Pukulan Terbesar Pariwisata Sepanjang Dua Dasawarsa
Ada beberapa kejadian penting yang sempat menurunkan pertumbuhan pendapatan wisata dunia, tetapi tidak ada yang sebesar akibat yang ditimbulkan wabah korona.
Kondisi ini belum pernah terbayangkan sebelumnya. Para pelaku wisata, pemerintah di banyak negara, hingga organisasi parwisata dunia dan sektor pendukungnya pun tak mampu memberikan solusi apa pun kecuali hanya mematuhi protokol kesehatan.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), perekonomian dunia pada tahun ini diproyeksikan menyusut drastis. Pertumbuhan bahkan bisa mencapai hingga minus 3 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Artinya, besaran produk domestik bruto (PDB) sama sekali tidak bergerak.
Pada tahun 2019, PDB dunia diperkirakan mencapai 88,40 triliun dollar AS. Jadi, apabila tahun ini menyusut 3 persen, diperkirakan PDB pada akhir tahun 2020 berkisar 85,74 triliun dollar AS. Nilai penyusutan ini sekitar 2,65 triliun dollar AS atau kisaran Rp 42.400 triliun. Nilai ini hampir tiga kali lipat PDB Indonesia yang setahun sekitar Rp 15.000 triliun.
Menurut proyeksi IMF itu, semua negara di dunia mengalami penurunan pertumbuhan, kecuali negara berpendapatan rendah yang masih naik sekitar 0,4 persen pada tahun ini. Angka ini relatif sangat kecil dari biasanya yang mencapai lebih dari 5 persen per tahun. Jika diselisik lebih dalam, rata-rata penurunan tertinggi pada tahun ini terjadi di negara-negara maju. Rata-rata akan mengalami penurunan hingga minus 6 persen. Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Inggris, dan Kanada mengalami fenomena tersebut. Bahkan, Italia diperkirakan mengalami penurunan hingga minus 9 persen.
Untuk negara emerging dan ekonomi berkembang, penurunan pertumbuhannya relatif lebih kecil, yakni rata-rata minus 1 persen. Penurunan terkecil terjadi di negara-negara emerging wilayah Asia yang meliputi China, India, serta ASEAN-5 yang di dalamnya termasuk Indonesia.
Wilayah bersangkutan diproyeksikan perekonomiannya turun menjadi sekitar positif 1 persen. Dengan kata lain masih naik 1 persen. Selain wilayah ini, semua negara emerging lainnya mengalami penurunan yang relatif sangat besar. Negara emerging yang mengalami penurunan tertinggi adalah Rusia, Brasil, Meksiko, dan Afrika Selatan. Rata-rata nilai penurunannya lebih dari minus 5 persen.
Baca juga : Hadapi Resesi, Ekonomi Global Anjlok ke Minus 3 Persen
Krisis bisnis penerbangan
Proyeksi anjloknya perekonomian tahun ini adalah muara dari terhentinya sebagian besar sektor ekonomi. Aktivitas sejumlah sektor ekonomi harus rela dikorbankan untuk memutus mata rantai penularan korona. Korban perekonomian diawali dari dua sektor yang saling mengait, yakni transportasi udara dan pariwisata.
Adanya aturan untuk tetap tinggal di rumah di hampir seluruh negara di dunia membuat bisnis di sektor penerbangan dan pariwisata kesulitan keuangan. Menurut estimasi organisasi penerbangan sipil dunia, ICAO, semua maskapai global akan mengalami penurunan jumlah penumpang.
Akibat pandemi korona, ICAO membuat dua estimasi skenario yang meramalkan kondisi usaha penerbangan sipil dunia pada tahun 2020. Skenario pertama, terjadi pemulihan keadaan dengan cepat dan berangsur baik mulai Mei. Skenario pertama ini apabila digambarkan membentuk kurva ”V”, yang artinya bisnis penerbangan dapat pulih cepat.
Skenario kedua, keadaan pandemi ini berlangsung lebih lama, setidaknya hingga Juni nanti. Pemulihan kondisi penerbangan menjadi lebih lama lagi sehingga jika digambarkan membentuk kurva huruf ”U”. Kedua skenario ini berusaha menggambarkan penyimpangan atau distorsi dari rencana semula, yakni pada situasi tanpa wabah Covid-19.
Estimasi pada skenario pertama, kapasitas bangku di seluruh maskapai penerbangan dunia berkurang hingga 47 persen. Diperkirakan terjadi penyusutan penumpang hingga sekitar 503 juta orang. Pendapatan yang hilang akibat penyusutan ini mencapai 111 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.776 triliun, dengan asumsi kurs Rp 16.000 per dollar AS.
