkan di Indonesia. Di Inggris, model parlementer terbagi atas dua kamar besar, yaitu Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Lalu, di Amerika Serikat, sistem ini diterapkan melalui adanya Senat dan House of Representatives.
Kelemahannya, tingkat keterwakilan (representasi rakyat) yang rendah mengakibatkan diskrepansi (ketidaksesuaian) antara rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan anggota parlemen sebagai wakil rakyat. Dalam demokrasi perwalian, proses kebijakan berlangsung lamban karena kompleksitas serta kepentingan yang sangat beragam dalam masyarakat. Hal semacam ini membuat masyarakat cenderung skeptis terhadap demokrasi, apalagi para elite politik condong ke kepentingan kelompok.

Kinerja
Dalam menjalankan tugasnya sebagai fungsi legislatif, DPR memiliki catatan kinerja yang semenjana. Jika melihat kinerja anggota DPR masa jabatan sebelumnya (2014-2019), sebanyak 91 rancangan undang-undang (RUU) yang terdiri atas 36 RUU dari daftar Program Legislasi Nasiaonal (Prolegnas) 2015-2019 dan 55 RUU Kumulatif Terbuka. Padahal, dalam Prolegnas sebelumnya, DPR menetapkan 189 RUU.
Sorotan terhadap tiga kali pergantian Ketua DPR 2014-2019 menjadi catatan lainnya. Awalnya, pada 1 Oktober 2014, Setya Novanto terpilih menjadi Ketua DPR yang diajukan Koalisi Merah Putih meski proses pemilihan sempat diwarnai kericuhan.
Karena pelanggaran kode etik, pada pertengahan 2015 Setya Novanto diganti oleh Ade Komarudin yang juga berasal dari Partai Golkar. Tidak sampai setahun, Ade Komarudin ditarik kembali dan digantikan oleh Setya Novanto hingga akhirnya digantikan lagi oleh Bambang Soesatyo karena Novanto terjerat kasus korupsi KTP elektronik.
Terkait korupsi, para anggota DPR di periode ini cukup banyak yang terlibat dan menjadi tersangka. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat 59 anggota Dewan terpilih menyandang status tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana kasus korupsi. Keterlibatan para anggota Dewan ini dihitung ketika saat menjabat ataupun sebelum menjabat di kursi pemerintahan.
Adapun jenis kasus korupsi yang melibatkan para anggota Dewan ini beragam. Umumnya, merupakan suap (gratifikasi) pembahasan APBD, korupsi bantuan sosial atau dana hibah, dan suap pengadaan proyek. Keprihatinan terhadap perilaku koruptif ini bukan hanya diperhatikan dari segi jumlah, melainkan juga dari segi jabatan, misalnya Setya Novanto (ketua DPR) dan Taufik Kurniawan (wakil ketua DPR).
Di periode ini juga, produk UU yang dihasilkan tidak lepas dari kontroversi di ranah publik. Pengesahan UU MD3 yang memberikan imunitas lebih kepada anggota Dewan justru digunakan untuk merehabilitasi nama Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi. Begitu pula menerbitkan UU KPK yang akhirnya memancing aksi demonstrasi besar pada September tahun lalu.

Kontroversi
Rupanya, rentetan capaian yang semenjana di periode itu belum dapat memantik kesadaran bagi anggota DPR di periode saat ini. Hampir setahun sejak dilantik, anggota DPR 2019-2024 belum menunjukkan komitmen seperti yang disampaikan pada awal masa pelantikan. Pada 1 Oktober 2019, momen pelantikan 575 anggota DPR 2019-2024 diisi oleh sejumlah pidato dari masing-masing perwakilan fraksi partai.
Ketua DPR RI 2019-2024 Puan Maharani menyampaikan lima poin komitmen bagi kinerja DPR untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Puan menyampaikan bahwa RUU yang tertunda di periode sebelumnya akan menjadi prioritas dan DPR ke depan tidak akan memuat banyak produk RUU, tetapi fokus pada beberapa RUU yang dianggap berguna bagi negara. Selain itu, DPR akan terbuka pada kritik dan masukan yang obyektif, serta tetap hadir sebagai rumah aspirasi bagi masyarakat.
Meski demikian, komitmen tersebut masih perlu dibuktikan. Pengesahan UU Cipta Kerja yang masih mengundang kontroversi menjadi salah satu buktinya. Sebelumnya, Revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) disahkan menjadi undang-undang pada 5 Mei 2020.
