Waspadai Urbanisasi di Masa Pandemi Covid-19
Masih ada sebagian kecil masyarakat yang melakukan tradisi mudik pada masa pandemi Covid-19 ini. Pemerintah perlu mewaspadai munculnya lonjakan kasus di daerah tujuan ataupun daerah asal saat arus balik terjadi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F5799e084-6cbd-4c97-b7d8-7b11e11e409c_jpg.jpg)
Kendaraan yang keluar dari Gerbang Tol Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, dihentikan polisi dari Kepolisian Resor Kota Cirebon untuk pemeriksaan surat-surat yang dibawa, Jumat (22/5/2020).
Pandemi Covid-19 telah memaksa sebagian besar masyarakat mengurungkan niatnya untuk mudik ke kampung halaman pada hari raya tahun ini. Lantas, apakah arus urbanisasi tahun ini akan terjadi seperti Lebaran sebelumnya, saat terjadi euforia mudik?

Gelombang mudik pada Lebaran kali ini jauh menurun dibandingkan Lebaran pada tahun-tahun sebelumnya. Tak ada lagi pemandangan kemacetan kendaraan di ruas tol ataupun jalan alternatif. Faktor pemicunya antara lain pandemi virus yang tak kunjung mereda. Pemerintah pun mengeluarkan aturan larangan mudik untuk mencegah penyebaran virus.
Merujuk ”Survei Pengaruh Penerapan PSBB terhadap Keinginan Mudik 2020” Kementerian Perhubungan pada Maret lalu, 57 persen responden menyatakan tidak akan mudik. Hasil survei daring tersebut masih senada dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada pertengahan Mei lalu. Mayoritas responden (95,7 persen) menyatakan tidak akan mudik pada Lebaran kali ini.
Bagi mereka yang menyatakan tidak akan mudik, alasan takut tertular atau menularkan virus korona disebut oleh seperempat responden. Menariknya, 17,9 persen responden yang tidak mudik mengatakan dilarang oleh sanak saudara di tempat asal. Dua alasan tersebut menunjukkan, sudah tumbuh kesadaran untuk memutus rantai penyebaran dengan tidak melakukan perjalanan mudik.
Namun, saat diamati lebih lanjut, ada perubahan keputusan yang dialami oleh para responden yang tidak mudik ini. Sebelumnya, setengah dari responden yang tidak mudik mengatakan memiliki rencana mudik tahun ini, tetapi kemudian dibatalkan. Bisa jadi, faktor kesadaran akan bahaya pandemi, aturan pemerintah, dan alokasi biaya mudik memiliki andil dalam pilihan untuk tidak mudik.
Baca juga : Sedikitnya 1,7 Juta Orang Mudik dari Jabodetabek, Waspada Peningkatan Kasus di Daerah
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F7b7a5adb-385f-4a6b-9b84-333ef4a727c2_jpg.jpg)
Petugas kepolisian bersenjata berjaga dalam operasi penyekatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur, Selasa (26/5/2020).
Memilih mudik
Sebelum pemerintah mengeluarkan larangan mudik, dari survei daring Kementerian Perhubungan diketahui bahwa ada 7 persen responden yang sudah mudik terlebih dulu. Mereka yang mudik terlebih dulu sebagian besar menggunakan kendaraan pribadi, seperti mobil dan sepeda motor.
Alasan yang dikemukakan, hampir 45 persen karena tempat kerja dan sekolah telah menerapkan sistem bekerja dan belajar di rumah. Sebanyak 28 persen karena takut tertular virus di bekerja/belajar. Sisanya curi start mudik karena sudah tidak mempunyai pekerjaan di kota.
Alasan yang sedikit sama juga diungkapkan oleh 3,5 persen responden jajak pendapat Kompas yang nekat mudik. Mayoritas (89 persen) menyebutkan tetap pulang ke kampung halaman saat hari raya karena tak bisa lepas dari tradisi tahunan.
Bagi sebagian kecil masyarakat tersebut, berlebaran harus bisa bertemu orang tua dan sanak saudara di kampung halaman. Mereka beranggapan, harus bisa berhalalbihalal dengan bertemu langsung.
