Awas, Banyak Orang Gila di Sekitar Kita!
Memasuki tahun politik 2018, banyak terjadi peristiwa aneh. Salah satunya, tiba-tiba muncul orang-orang ”gila” yang menyerang rumah ibadah, pemuka agama, atau menebar kecemasan lain. Bagaimana kita memahami semua hal absurd hampir bersamaan itu?
Coba kita telisik dulu beberapa peristiwa muskil yang berentetan di Tanah Air selama dua bulan terakhir. Pada 27 Januari lalu, seseorang tiba-tiba menyerang pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, Bandung, KH Umar Basri. Kiai itu luka parah dan harus diobati di rumah sakit.
Tak lama berselang, 1 Februari, Komandan Brigade Persatuan Islam Indonesia (Persis) HR Prawoto dianiaya seseorang di rumahnya di Kelurahan Cigondewah Kidul, Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung, Jawa Barat. Menderita luka parah, korban kemudian meninggal.
Beberapa hari kemudian, di media sosial beredar video pengusiran atas Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Banten. Peristiwanya sendiri diduga berlangsung pada 7 Februari.
https://kompas.id/baca/utama/2018/02/11/waspadai-gangguan-keamanan-dengan-memecah-belah-umat-beragama/
Pada 11 Februari, seorang laki-laki tiba-tiba mengamuk di Gereja St Lidwina di Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan pedangnya, penyerang itu melukai beberapa orang, termasuk Pastor Karl-Edmund Prier, SJ.
https://kompas.id/baca/utama/2018/02/11/gereja-st-lidwina-sleman-diserang/
Kaget kita belum hilang, 13 Februari, mendadak seseorang merusak Masjid Baitur Rohim di Jalan Sumur Gempol 77, Kelurahan Kingking, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Pelaku berteriak-teriak dan merusak kaca masjid hingga pecah berantakan.
https://kompas.id/baca/utama/2018/02/13/perusakan-kaca-masjid-gegerkan-warga-tuban/
Kaget pun masih berlanjut saat seorang lelaki menyerang H Abdul Hakam Mubarok, pengasuh Pondok Pesantren Karangasem, Paciran, Lamongan, Minggu (18/2). Pelaku menyerang dan mengajak kiai itu berkelahi, tetapi dapat dihindari.
https://kompas.id/baca/utama/2018/02/20/korban-berharap-umat-tidak-mudah-terhasut/
Kepolisian tengah menangani kasus-kasus tersebut. Untuk beberapa kasus, kepolisian menduga beberapa penyerang itu menderita gangguan jiwa. Sebagian lantas diperiksa di rumah sakit jiwa, beberapa lainnya masih diusut lebih lanjut.
Publik penasaran dengan peristiwa itu. Linimasa di media sosial pun, terutama Facebook, Twitter, atau Instagram, dibanjiri beragam komentar atas kemunculan orang-orang gila itu, yang tidak jelas juntrungannya, mendadak bikin kisruh, menyerang pemuka agama, bahkan mengamuk di rumah ibadah dengan pedang terhunus.
Pada 11 Februari lalu, saat gereja diserang, Transmap mencatat ada 7.637 cuitan di Twitter dengan kata kunci ”Gereja Santa Lidwina”. Itu mencakup 4.500 (58,9 persen) post, 3.100 (46,6 persen) retweet (post), dan 37 (0,5 persen) replies. Semuanya mengutuk kekerasan itu dan meminta negara menindak tegas pelaku serangan.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Ahmad Helmy Faizal Zaini, misalnya, mengutuk keras serangan tersebut. Lewan akun @Helmy_Faishal_Z, dia mencatat: ”Atas penyerangan oleh seorang tak kenal terhadap jemaat dan Gereja Santa Lidwina Stasi, Bedog, Yogyakarta, kami mengutuk keras dan mengecam tindakan tersebut”.
”Meminta kepada Kepolisian @DivHumasPolri utk menangkap dan menghukum pelaku penyerangan terhadap Gereja tsb. Indonesia adalah negara yg menjamin kebebasan warga negaranya utk melaksanakan peribadatannya”.
Orang gila?
Kita masih penasaran dengan penjelasan polisi yang terburu-buru menyebut beberapa pelaku kekerasan sebagai orang gila. Benarkah mereka gila? Bisakah orang gila bergerak secara serentak untuk menyerang sasaran serupa, yaitu pemuka agama dan rumah ibadah?
Jika gila, bagaimana mereka menyerang pada momen dan dengan cara yang mematikan, seperti kasus HR Prawoto di Bandung? Bisakah orang gila bersabar menunggu menyerang saat sepi sebagaimana terjadi pada KH Umar Basri?
