Jelajah “Kompas” Merajut Nusantara
Harian “Kompas” turut menemukan kembali dan merajut Indonesia melalui liputan ekspedisi nusantara. Ekspedisi juga ditujukan untuk menggali potensi daerah, seperti wisata, lingkungan hidup, hingga potensi investasi.
Keberagaman warga, keindahan alam, dan etos budaya Nusantara merupakan modal sejarah kebangsaan bagi masyarakat Indonesia. Melalui liputan ekspedisi Nusantara, harian Kompas turut menemukan kembali dan merajut Indonesia.
Catatan Ekspedisi Teh Nusantara merekam kondisi teh Nusantara berada di dasar jurang kemerosotan. Banyak pabrik teh milik PTPN yang telah kusam dan mesinnya terlalu tua. Jauh ketinggalan dibandingkan dengan pabrik milik swasta.
Kondisi perkebunannya pun tak jauh beda. Banyak kebun yang tidak dirawat dengan baik sehingga hasilnya tidak maksimal. Produksinya hanya sekitar 2,5 ton per hektar sekali panen, jauh dari kondisi ideal 5 ton per hektar (Kompas 19/1/2020).
Namun, para pegiat teh, terutama teh rakyat, mencoba bangkit. Mereka yakin teh Nusantara menyimpan kekuatan besar untuk mengulang kejayaannya. Mereka secara sporadis bergerak lewat beragam lini untuk membangkitkan kejayaan teh, seperti membuat teh premium dan teh organik.
Itulah beberapa temuan Kompas selama Ekspedisi Teh Nusantara menyusuri Jawa dan Sumatera pada pertengahan Juni sampai awal Agustus 2019. Ekspedisi yang dilakukan bukan sekadar mengunjungi tempat, tetapi juga mengumpulkan, menggali, dan mengolah informasi untuk membantu pengambilan kebijakan. Jalan Kompas memilih ekspedisi juga sebagai upaya untuk menemukan kembali Indonesia.
Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa, dan Kompas ingin mengangkat semua keunggulan itu kepada publik dengan melibatkan para akademisi ahli di berbagai bidang. Ekspedisi juga ditujukan untuk menggali potensi daerah, seperti potensi wisata dan potensi investasi.
Liputan ini juga merupakan bagian dari upaya Kompas untuk merajut Nusantara (Kompas, 21/9/2013). Melalui jelajah ekspedisi, toleransi antarsuku masih dapat ditemukan di perkebunan teh di lereng Gunung Dempo, Sumatera Selatan.
Menyusuri kehidupan
Sisi lain ekspedisi juga menjadi titik tolak kecintaan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya. Seperti yang dilakukan melalui Ekspedisi Bengawan Solo 2007.
Kegiatan yang berlangsung mulai 5 Juni 2007 hingga 20 Juni 2007 tersebut Tim Ekspedisi mengarungi Bengawan Solo dari hulunya di Desa Jeblogan, Wonogiri, Jawa Tengah hingga di Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur, yang berjarak 548,53 kilometer dari hulu sungai.
Ragam persoalan sungai ditemukan dari ekspedisi. Persoalan Bengawan Solo di bagian hulu adalah kerusakan daerah tangkapan air akibat deforestasi. Di bagian tengah, kerusakan sungai disebabkan erosi, sedimentasi, dan pencemaran limbah pabrik.
Sementara di muara, masalah yang terjadi adalah pendangkalan dan kerusakan vegetasi mangrove yang seharusnya menjadi tempat pemijahan ikan dan biota laut serta pencegah abrasi.
Ekspedisi tersebut membawa pesan Bengawan Solo untuk kehidupan. Dengan manajemen yang baik sungai dapat dioptimalkan untuk menghasilkan listrik, mengendalikan banjir, dan menjadi sarana transportasi. Dengan demikian, sungai benar-benar menjadi pusat peradaban, baik dari sisi ekologi, ekonomi, maupun budaya (Kompas 21/6/2007).
Dari pengamatan selama ekspedisi, Bengawan Solo masih bermanfaat sebagai sumber penghidupan. Dari hulu sungai, warga mendapat berkah air untuk pertanian. Di sepanjang aliran sungai, warga menanam pohon yang bisa dimanfaatkan kayunya.