Pada skenario kedua, diproyeksikan terjadi penurunan kapasitas bangku penumpang hingga 57 persen. Jumlah penumpang yang terangkut berkurang hingga 607 juta orang dari rencana semula. Potensi pendapatan yang hilang pada skenario kedua ini diperkirakan mencapai 135 miliar dollar AS atau sekitar Rp 2.160 triliun.
Pada kedua skenario itu, ICAO membagi proyeksinya ke dalam lima kawasan penerbangan dunia. Kawasan itu adalah Afrika, Asia Pasifik, Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Amerika Utara. Pendapatan yang hilang untuk tiap region setidaknya mencapai 38 miliar dollar AS atau sekitar Rp 600 triliun.
Dari kelima kawasan ini, Asia Pasifik dan Eropa adalah yang paling besar mengalami penurunan. Pada skenario pertama, kedua wilayah ini diperkirakan mengalami penyusutan penumpang masing-masing lebih dari 153 juta orang.
Apabila wabah pandemi belum juga berakhir pada Mei nanti, kerugian yang dialami maskapai di wilayah Asia Pasifik dan Eropa akan lebih besar lagi. Mengacu pada skenario kedua, jumlah penumpang yang hilang dari kedua region ini rata-rata sudah lebih dari 200 juta orang. Kerugian finansialnya pun meningkat drastis menjadi lebih dari 44 miliar dollar AS atau sekitar Rp 700 triliun per kawasan.
Pandemi korona juga berpotensi besar mengancam keberlangsungan pekerjaan yang mendukung bisnis penerbangan. Menurut asosiasi pengangkutan udara internasional, IATA, jumlah pekerja yang menopang usaha transportasi udara mencapai 24,6 juta orang.
Hampir 70 persen atau 17 juta pekerja beroperasi di wilayah Asia Pasifik dan Eropa. Artinya, potensi yang terancam menjadi penganggur di dua kawasan tersebut sangat besar.
Ancaman tersebut lebih kuat di wilayah Asia Pasifik yang menyerap sekitar 11 juta pekerja untuk membantu proses kelancaran bisnis angkutan udara tersebut. Indonesia masuk dalam wilayah penerbangan ini sehingga tentu saja industri penerbangan di negeri ini beserta pekerjaan pendukungnya turut terimbas.
Baca juga : Pemerintah Larang Pesawat Komersial dan Kapal Laut Angkut Penumpang
Kemunduran pariwisata
Pandemi korona ini akan membawa situasi pariwisata dunia mundur pada 7-9 tahun silam. Sejalan dengan upaya memutus rantai penularan korona, Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) saat ini mengedepankan slogan ”Staying home today means traveling tomorrow”. Setiap orang lebih baik memedulikan kesehatan terlebih dahulu dibandingkan berwisata. Kira-kira demikian maksud dari slogan tersebut.
Kelesuan industri pariwisata itu terjadi secara global dan belum pernah sebesar sekarang, paling tidak selama dua dekade belakangan. Serangan 11 September 2001 ke menara kembar WTC di Amerika Serikat sempat menurunkan devisa menjadi minus 2 persen.
Dua tahun berikutnya, merebaknya wabah SARS di beberapa negara juga mengurangi pendapatan devisa. Saat itu devisa pariwisata global turun hingga minus 1,4 persen.
Pada 2009, ketika terjadi krisis global, devisa wisata anjlok lebih dalam lagi hingga minus 5,4 persen. Namun, menurut UNWTO, pandemi korona mengakibatkan devisa pariwisata dunia tahun ini akan menyusut 20-30 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Akibat wabah korona di seluruh dunia, diperkirakan devisa wisata global tahun ini hanya terkumpul di kisaran 1.060 miliar dollar AS hingga 1.210 miliar dollar AS.
Nominal devisa ini lebih kurang setara dengan devisa tahun 2011 senilai 1.096 miliar dollar AS. Kalaupun beruntung, nominal pariwisata dunia tak terpaut jauh dengan kondisi tahun 2013 yang berhasil mengumpulkan devisa sebanyak 1.224 miliar dollar AS.
Pandemi korona ini akan membawa situasi pariwisata dunia mundur pada 7-9 tahun silam.
Baca juga : Bantuan bagi Pelaku Wisata Dimulai dari Bali
Kunjungan wisatawan
Anjloknya kinerja industri penerbangan sejalan dengan menyusutnya pariwisata juga tengah berlangsung di Indonesia. Indikasi ini terlihat jelas dari angka kunjungan turis asing yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada April 2020. Pada Februari lalu terjadi penurunan angka kunjungan wisata secara signifikan hingga tersisa hanya sekitar 885.000 wisatawan.
Penurunan kunjungan turis asing sepanjang Februari 2020 mencapai 30,4 persen atau sebanyak 387.000 orang jika dibandingkan dengan bulan Januari 2020. Jika dibandingkan antara Februari 2019 dan Februari 2020, terjadi penurunan kunjungan wisatawan asing sebanyak 378.000 orang atau hampir 30 persen. Jumlah wisatawan mancanegara pada Februari 2020 hampir mirip dengan jumlah kunjungan pada Februari 2016, yakni sekitar 888.000 orang.
