Insentif Mendongkrak Kendaraan Listrik
Dari sisi produksi, Indonesia berpotensi mengembangkan industri otomotif dimulai dari penyediaan komponen baterai sebagai faktor utama pengembangan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
Sejak setahun terakhir, pemerintah bergerak cepat menggarap pasar kendaraan listrik di Tanah Air. Insentif disiapkan bagi konsumen agar mau beralih menggunakan kendaraan bermotor listrik. Bagi produsen, insentif pun diberikan untuk mendorong produksi mandiri kendaraan listrik dalam negeri.
Kebijakan untuk mempercepat penetrasi pasar mobil listrik berbasis baterai merupakan upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat mobil listrik dunia. Minimal menjadi basis produksi kendaraan listrik di Asia Tenggara.
Dari sisi pasar, Indonesia merupakan pasar otomotif terbesar di ASEAN dengan penguasaan porsi sekitar 32 persen (2018). Sampai 2019 lalu, setiap tahun tidak kurang dari 1 juta unit mobil baru berhasil dijual. Peluang ekspor pun terbuka lebar untuk merambah pasar otomotif di negara lain.
Dengan jumlah penduduk yang besar, kebutuhan akan kendaraan bermotor cukup tinggi untuk menunjang mobilitas warga. Rasio kepemilikan mobil di Indonesia masih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, yaitu 87 mobil dari 1.000 populasi. Angka ini lebih rendah dibandingkan Brunei Darussalam (711), Malaysia (439), Thailand (228), dan Singapura (147).
Dari sisi produksi, Indonesia bisa mengembangkan industri otomotif dimulai dari penyediaan komponen baterai yang menjadi faktor utama pengembangan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Indonesia memiliki sumber daya mineral berupa bijih nikel untuk diolah menjadi baterai Lithium.
Baca juga: Lompatan Besar Mewujudkan Mobil Listrik
Dari sisi regulasi, sebagai payung hukum untuk pengembangan kendaraan listrik, pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.
Dalam perpres tersebut, upaya percepatan, antara lain, meliputi pengembangan industri kendaraan bermotor listrik (KBL), pemberian insentif, penyediaan infrastruktur pengisian listrik, dan pengaturan tarif tenaga listrik untuk KBL berbasis baterai. KBL harus memenuhi ketentuan teknis, termasuk juga perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Hal ini karena KBL berbasis baterai menimbulkan limbah baterai yang bisa berbahaya bagi lingkungan. Karena itu, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan terkait inovasi teknologi dan standardisasi kendaraan listrik.
Mengingat banyaknya yang harus dilakukan untuk mempercepat program ini, banyak pula pihak yang diberi tugas dan wewenang untuk mencapai target pemerintah. Setidaknya delapan kementerian terlibat dalam percepatan program KBL ini dengan kewenangannya masing-masing.
Mulai dari Kementerian Perindustrian dalam menyiapkan peta jalan, Kementerian Keuangan dalam menyusun insentif fiskal, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menangani limbah baterai KBL. Termasuk juga Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi selaku pemegang kendali koordinasi antarkementerian.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) disebutkan, pada tahun 2025 diharapkan sudah terdapat 2.200 unit mobil listrik dan 2,13 juta unit sepeda motor listrik. Artinya, per tahun harus tersedia 440 unit mobil listrik dan 426.000 unit sepeda motor listrik.
Untuk mencapai jumlah tersebut, penyediaan KBL dilakukan bertahap melalui impor kendaraan secara utuh (completely build up/CBU), lalu kemudian bertahap pula melakukan perakitan di dalam negeri, baik perakitan secara utuh (completely knock down/CKD) maupun sudah dengan memasukkan komponen lokal di dalam KBL (incompletely knock down/IKD).
Baca juga: Otomotif: Kendaraan Listrik Keniscayaan
Insentif bagi industri
Masa pandemi Covid-19 saat ini menyebabkan pencapaian target penyediaan KBL menemui jalan terjal. Faktor daya beli masyarakat yang saat ini terpengaruh akibat perekonomian yang melambat tentu menjadi tantangan tersendiri. Pemenuhan kebutuhan barang yang sifatnya tidak pokok atau mendesak akan mengalami penundaan. Termasuk kebutuhan akan alat transportasi ini.