Selain untuk bahan bangunan dan kayu bakar, warga juga memanfaatkan kayu untuk dibuat arang. Ikan yang hidup di aliran sungai juga memberi penghasilan tambahan dan asupan gizi bagi warga.
Ekspedisi sungai menjadi salah satu perhatian Kompas. Peran dan fungsinya yang begitu strategis bagi peradaban mendorong keberlangsungan ekosistem sungai di Indonesia. Sungai mengairi area pertanian dan perikanan, memasok air untuk industri, serta menyuplai bahan baku air minum.
Bahkan, lebih dari itu, bagi peradaban bangsa, eksistensi sungai juga menjadi sarana pertahanan atau benteng alam bagi masyarakat. Beberapa ekspedisi sungai yang pernah dilakukan adalah jelajah Kapuas, Mahakam, Bengawan Solo, Ciliwung, Musi, dan Citarum.
Kearifan lokal
Kisah ekspedisi juga menemukan pergulatan masyarakat Indonesia berbekal kearifan lokal. Gambaran pengetahuan dari kearifan lokal masyarakat ditemui melalui Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam (2005), Cincin Api (2011), dan Wallacea (2019).
Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam yang berlangsung dari 17 Juni sampai 2 Juli 2005 menemukan perjuangan pertahanan terakhir hutan dan budaya Dayak di tanah Kalimantan. Inisiasi tersebut muncul dari pertanyaan besar apa saja yang tersisa dari hutan dan tanah Kalimantan, setelah bertahun-tahun dikuras melalui tambang dan penebangan hutan.
Mengungkap benteng-benteng terakhir adalah harta berharga di ekspedisi tersebut. Selain itu, didapatkan pula pemahaman bagaimana terbentuknya ekosistem secara alami, di mana hubungan manusia dan alam terjalin tanpa saling merusak.
Benteng pertama berupa sisa hutan tropis primer di sekitar garis khatulistiwa. Tim peneliti menemukan kembali habitat baru alam di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut. Benteng alam lainnya ditemukan dari pola migrasi Dayak Bakumpai ke Mahakam, khususnya di Long Iram.
Kalimantan mengajarkan perjuangan dan upaya besar orang Dayak untuk terus belajar di tengah perubahan-perubahan yang mendekati mereka. Tak pernah putus asa, melainkan konsisten untuk beradaptasi di tengah belantara hutan Kalimantan.
Jati diri sebagai bangsa yang terus belajar juga direkam dengan sangat baik melalui Ekspedisi Cincin Api tahun 2011-2012. Perjalanan panjang menyusuri komunitas-komunitas yang lama berjuang di lereng-lereng gunung api Nusantara. Beragam peradaban telah muncul dan hilang, berganti terus hingga menemukan keselarasan.
Tujuan utama dari ekspedisi tersebut adalah mengungkap kembali pengetahuan lokal, jejak yang terkubur, serta sejarah bencana di nusantara. Perjalanan ekspedisi ditempuh melalui 12 lokasi di seluruh Indonesia, mulai dari Tambora hingga Mentawai.
Sebagai negara yang masuk dalam rangkaian cincin api pasifik, Indonesia memiliki risiko besar bencana erupsi gunung api, gempa, dan tsunami. Selain penelitian vulkanologi, tim ekspedisi juga melakukan kajian sosial berbasis antropologi ke masyarakat yang mendiami lokasi tersebut.
Puluhan hingga ratusan generasi berganti dan meninggalkan kisah menyelamatkan diri dari bencana. Sebab berlama-lama mendengarkan kisah yang dituturkan adalah bukti kuat bangsa ini sebagai bangsa yang terus belajar, meskipun hidup di atas tanah yang retas.
Ekspedisi lain adalah perjalanan di zona Wallacea tahun 2019, kawasan dengan tingkat keanekaragaman flora, fauna, dan budaya tertinggi di Indonesia, perpaduan dari Benua Asia dan Australia. Zona Wallacea meliputi pulau Sulawesi dan sekitarnya, Kepulauan Maluku, dan Nusa Tenggara, termasuk negara Timor Leste.
Banyak hal yang diperoleh dari ekspedisi tersebut. Pembelajaran dari masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan keanekaragaman alam telah membentuk simpul ekosistem yang unik. Poin terakhir adalah menelusuri jejak warisan Alfred Russel Wallace, seorang naturalis Inggris di tanah Maluku dan sekitarnya.