Baca juga : Siasat Mendadak Para Pegiat Wisata Malang karena Wabah Korona
Surutnya arus wisatawan asing ke Indonesia itu juga disertai dengan berkurangnya angka kunjungan wisatawan nusantara ke obyek wisata dalam negeri. Tren peningkatan jumlah penularan virus korona di Indonesia yang kian tinggi setiap hari membuat sejumlah daerah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Setidaknya sudah ada 3 provinsi dan 22 kabupaten/kota yang diizinkan menerapkan PSBB di daerahnya.
Dengan pelaksanaan PSBB itu, mobilitas masyarakat dibatasi, apalagi untuk keperluan berwisata. Sektor pariwisata seperti terpukul dua kali tanpa bisa membalas. Turis asing gagal diraih, wisatawan domestik pun dibatasi pergerakannya demi memutus mata rantai penularan virus.
Berdasarkan Neraca Satelit Pariwisata 2017, BPS, belanja wisatawan nusantara mencapai kisaran Rp 253 triliun setahun. Dari struktur pengeluarannya terlihat mayoritas pengeluaran wisatawan lokal terfokus untuk tiga hal, yakni makanan dan minuman sekitar 30 persen, belanja sekitar 17 persen, serta angkutan udara 14 persen. Ketiga pos pengeluaran ini akumulasinya sekitar Rp 155 triliun, terdiri dari restoran dan rumah makan sekitar Rp 76 triliun, penjual oleh-oleh dan cendera mata Rp 42 triliun, serta maskapai udara Rp 36 triliun.
Struktur belanja tersebut berbeda dengan pola pengeluaran turis dari luar negeri. Mayoritas turis asing membelanjakan uangnya untuk akomodasi dan makanan. Sekitar 40 persen untuk biaya hotel dan penginapan serta 18 persen untuk konsumsi di restoran dan rumah makan. Kedua pos belanja ini setidaknya mengantongi devisa hingga sekitar Rp 100 triliun per tahun. Paling besar terkumpul di bisnis akomodasi perhotelan yang mencapai kisaran Rp 79 triliun.
Deskripsi tersebut mengindikasikan sektor pariwisata yang terkait dengan pos belanja para wisatawan itu akan mengalami penurunan pendapatan sangat besar. Apabila pangsa pasarnya adalah wisatawan domestik, usaha yang terdampak signifikan adalah rumah makan, pedagang oleh-oleh, dan industri penerbangan. Apabila pangsa pasarnya turis asing, industri yang terdampak signifikan adalah perhotelan dan restoran.
Setidaknya untuk sementara ini. Kunjungan turis internasional yang pada tahun ini ditargetkan sekitar 18 juta orang sepertinya mustahil diwujudkan. Bahkan, untuk mencapai angka kunjungan seperti tahun 2019 sekitar 16 juta turis saja tampaknya sulit didapatkan.
Hampir dapat dipastikan, kunjungan turis asing pada bulan berikutnya pada Maret dan April akan kian mengecil lagi. Hal itu seiring dengan kian masifnya penularan virus Covid-19 di negara-negara utama asal turis yang mengunjungi Indonesia, yaitu China, India, Korea Selatan, Inggris, Amerika Serikat, dan Australia. Sejumlah negara ini sedang berjuang untuk terbebas dari pandemi korona.
Amerika Serikat, misalnya, menjadi pusat penularan virus terbesar di dunia saat ini. Lebih dari 780.000 orang tertular atau sekitar 35 persen jumlah kasus korona di dunia terjadi di AS. Inggris juga tengah berjuang mengurangi angka kematian akibat korona yang mencapai 13 persen atau tertinggi kedua di dunia setelah Italia.
China yang merupakan negara pertama yang dilaporkan terjadi kasus korona di dunia pun kini sedang menghadapi gelombang Covid-19 jilid dua. Padahal, China adalah negara yang mengirimkan jumlah wisatawan asing terbanyak di Indonesia selama ini. Rata-rata 150.000 turis asal China berkunjung tiap bulan ke Indonesia. Hampir semua penduduk di negara-negara tersebut fokus terlebih dahulu menjaga kesehatan masing-masing.
Artinya, destinasi super prioritas yang menurut rencana mulai dipasarkan secara masif pada tahun ini gagal total. Dalam kondisi seperti ini, peranan pemerintah sangat besar untuk melindungi segenap usaha yang terdampak wabah korona. Termasuk di dalamnya memberikan jaring pengaman sosial bagi para pegawai yang terkena dampak pemutusan kerja. (LITBANG KOMPAS)