Perlu daya tarik berupa insentif yang sangat besar yang membuat konsumen, terutama dari kalangan menengah ke atas, mau beralih dan membeli kendaraan listrik. Juga insentif bagi kemudahan industri yang akan memproduksi kendaraan listrik.
Sejumlah insentif masih digodok di pemerintahan. Salah satu insentif fiskal yang sudah tersedia, antara lain, pemberian insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar nol persen bagi KBL yang mengikuti program pengembangan mobil listrik. Insentif ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019.
Perpres Nomor 55/2019 telah menggariskan sejumlah hal kemudahan bagi industri kendaraan listrik. Industri KBL berbasis baterai yang akan membangun fasilitas manufakturnya dapat melakukan impor kendaraan listrik dalam keadaan utuh (CBU) dalam jangka waktu tertentu dan jumlah tertentu yang akan diatur dalam peraturan menteri.
Namun, sampai saat ini Kementerian Keuangan masih menunggu pengaturan mengenai subyek pajak yang diizinkan impor KBL dalam keadaan CBU, dalam jumlah dan jangka waktu pengimporan dari kementerian teknis.
Kemudahan yang akan diberikan juga berupa insentif bea masuk atas importansi KBL berbasis baterai dalam keadaan terurai lengkap (CKD) dan dalam keadaan terurai tidak lengkap (IKD). Terkait hal ini Kementerian Keuangan telah meminta kepada Kementerian Perindustrian untuk segera menyiapkan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai skema impor KBL dalam bentuk CBU, CKD, dan IKD agar segera bisa disiapkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai kebijakan fiskalnya.
Ada juga insentif bea masuk atas importansi mesin, barang, dan bahan dalam rangka penanaman modal. Insentif fiskal juga diberikan untuk kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi teknologi serta vokasi industri komponen KBL berbasis baterai.
Perpres 55/2019 juga mencantumkan insentif non-fiskal yang harus diupayakan untuk pengembangan kendaraan listrik. Insentif non-fiskal itu berupa pengecualian dari pembatasan penggunaan jalan tertentu serta pelimpahan hak produksi atas teknologi terkait KBL berbasis baterai yang lisensi patennya telah dipegang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Termasuk juga pembinaan keamanan atau pengamanan kegiatan operasional sektor industri guna kelancaran kegiatan logistik atau produksi bagi perusahaan industri tertentu yang merupakan obyek vital negara.
Insentif bagi konsumen
Bagi konsumen pengguna kendaraan listrik juga disiapkan sejumlah insentif, antara lain akses kredit untuk kendaraan listrik dan keringanan biaya pengisian listrik di stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang disediakan PLN.
Pihak perbankan sudah ada yang melayani kredit untuk kepemilikan kendaraan listrik. Bank BRI, misalnya, menyediakan kredit khusus kendaraan bermotor listrik dengan bunga sebesar 3,8 persen per tahun dengan tenor hingga enam tahun.
Selain itu, di tingkat daerah, sejumlah provinsi juga memberikan insentif pajak Bea Balik Nama pada kendaraan listrik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, melalui Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2020 mengecualikan kendaraan listrik dari ketentuan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan aturan pembatasan kendaraan pribadi.
Sementara beberapa provinsi lain menerapkan besaran pajak BBN-KB yang rendah untuk kendaraan listrik pada kisaran 10 persen untuk mobil listrik dan 2,5 persen untuk sepeda motor listrik.
Insentif-insentif bagi industri dan konsumen kendaraan listrik masih dalam pembahasan yang cukup panjang. Transisi menuju pencapaian target 2025 di masa pandemi seperti sekarang ini sangatlah tidak mudah. Kondisi perekonomian secara umum belum kondusif. Sementara industri otomotif Tanah Air pun tahun ini lesu akibat menurunnya daya beli masyarakat. Penjualan mobil di Indonesia tahun ini diperkirakan turun sekitar 40 persen.
(LITBANG KOMPAS)