Adapun sekitar 6 persen menyebut sudah tidak mempunyai penghasilan di kota besar. Ini persoalan lain yang cukup menonjol pada masa pandemi ini. Kebijakan pembatasan sosial di beberapa wilayah berdampak pada penutupan sebagian besar sektor usaha. Hal ini yang membuat sebagian besar masyarakat kehilangan pekerjaan.
Baca juga : ”Setelah Keadaan Pulih, Kami Akan Kembali

Larangan mudik
Aturan pemerintah untuk larangan mudik tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020. Peraturan itu berisi larangan penggunaan sarana transportasi untuk mengangkut penumpang keluar dan masuk wilayah PSBB, zona merah, dan daerah yang sudah menerapkan PSBB untuk semua moda transportasi.
Meski demikian, peraturan menteri tersebut nyatanya tidak cukup untuk membendung gelombang masyarakat yang mudik lebih dulu atau sengaja nekat melanggar aturan. Mengutip pemberitaan Kompas, pada hari pertama penutupan kawasan Jabodetabek, ada sekitar 3.000 kendaraan pengangkut penumpang keluar dari Jakarta yang diminta berbalik arah kembali ke Ibu Kota.
Kemudian, periode 8-11 Mei 2020, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya kembali mengamankan sejumlah kendaraan berpelat hitam yang dipakai untuk membawa penumpang mudik. Total terdapat 202 kendaraan, terdiri dari 11 bus, 112 minibus, 78 mobil pribadi, dan 1 truk, yang digunakan untuk mengangkut penumpang.
Meski pengamanan sudah diberlakukan, pada 17-18 Mei 2020 ditemukan lagi pelanggaran serupa. Polda Metro Jaya berhasil menangkap 300 pemudik yang menumpang 46 travel gelap. Para pemudik memiliki tujuan ke Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, antara lain Purbalingga, Indramayu, Banjarnegara, Kebumen, Solo, dan Jombang.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20200522ags35_1590207009.jpg)
Penjagaan polisi di Gerbang Tol Palimanan di Cirebon, Jawa Barat, Jumat (22/5/2020). Dalam razia pemudik yang digelar acak, pemudik diharuskan menunjukkan surat-surat dan menjalani pemindaian suhu tubuh.
Adanya arus mudik juga bisa dipotret dari data Jasa Marga yang memantau arus kendaraan keluar dari Jakarta. Pada periode H-7 hingga H-1 Lebaran tercatat ada sekitar 465.000 kendaraan yang meninggalkan Jakarta melalui arah timur, barat, dan selatan. Sementara pada hari pertama Lebaran ada 37.878 kendaraan yang meninggalkan Jakarta.
Hal tersebut menunjukkan, arus mudik tetap ada meski sudah ada larangan. Hanya saja, jumlahnya menurun sekitar 62 persen daripada Lebaran 2019. Arus mudik keluar dari Jakarta yang terjadi berasal dari para pelanggar aturan dan sebagian kecil masyarakat yang masuk dalam golongan pengecualian larangan mudik.
Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020 mengatur pengecualian larangan mudik yang berlaku bagi sejumlah pihak, di antaranya masyarakat yang menjalankan tugas pemerintahan, pelayanan kesehatan, pelayanan kebutuhan dasar, dan kegiatan ekonomi penting.
Berdasarkan surat edaran mengenai kriteria pembatasan perjalanan orang tersebut, masyarakat yang memiliki kepentingan untuk keluar atau masuk ke wilayah PSBB harus memenuhi sejumlah syarat untuk mendapatkan surat izin keluar masuk (SIKM). Syarat SIKM meliputi KTP, surat rujukan RS bagi pasien yang akan berobat ke tempat lain, surat keterangan kematian bagi yang anggota keluarga intinya meninggal, dan bukti hasil negatif Covid-19 atau surat keterangan sehat yang sah.