Proses pengesahan UU Minerba itu dianggap bermasalah karena dijalankan di tengah-tengah situasi pandemi. Proses ini dianggap tidak transparan dan seakan-akan dipercepat sehingga menutup celah atas kritik dan masukan masyarakat.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191023_ENGLISH-ANAPOL_E_web_1571837403.jpg)
Mahasiswa memenuhi Jalan Jenderal Gatot Soebroto di Kawasan Slipi saat mengikuti aksi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU KUHP dan pencabutan UU KPK itu berakhir ricuh setelah polisi memukul mundur peserta aksi dan membubarkannya.
Padahal, pemerintah sebaiknya memprioritaskan harga bahan bakar minyak dan jaminan pasokan elpiji di tengah pandemi. Sementara itu, anggota Komisi VII dari Fraksi Golkar, Ridwan Hisjam, menyatakan bahwa pengesahan RUU Minerba sudah masuk Prolegnas dan tidak ada hubungannya dengan momen pandemi.
Proses yang terkesan terburu-buru ini terulang kembali ketika RUU Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober 2020. Gelombang protes dalam aksi demonstrasi di sejumlah daerah tidak terelakkan. Terlepas dari dugaan adanya pihak yang menunggangi aksi demonstrasi tersebut, fakta keras yang tidak terbantahkan adalah pengesahan RUU ini belum dapat mengakomodir aspirasi masyarakat.
Masalah lainnya, versi akhir dari naskah RUU Cipta Kerja masih simpang siur di masyarakat. Setelah disahkan, setidaknya ada tiga versi naskah yang beredar, yakni versi 1.028 halaman, versi 1.052 halaman, dan versi 905 halaman. Terakhir, Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin pada 13 Oktober 2020 menegaskan, draf UU Cipta Kerja yang akan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo untuk disahkan adalah draf yang terdiri atas 812 halaman.
Tajuk utama harian Kompas menyoroti masalah ini dan mendorong pemerintah agar menerbitkan naskah RUU Cipta Kerja yang menjadi acuan pengesahan. Gunanya, memeriksa dan mencegah masuknya pasal-pasal susupan sebelum RUU ditandatangani Presiden. Selain itu, upaya dialog dapat dibangun dan diintensifkan sehingga keberatan atas RUU ini dapat diajukan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Esensi demokrasi
Adanya transparansi, dialog atau musyawarah, dan mufakat yang dicapai bersama merupakan proses yang harus dipelihara dalam demokrasi Pancasila di Indonesia. Penolakan masyarakat atas pasal-pasal yang simpang siur dalam RUU Cipta Kerja tidak cukup diatasi dengan narasi kontra hoaks yang selama ini dilakukan pemerintah dan Presiden. Perhatian atas aksi demonstrasi yang destruktif juga tidak perlu disorot berlebihan karena tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Seharusnya, pemerintah dapat menangkap makna yang lebih dalam dari penolakan-penolakan tersebut. Di balik penolakan RUU Cipta Kerja, masyarakat mengkritisi ideologi kapitalisme yang dianggap mengancam kesejahteraan rakyat kecil dan lingkungan hidup. Seandainya pun RUU Cipta Kerja dapat menjadi solusi atas permasalahan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, seharusnya dialog yang komprehensif dapat diselenggarakan sesegera mungkin.
Mewujudkan demokrasi bukan hanya sekadar membangun sistem, mekanisme, prosedur politik, melainkan juga harus membangun lembaga-lembaga yang dapat menjamin mekanisme saling kontrol. Meminjam gagasan dari J Kristiadi dalam artikel berjudul ”Mewujudkan Kehidupan Politik yang Bermartabat Berdasarkan Pancasila”, tidak ada monopoli kebenaran dalam kebenaran politik yang demokratis. Maka, konflik dalam masyarakat demokratis harus dipandang sebagai perbedaan pendapat dalam perspektif yang berbeda.
Permasalahan ”UU Sapu Jagat” yang masih bergema justru menjadi momen untuk merefleksikan diri dalam momen peringatan Hari Parlemen yang jatuh tiap 17 Oktober. Tanpa melebih-lebihkan, esensi demokrasi Indonesia turut disandarkan pada lembaga parlemen sebagai tempat suara rakyat disalurkan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Babak Baru Masalah Ketenagakerjaan