Jati diri sebagai bangsa yang belajar terbentuk melalui banyak fase sejarah dan peradaban manusia. Masa berganti, tetapi kisah nenek moyang akan terus diwariskan dan menjadi penguat generasi berikutnya sebagai generasi dari bangsa yang belajar.
Zamrud khatulistiwa
Semangat lain untuk menemukan kekayaan Indonesia dilakukan melalui rangkaian ekspedisi Kapuas-Mahakam, Jelajah Kuliner Nusantara, Jalur Rempah Nusantara, Jelajah Terumbu Karang, Jelajah Kopi Nusantara, dan Ekspedisi Teh Nusantara.
Ekspedisi Kapuas-Mahakam adalah sebuah perjalanan menembus pedalaman Pulau Kalimantan untuk napak tilas 100 tahun perjalanan Dr Anton Nieuwenhuis, seorang dokter militer berkebangsaan Belanda, dari Pontianak menuju Samarinda tahun 1893-1894.
Perjalanan selama 38 hari menempuh lebih dari 2.000 kilometer menghasilkan kajian lengkap kekayaan sosial-budaya, flora-fauna, dan ekologi Kalimantan. Biodiversitas yang sangat luas ditemukan sepanjang rute saat menyusuri sungai Kapuas, Pegunungan Muller, dan sungai Mahakam, yaitu perjalanan dari muara ke muara lagi.
Kekayaan Nusantara berikutnya tertulis dalam Ekspedisi Kuliner Nusantara tahun 2013. Sebuah eksplorasi kisah di balik sepiring hidangan yang merekam jejak kisah, mulai dari perdagangan, migrasi manusia, penaklukan, hingga peperangan.
Sementara ekspedisi Jalur Rempah Nusantara sangat baik menjelaskan pesona rempah-rampah yang mampu memikat banyak negara, bahkan di seberang samudera. Ekspedisi ini juga mengungkap sejarah dan perdagangan yang terjadi.
Belum cukup menjelajahi kekayaan Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa, Kompas menyelenggarakan ekspedisi tahun 2017 bertajuk ”Jelajah Terumbuh Karang”. Bagi manusia dan ekologi kepesisiran, terumbu karang memastikan tersedianya sumber protein, bahan medis, pariwisata, mata pencarian, dan perlindungan wilayah.
Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa, dan "Kompas" ingin mengangkat semua keunggulan itu kepada publik dengan melibatkan para akademisi ahli di berbagai bidang.
Kekayaan bahari Indonesia tak terbantahkan dengan sebaran terumbu karang di seluruh wilayah Nusantara. Ekspedisi dilakukan menyebar, mulai dari Teluk Jailolo, Maluku Utara, Selat Lembeh di Kota Bitung, Sulawesi Utara, hingga Raja Ampat, Papua Barat.
Dua ekspedisi terakhir yang mengungkap pesona Indonesia adalah Jelajah Kopi Nusantara (2018) dan Ekspedisi Teh Nusantara (2019). Puluhan bahkan ratusan budidaya kopi tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan, kualitasnya sudah diakui dunia. Serupa dengan komoditas kopi, keberadaan komoditas teh turut memperkuat bukti betapa berharganya Indonesia.
Jelajah Kopi Nusantara menjadi eksplorasi perjalanan mengungkap kisah dan geliat kopi, mulai dari keanekaragaman dan keistimewaan kopi, sejarah, industri, tren ngopi anak muda, kreativitas, inovasi, hingga kisah berbagai gerakan sosial yang tumbuh di dalamnya.
Baca juga: Ekspedisi Teh Nusantara
Sementara Ekspedisi Teh Nusantara adalah sebuah perjalanan menjelajahi perkebunan teh yang tersebar di seluruh Indonesia. Perjalanan tersebut juga turut mengungkap perkembangan bisnis dan dinamika peradaban manusia.
Rangkaian ekspedisi yang dilakukan harian Kompas menjadi rajutan indah keberagaman Nusantara. Jati diri bangsa Indonesia yang toleran, gotong-royong, cinta lingkungan, memiliki etos belajar, dan punya kekayaan alam berlimpah harus terus digali untuk menatap ke depan. Modal-modal kebangsaan tersebut harus ditumbuhkan terus-menerus, terlebih untuk menghadapi situasi sulit seperti pandemi saat ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?