Menghapus Lingkaran Buta Aksara
Hampir tiga perempat abad usianya, Indonesia masih terus berupaya menghapuskan buta aksara.
Hampir tiga perempat abad usianya, Indonesia masih terus berupaya menghapuskan buta aksara. Penduduk yang belum melek huruf masih banyak ditemukan di kawasan timur Indonesia yang tinggal di perdesaan dan kantong-kantong kemiskinan.
Belum lama berselang, dunia memperingati Hari Aksara Internasional (HAI). Hari aksara disepakati bersama oleh para menteri pendidikan saat Kongres Menteri-menteri Pendidikan Sedunia di Teheran, Iran, pada 1966. Kongres ini diselenggarakan sebagai respons Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) terhadap kondisi dunia saat itu di mana lebih dari 40 persen penduduk dewasa dunia masih buta huruf atau buta aksara.
Kongres tersebut kemudian mencanangkan ”Gerakan Pemberantasan Buta Aksara” secara masif di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Kongres juga mengusulkan kepada Sidang Umum PBB, yang kemudian menjadi keputusan bersama, untuk menjadikan tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional.
Sejak saat itu, HAI diperingati setiap tahun oleh semua negara anggota PBB. Peringatan ini dipandang perlu sebagai penguatan kembali komitmen bersama pemberantasan buta aksara di semua negara. Tahun ini, Indonesia memilih tema ”Ragam Budaya Lokal dan Literasi Masyarakat”. Tema tersebut disesuaikan dengan tema besar dari UNESCO, yaitu ”Literacy and Multilingualism”.
Perdesaan dan kantong kemiskinan
Upaya pemberantasan buta aksara di Indonesia sebenarnya sudah lama dilaksanakan. Kenyataannya, hingga 74 tahun merdeka, masih cukup banyak warga negara Indonesia yang berstatus buta aksara.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2018 angka buta aksara masih sekitar 1,93 persen atau 3,2 juta orang. Angka ini menurun dari sebesar 2,07 persen atau 3,4 juta orang pada tahun sebelumnya.
Angka buta aksara yang tergolong tinggi tersebar di enam dari total 34 provinsi di Tanah Air. Persentase buta aksara di enam provinsi ini masih di atas 4 persen. Keenam provinsi itu adalah Papua (22,88 persen), Nusa Tenggara Barat (7,51 persen), Nusa Tenggara Timur (5,24 persen), Sulawesi Barat (4,64 persen), Sulawesi Selatan (4,63 persen), dan Kalimantan Barat (4,21 persen).
Sebanyak 41 kabupaten atau kota juga tercatat dihuni oleh penduduk buta aksara lebih dari 30.000 orang. Pada umumnya mereka berada di daerah yang secara geografis terisolir, terpencil, dan daerah tertinggal.
Dilihat dari perbedaan jender, perempuan memiliki angka buta aksara lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki dengan jumlah 1,15 juta orang laki-laki dan perempuan 2,25 juta orang. Dilihat dari daerah tempat tinggal, angka buta aksara di perdesaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan.
Di perdesaan, jumlah buta aksara banyak terkonsentrasi di daerah terpencil dengan tingkat pendapatan penduduknya rendah. Sementara di perkotaan jumlah buta huruf terkonsentrasi di kawasan yang penghuninya berpenghasilan rendah.
Di tingkat dunia, UNESCO mencatat Indonesia berada di urutan ke-58 negara yang belum bebas buta aksara pada 2016. Tingkat literasi Indonesia mencapai 98,07 persen, di atas rata-rata dunia yang baru 86 persen. Secara global, setidaknya masih ada lebih dari 700 juta orang dewasa di seluruh dunia buta aksara dan dua per tiga di antaranya adalah perempuan.
Dari indeks buta huruf di dunia, menurut riset dari Rektor Universitas Central Connecticut State di New Britain, John Miller, pada 2016 Indonesia masih menempati peringkat ke-60 dari 61 negara yang berhasil dihimpun datanya. Riset ini menekankan pada hasil ujian mengenal huruf dan melihat karakteristik sikap terpelajar.
Contohnya, jumlah perpustakaan dan koran di sekolah serta ketersediaan komputer di sebuah negara. Dengan demikian, riset ini tidak hanya melihat kemampuan penduduk negara dalam membaca dan menulis saja, tetapi juga perangkat pendukung dan sikap terpelajar warganya.
Akses terbatas
Kendati mengalami penurunan, pemberantasan buta aksara yang hingga kini belum terselesaikan tidak terlepas dari beragam tantangan dan kendala. Salah satunya yang dominan adalah problem melingkar dan saling terkait, yakni faktor kemiskinan, lokasi yang tak terjangkau (pelosok), dan kurangnya kesempatan.
Merunut lebih jauh, buta huruf tidak terlepas dengan kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan masyarakat. Antara kemiskinan dan buta aksara saling berkelindan. Buta huruf acap kali diidentikkan dengan tingkat ekonomi bawah dan sering kali membuat rendah kesadaran akan pentingnya pendidikan. Kantong-kantong daerah buta huruf rata-rata berada di desa-desa dengan ekonomi miskin.
Tak hanya itu. Karena berada di bawah garis kemiskinan, orang buta huruf memiliki akses yang terbatas dalam pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Masyarakat miskin cenderung rentan tidak menyekolahkan anaknya dengan alasan biaya. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan rendahnya kesadaran terhadap pentingnya anak-anak mengenyam pendidikan yang layak.