Pemerintah melalui Kemenhub menyediakan moda transportasi darat, laut, dan udara khusus untuk pengecualian ini. Untuk moda bus disediakan 300 bus dan 68 perusahaan otobus yang menuju kota-kota di Jawa dan Sumatera. Lalu, ada juga enam perjalanan kereta api luar biasa, masing-masing satu kereta eksekutif dan satu kereta ekonomi dalam satu rangkaian.

Urbanisasi
Sebelumnya, mudik Lebaran akan diikuti urbanisasi yang biasanya bersamaan dengan arus balik. Apakah tahun ini urbanisasi kembali terjadi mengingat terjadi penurunan arus mudik dan masih adanya wabah?
Mayoritas responden survei jajak pendapat Kompas yang mengatakan mudik tetap akan kembali ke kota setelah Lebaran. Mobilitas masyarakat keluar-masuk wilayah inilah yang perlu diberi perhatian serius karena terjadi pada masa pandemi.
Gubernur DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2020 menyebutkan, masyarakat yang ingin kembali ke Jakarta wajib melengkapi diri dengan SIKM. Hal ini sebenarnya juga dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran virus di Jakarta.

Adanya pandemi yang meluas dan pembatasan arus masuk di Jakarta tersebut memengaruhi jawaban responden mengenai daya tarik kota. Lebih dari setengah responden mengatakan bahwa pada masa pandemi ini, kota tidak lagi menarik untuk mencari pekerjaan.
Meski demikian, masih ada 37persen responden yang menyebut bahwa kota tetap saja menarik untuk mengadu nasib. Lumpuhnya berbagai usaha ekonomi di kota karena pandemi juga tidak serta-merta membuat masyarakat tidak lagi melirik kehidupan di perkotaan.
Bisa jadi, perolehan upah minimum regional (UMR) di kota yang lebih besar masih menjadi daya tawar lebih di mata pendatang. Upah minimum provinsi di DKI Jakarta pada 2019, misalnya, tercatat Rp 3,6 juta per bulan. Besaran upah minimum itu cukup jauh di atas rata-rata upah minimum nasional pada tahun yang sama sekitar Rp 2,4 juta per bulan.
Meski demikian, persepsi masyarakat yang tidak lagi memandang kota sebagai tujuan yang menarik untuk mencari pekerjaan dapat menjadi indikasi awal terjadinya deurbanisasi. Deurbanisasi, menurut penelitian ”Implikasi Deurbanisasi terhadap Konsumsi Lokal di Wilayah Pinggiran Perkotaan (Dwiyanti, 2012), adalah menurunnya jumlah populasi di wilayah kota.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2Faf9d8553-d1d4-4cd9-ab4d-5256b53d7c8c_jpg.jpg)
Petugas kesehatan memeriksa suhu tubuh pengendara di lokasi pemeriksaan Gerbang Tol Palimanan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (22/5/2020).
Deurbanisasi dilatarbelakangi beberapa faktor, di antaranya pergeseran lokasi industri ke wilayah yang memiliki biaya lebih murah, pembangunan transportasi yang memudahkan masyarakat bermobilitas, dan kemajuan teknologi internet. Faktor lain adalah isu kenyamanan dan kualitas hidup yang lebih baik di wilayah luar pusat kota.
Masa pandemi dan mudik Lebaran dapat menjadi momen untuk terjadinya deurbanisasi ini. Ketika banyak warga memilih untuk tetap tinggal di desa atau daerah asal, ada kemungkinan roda perekonomian di sana juga akan berputar lebih cepat daripada sebelumnya. Jika asumsi ini benar, pertumbuhan dan pembangunan di desa atau daerah asal migran dapat berkembang lebih progresif.
Terlepas dari asumsi deurbanisasi yang mungkin akan terjadi, pemerintah pusat dan provinsi pertama-tama harus menaruh perhatian dan kewaspadaan pada gelombang urbanisasi yang terjadi pasca-Lebaran tahun ini.
Jika memang serius memutus rantai penyebaran Covid-19, pemerintah harus memperketat pengawasan tiap warga yang melakukan migrasi. Ketegasan instansi terkait masih diperlukan untuk melawan kedegilan warga yang masih hilir mudik tanpa memedulikan bahaya pandemi. (LITBANG KOMPAS)