Daftar pertanyaan itu bisa diperpanjang lagi dan semuanya kian memperkuat kesanksian. Melihat sasaran, pola, dan pilihan momen yang hampir berbarengan, sulit untuk memastikan bahwa para penyerang itu benar-benar gila. Jika ditelisik lebih jauh, justru kita kian curiga, jangan-jangan serangan itu terorganisasi.
Setidaknya kecurigaan itu dilontarkan penyanyi sufi Candra Malik: Aku menyebutnya ”gorila”, singkatan dari ”gerakan orang gila”.
Jika para penyerang itu dianggap bukan orang gila, justru pertanyaan lanjutannya tak kalah seru. Siapa yang mengorganisasi dan menggerakkan orang-orang gila itu? Apa tujuan dari gerakan itu? Apakah gerakan ini terkait dengan rebutan kekuasaan politik, tepatnya Pemilihan Kepada Daerah 2018 dan Pemilu Presiden 2019?
Terkait pertanyaan-pertantanyaan itu, banyak spekulasi bertebaran, juga di media sosial. Salah satunya, catatan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono U Tantowi di akun Facebook.
Dia mengingatkan, Indonesia pernah mengalami peristiwa kekerasan dan teror serupa. Pada awal 1980-an, dulu pernah terjadi petrus (penembakan misterius). Lalu, pada dekade 1990-an, ada dukun santet, operasi naga hijau, dan kolor hijau. Pada akhir 2014-2015, muncul lagi peristiwa ”begal”.
Semua itu memiliki pola yang sama: terjadi di beberapa daerah dengan modus serupa, pada waktu berdekatan, lalu hilang begitu saja. Belakangan, marak penganiayaan tokoh agama oleh orang gila di beberapa daerah, waktunya berdekatan, dengan pelaku yang sama: orang gila.
Kalau hanya satu peristiwa, bisa jadi hanya kebetulan. Namun, kalau terjadi lebih dari satu kali dan degan pola yang sama, itu sama sekali bukan kebetulan.
”Dugaan saya, peristiwa ini belum akan reda dalam waktu dekat. Bahkan bisa jadi makin sering sejalan dengan tahun-tahun politik elektoral kita dalam 1,5 tahun ke depan,” katanya.
Pramono melanjutkan, siapa pun sutradaranya (meski mudah ditebak), tujuannya jelas: menimbulkan ketakutan di masyarakat. Dengan demikian, tanpa disebutkan, sebenarnya juga mudah ditebak apa agenda politiknya.
Negara—dalam hal ini kepolisian—tak punya pilihan lain kecuali segera memberdayakan segenap aparaturnya untuk mengusut dan menghentikan kelanjutan kekerasan yang melibatkan orang-orang gila ini.
Tanpa penanganan serius dan tuntas, maka masyarakat gelisah, bahkan ketakukan sehingga situasi sosial-politik kian tidak stabil. Kondisi itu rentan dimainkan, bahkan diperbesar, oleh kelompok-kelompok jahat yang ingin berbuat kisruh dalam Pilkada 2018, juga Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019.
Kearifan
Di sisi berbeda, serangan orang-orang gila itu justru memicu kearifan publik. Tak ingin harmoni dan toleransi di masyarakat rusak, sebagian masyarakat turun tangan dan bahu-membahu untuk memulihkan keadaan.
Tak lama setelah serangan di Gereja Lidwina di Sleman, misalnya, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Buya Syafii Maarif menyambangi gereja yang tak jauh dari rumahnya itu. Dia mengingatkan, selama ini suasana di daerah itu sangat kondusif, aman. ”Bertetangga dengan siapa saja, tolong-menolong, enggak ada apa-apa,” katanya.
https://kompas.id/baca/utama/2018/02/11/buya-syafii-maarif-kecam-penyerangan-gereja/
Esok harinya, kelompok Islam juga turut membantu beberes dan bersih-bersih di gereja itu. Pemandangan yang indah. Semoga semangat serupa juga merebak di daerah-daerah lain di Indonesia.
Meski demikian, sebagaimana diingatkan Pramono, serangan orang gila kemungkinan belum berhenti. Barangkali juga bentuknya berubah, tetapi masih akan ada serangan serupa yang ingin menciptakan kekisruhan, memainkan gesekan antarkelompok, atau semacam politik adu domba. Tahun politik masih akan berlangsung sampai 2019 nanti.
Dalam situasi begini, ada baiknya kita kembali merenungkan catatan Ranggawarsita, pujangga Jawa, sebagai refleksi untuk meneropong peristiwa kekinian.
”Amenangi zaman edan, ewuhaya ing pambudi.Melu ngedan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wekasanipun. Ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada.”
(Menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak.
Ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya.
Tapi, telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, masih lebih baik orang yang tetap ingat dan waspada.)