Di sisi akses kesehatan, kendati pemerintah telah memprogramkan jaminan kesehatan nasional (JKN) bagi masyarakat miskin, hal itu tidak banyak menolong jika gangguan kesehatan yang diderita sangat parah. Sudah banyak berita di media atau media sosial mengenai masyarakat miskin tidak mampu berobat untuk menyembuhkan penyakitnya karena biaya yang mahal dan tidak terlindungi di program JKN.
Karena tingkat pendidikan yang rendah, akses masyarakat buta huruf terhadap lapangan kerja menjadi relatif terbatas. Mereka sulit bekerja di sektor-sektor formal. Mayoritas masyarakat buta huruf bekerja di sektor informal atau melakukan usaha dengan skala mikro.
Masyarakat buta aksara yang hidup dalam kemiskinan juga memiliki akses yang terbatas untuk mencapai taraf hidup berkualitas. Bappenas menyebutkan, masyarakat miskin sulit mencapai kecukupan dan mutu pangan, perumahan dan tempat tinggal, air bersih dan sanitasi sehat, kepemilikan dan penguasaan tanah; serta jaminan rasa aman.
Usaha pemberantasan buta aksara
Merunut sejarahnya, upaya memberantas buta aksara sudah dilakukan sejak tahun 1948. Presiden Soekarno saat itu mengagas gerakan pemberantasan buta aksara yang dilakukan secara besar-besaran. Mengenai hal itu, Bung Karno pernah mengatakan, ”Bukan saja kita menang di medan peperangan, tetapi juga di dalam hal memberantas buta-huruf kita telah mencapai hasil jang sangat ’menjugemaken’ dan itu adalah pula salah satu great achievement.”
Pada 1960, Presiden Soekarno kembali mengeluarkan komando bahwa Indonesia harus terbebas dari buta huruf hingga tahun 1964. Saat itu, seluruh rakyat dimobilisasi untuk menyukseskan ambisi tersebut. Banyak orang yang pandai baca tulis dikerahkan untuk mengajar secara sukarela. Hasilnya, pada tanggal 31 Desember 1964, semua penduduk Indonesia usia 13-45 tahun, kecuali di Irian Barat, dinyatakan bebas buta huruf.
Pada masa Orde Baru, program pemberantasan buta huruf terus berlanjut dengan program belajar Paket ABC terintegrasi pendidikan mata pencarian. Keberhasilan program ini ditandai dengan penghargaan dari UNESCO tahun 1992 atas keberhasilannya dalam program-program literasi atau pemberantasan buta aksara dunia. Indonesia bersama Bhutan, Rwanda, dan Kolumbia didaulat meraih UNESCO’s Literacy Prizes for 2012.
Pada 2 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendeklarasikan Gerakan Nasional Percepatan Pemberantasan Buta Aksara. Untuk mewujudkan hal itu, tahun 2006 keluar Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Wajib Belajar Sembilan Tahun. Namun, ternyata gerakan tersebut belum sepenuhnya menjangkau setiap daerah.
Masyarakat buta aksara yang hidup dalam kemiskinan juga memiliki akses yang terbatas untuk mencapai taraf hidup berkualitas.
Minim anggaran
Seperti pemerintahan sebelumnya, kebijakan memberantas buta aksara juga terus digulirkan oleh pemerintahan saat ini. Selaras dengan semangat Nawacita, atau sembilan prioritas program pembangunan pemerintah salah satunya terkait dengan pengembangan pendidikan keaksaraan ke depan harus dikembangkan untuk memperkuat kemandirian secara ekonomi. Untuk itu, dikembangkan program keaksaraan usaha mandiri dan aksara kewirausahaan sebagai kelanjutan dari program keaksaraan dasar.
Beragam program dan kegiatan untuk menuntaskan buta aksara antara lain memperkuat program pendidikan keaksaraan dengan budaya, keterampilan, dan bahasa. Kemdikbud juga menggulirkan program-program keaksaraan dengan memperhatikan kondisi daerah, seperti program keaksaraan dasar padat aksara, program keaksaraan dasar bagi komunitas adat terpencil/khusus, program keaksaraan usaha mandiri, dan program multikeaksaraan.
Kemdikbud juga melaksanakan program pascabuta aksara. Program tersebut di antaranya pendidikan keaksaraan usaha mandiri (KUM) dan pendidikan multikeaksaraan. KUM berorientasi pada pemeliharaan keberaksaraan dengan fokus keterampilan usaha mandiri.
Adapun multikeaksaraan berorientasi pada pemeliharaan keberaksaraan dengan fokus pada lima tema pemberdayaan masyarakat. Kelima tema itu adalah profesi/pekerjaan, pengembangan seni budaya, sosial politik dan kebangsaan, kesehatan dan olahraga, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk menuntaskan program pemberantasan buta huruf, sudah semestinya pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup memadai. Dana yang selama ini ada baru sekitar 0,7 persen dari anggaran APBN untuk pendidikan masih dianggap jauh dari memadai. Menurut kesepakatan global, anggaran minimal pemberantasan buta aksara sebesar 3 persen dari total budget pendidikan suatu negara.
Masih adanya buta aksara di Indonesia semestinya bisa dilihat sebagai alarm bagi bangsa ini untuk melakukan langkah strategis demi mengatasi problem sumber daya manusia. Peringatan HAI tahun ini semestinya bisa menjadi penggerak bersama untuk mengakhiri penyakit buta aksara di negeri ini. (LITBANG KOMPAS)